Sabtu, 19 Desember 2009

Dari Jakarta Beat

Lima Album Indonesia Terbaik 2009

Saturday, 19 December 2009 00:41
Oleh Idhar Resmadi, penulis freelance, mahasiswa jurnalistik Universitas Padjadjaran

Menulis album-album terbaik lokal tahun 2009 terhitung gampang-gampang susah. Gampangnya, di tengah industri musik Indonesia yang kian menukik baik secara kualitas maupun kuantitas, relatif mudah untuk memetakan album-album mana saja yang layak menjadi mutiara di laut hitam. Di tengah keseragaman musik melayu, nada-nada pop kreatif tapi tidak kreatif karena bejibunnya keseragaman bermusik, dan tema-tema cinta memuakkan, masih mudah rasanya menemukan band-band yang berani mendobrak perilaku dan selera industri.
Di dunia indie pun, banyak band-band indie yang terjebak menjadi epigon dari pengaruhnya. Dan susahnya, tak ada album yang benar-benar fenomenal di tahun 2009 ini. Tak ada album yang jadi cetak biru semisal 4 Through The Sap milik Pas Band. Kecuali apabila analisis-analisis dibuat subjektif. Ada beberapa album yang menjady hype di tahun 2009, semisal Kamar Gelap (Efek Rumah Kaca), In Medio (Anda), maupun Risky Summerbee and the Honeythief, namun mereka dirilis di penghujung tahun 2008. Alhasil, nikmati saja lima album lokal terbaik tahun 2009 berikut ini:

1. Tika and the Dissidents - The Headless Songstrees (Head Records)

Empat tahun yang lalu kemunculan Tika dianggap mendobrak beberapa hal. Pertama, pada medio tahun 2000-an gampang terlihat fenomena menjamurnya grup musik atau band yang beredar di kalangan para pemusik independen. Tiba-tiba muncul Tika dengan konsep solois perempuan yang membawa warna musik trip hop, noir, dan jazz di tengah gegap gempitanya tren musik emo, garage rock, atau nu-retro di Indonesia pada masa itu.
Kedua, Tika telah mendobrak istilah “Diva” di Indonesia. Yang pasti, ia telah membongkar istilah klise Diva di Indonesia yang seolah terpatri pada Krisdayanti, Titi DJ, atau Ruth Sahanaya dengan konsep glamour bak model iklan sabun dengan kredo lebih ramping, lebih putih, dan berambut lebih lurus. Lewat debut albumnya Frozen Love Songs, para kritikus musik negeri ini mencap Tika sebagai biduanita berbahaya di Indonesia karena memiliki warna musik yang terhitung cutting-edge dan memiliki sikap antitesis dengan kredo diva tersebut.
     
Pasca-debut album Frozen Love Songs, Tika bisa dikatakan vakum. Kecuali, ia sempat merilis versi kemasan ulangnya dengan nama Defrosted Love Songs pada tahun 2006. Setelah itu Tika seperti daun tertiup angin yang tak ada ujung kabar beritanya.
     
Tahun 2009, Tika datang lagi. Kali ini ia tampil berbeda dibanding empat tahun lalu. Ia kini tak hadir sendirian tapi ditemani band atau grup musik yang dinamakannya “The Dissidents” yang terdiri dari sejumlah musisi berbakat seperti Susan Agiwitanto, Okky Rahman Oktavian, dan Luky Annash. Warna musik yang mereka usung tidaklah semuram pada album awalnya. Tampaknya penambahan The Dissidents menambah warna baru pada musikalitas Tika. Warna trip-hop murung boleh menjadi minimal, lalu warna musik eklektik fusi dari rock, blues, hingga tango dan waltz terasa lebih mendominasi.
     
Soal lirik, album The Headless Songstrees tak hanya dipenuhi perasaan Tika yang galau seperti pada albumnya terdahulu. Kali ini ia lebih mulai berani menyuarakan pendapatnya yang tanpa tedeng aling-aling, mengurai borok budaya popular mulai dari televisi, industri musik, hingga diskriminasi sosial. Dengan mengurai tema-tema kritis dan sarkastis, saya hanya bisa tersenyum ketika dalam halaman websitenya Tika menulis para teroris internet mengecamnya terlalu ‘gemerlap’ untuk jadi kiri. 
     
“Kiri” gaya Tika pun sangat terlihat jelas pada lagu berwarna musik mariachi berjudul ‘Polpot”, yang sempat membuat  saya terjebak berpikir bahwa lirik ini bercerita tentang pembantai Khmer Merah di Kamboja.  Nyatanya, lirik ini bercerita tentang pembantaian intelektual oleh televisi. Atau simak lagu “Clausmophobia” yang bercerita soal persepsi masyarakat terhadap kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trans-seksual), atau simak juga lagu “Mayday” yang bercerita soal buruh. Hebatnya, lagu ini juga dijadikan soundtrack sebuah organisasi buruh di Amerika.
     
Kredit Tika sebagai seniman ber-attitude bukan tanpa alasan. Tika dikenal sebagai aktivis gender dan penganut paham DIY (Do It Yourself). Sikap DIY terlihat pada kemasan album The Headless Songstrees di mana Tika merajut dan mendesain sendiri kemasan kain dan patch yang menjadi keunikan dari album ini, dan menjadi daya tarik orang untuk membeli atau sekedar mengaguminya.

2. The S.I.G.I.T.- Hertz Dyslexia E.P. (FFWD Records)
     
Tren musik garage revival second wave yang muncul pada awal tahun 2000-an memang memberikan pengaruh besar terhadap proses kreatif band-band Indonesia. Ketika itu masuk pengaruh-pengaruh musikal semacam The Strokes, The White Stripes, Kings of Leon, The Libertines, Jet, dan sebangsanya. Sebagai negara dunia ketiga, sebagai efek dari “korban” berseliwerannya band-band garage revival nongkrong di MTV dan majalah musik macam Rolling Stone, Spin, dan NME maka efek dari pengaruh tersebut menimbulkan zat konsumsi yang secara tak sadar mempengaruhi ekspresi. Maka, beramai-ramailah band Indonesia mendompleng tren tersebut. Misal saja, The S.I.G.I.T. , Speaker 1st (Bandung), dan The Brandals (Jakarta).
     
Pada tahun 1980-an, lahir band-band sepertiThe Miracle Workers, The Pandoras, Spacemen 3, dan The Brian Jonestown Massacre yang menyuarakan “The Garage Revival Scene”. Band-band ini lahir dari tangan Almarhum Greg Shaw yang memang dikenal sebagai peletak apa yang kita sebut garage music. Ketika pada tahun 1980-an ia memunculkan band-band itu, Greg Shaw tak menyangkal bahwa sound music rock n roll tetap akan hidup di era postmodernisme sekarang ini. Greg Shaw pernah berujar bahwa musik garage akan selalu hidup ketika band-band pasca-revivalist garage ini tetap menyuarakan bisingnya rock n roll era 1960-an macam Led Zeppelin dan The Rolling Stones.
     
Saya kira pengaruh itu terasa pada album perdana The S.I.G.I.T. , Visible Idea of Perfection. Dalam album itu masih terselip kombinasi antara progenitor rock n roll macam Led Zeppelin dengan sound garage revivalist seperti pada Jet atau The Libertines. Potensi The S.I.G.I.T. sebagai salah satu band rock n roll paling ‘hot’ di Indonesia mulai terlihat ketika beberapa single di album itu berhasil memancing kesuksesan mereka hingga layak tur di negara kangguru dan menyambangi Festival SXSW di Texas pada awal tahun ini.
     
Bara api yang dikobarkan The S.I.G.I.T. tak padam di album pertama. Bisa dibilang The S.I.G.I.T. justru mengobarkannya lagi lebih besar lewat Hertz Dyslexia yang dirilis pada pertengahan tahun 2009. Album ini muncul di tengah “terjebaknya” band-band garage atau rock n rock lokal seangkatan The S.I.G.I.T.  pada dualisme menjadi Led Zeppelin atau The Strokes. Band-band seangkatan mereka terdengar klise dan sami mawon pada tiap album, seperti The Brandals, Jack N Fourmen, atau Speaker 1st.
     
Sebenarnya, Hertz Dyslexia adalah mini-album The S.I.G.I.T. yang bisa jadi mencerminkan kualitas dan progresi musikal kuartet asal Bandung ini. Ketika band-band garage seangkatan mereka “terjebak”, mereka justru dengan berani bereksperimen dan mendekonstruksi definisi garage music itu sendiri. Di album ini, The S.I.G.I.T. seolah mengenyahkan diri dari pakem-pakem apapun. Ia terlepas dari band garage atau band rock n roll.
     
Hampir tiap lagu dari tujuh lagu dalam album ini mencerminkan progresi itu. Mulai dari berbau rock stoner pada single “Money Making” dan “The Party”, hingga memasukan elemen seruling bernada psikadelik pada lagu “Bhang”, sampai lagu yang benar-benar dekonstruktif dengan memasukan elemen ambience dan vokal lo-fi pada lagu “Midnight Mosque Song”. 
Alhasil, Hertz Dyslexia yang menjadi titik pijak yang menunjukkan bahwa musikalitas The S.I.G.I.T. tak pernah berhenti pada satu titik. Dan bahwa mereka tidak ingin terjebak pada nuansa genre yang tipikal dan membosankan seperti yang terjadi pada band-band seangkatan mereka tadi. Apalah itu namanya garage revival, rock n roll, atau hard rock, The S.I.G.IT. telah menghancurkannya pada diri mereka sendiri.

3. Melancholic Bitch, Balada Joni dan Susi (Dialectic Recordings) 
     
Salah satu alasan penting kenapa menempatkan Balada Joni dan Susi sebagai salah satu rilisan terbaik di tahun 2009 ini adalah karena keberanian Melancholic Bitch untuk merilis sebuah konsep album. Dewasa ini jarang terdengar sebuah band lokal (indie maupun major) merilis sebuah konsep album di tengah hiruk pikuk kaki industri musik yang bertumpu pada ring back tone (RBT) dan single.
     
Alasan itu menempatkan Melancholic Bitch sebagai sebuah band lokal yang layak diperhitungkan. Saya berani bertaruh bahwa Melancholic Bitch adalah band keren yang terlupakan. Pasca dirilisnya debut album Anamnesis pada tahun  2005, band ini seperti menghilang ditelan bumi. Mereka bukan tipikal sebuah band yang instant termasuk memanfaatkan hype internet untuk meraih citra dan popularitas. Sehari sebelum menulis review ini saja, saya melihat halaman Myspace mereka yang masih bertampilan standar dengan jumlah kawan yang minim. Maka taruhan saya dipenuhi dengan spekulasi bahwa Melancholic Bitch adalah sekumpulan seniman yang punya integritas terhadap karya, dan karya itu tak boleh instant, tak boleh gampangan, tapi harus komprehensif, dan tentunya, artistik.
     
Besar dan berkembang dalam lingkup komunitas seni menjadi alasan yang mencerminkan sikap dan ideologi band asal Kota Gudeg ini. Band ini berangkat dari komunitas seni Kua Etnika, komunitas Teater Garasi, dan komunitas forum musik Fisipol Universitas Gajah Mada. Dari latar belakang kesenimanan mereka, maka Balada Joni dan Susi adalah pergulatan kreativitas, intelektual, dan predikat kesenimanan para personil Melancholic Bitch selama empat tahun.
     
Dalam sebuah wawancara dengan Jakarta Post, vokalis dan penulis lirik Ugoran Prasad berkomentar soal konsep Balada Joni dan Susi: “"For me, this is a story about a couple who are always trying to pick a fight with the world, their country, or even with people. Joni and Susi taught us that a simple love story can be very political." Bila perhatian mendalam kita berikan pada konsep album ini secara komprehensif, kita akan menemukan dua protagonist bernama Joni dan Susi dengan kisah-kisah berdasar rumus Shakespeare: tragic-comedy.
     
Balada Joni dan Susi mengingatkan saya pada album Ken Arok karya Harry Roesli yang oleh Rolling Stone Indonesia ditempatkan padai posisi 10 dalam 150 Album Terbaik Indonesia. Sama-sama bersifat konsep album dengan dipenuhi karakter bak cerita fiksi. Memang Balada Joni dan Susi belum pernah dioperakan, namun siapa tahu? Mengingat para personil Melancholic Bitch adalah juga pegiat teater di Teater Garasi.
Harry Roesli mementaskan Opera Ken Arok pada tahun 1975, yang dengan cerdas menyindir tradisi suap, korupsi, hipokrisi dalam setting Kerajaan Singosari yang dipimpin Ken Arok setelah merebut kekuasaan Tunggul Ametung secara ilegal (jangan lupa, bahkan merebut istri Tunggul Ametung, Ken Dedes). Pementasan itu dianggap menyajikan konteks dan relevan dengan masyarakat Indonesia yang dipenuhi kegelisahan terhadap lingkungan sosial dan pemerintahannya.
     
Balada Joni dan Susi juga memiliki konteks dan relevansi dengan zamannya, dengan mitos-nya sendiri. Ini boleh jadi adalah kisah post-modern love story. Mereka bercerita tentang cinta dengan penuh filsafat dan wacana-wacana budaya popular. Terus terngiang-ngiang di benak saya penggalan lirik lagu “Mars Penyembah Berhala”: /Siapa yang membutuhkan imajinasi jika kita sudah punya televisi…/” atau lagu “Akhirnya Masup Tipi”: /Susi aku masup tipi, 15 detik, kerajaanku, lebih baik, jauh lebih baik daripada seumur hidup tanpa lampu. Lihatlah, lihat segalanya nyata di tv, lihat betapa nyata cinta kita kini.../”. Kisah Joni dan Susi yang penuh problematika Rama-Sinta kontemporer di zaman postmodern.      
Lirik dalam album ini seperti narasi. Pastinya karena penulis lirik, Ugoran Prasad, juga dikenal sebagai penyair dan penulis. Beberapa karya cerita pendeknya sering menghiasi halaman koran nasional. Maka tak aneh Ugo dengan fasih merajut cerita dari satu lagu ke lagu lainnya. Seperti pada lagu “Intro” yang seolah memperkenalkan sang protagonist: /Ketika Joni dua satu dan Susi Sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas. Kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas, dingin, dan cemas. Namaku Joni, namamu Susi. Namamu Joni, Namaku Susi/.
     
Musik Melancholic Bitch dipenuhi nada-nada pop dengan ritmis-ritmis elektronik, sound-sound piano minimalis, dan petikan gitar yang mengingatkan kita pada Jonny Greenwood era OK Computer.  Sang vokalis Ugoran justru bisa dibilang bercerita (spoken word) dibandingkan sekedar memamerkan teknik vokal.
     
Album konsep ini pun bisa jadi tandingan terhadap konsumsi masyarakat Indonesia pada musik. Akhir-akhir ini, telinga kita dimanjakan dengan “hanya” mengonsumsi musik semata. Maka maraklah download rapidshare, limewire, atau RBT. Padahal musik seperti sebuah paket nasi timbel lengkap dengan tambahan menu lirik dan artwork. Mendengarkan album konsep dengan teknik cerita pendek seperti ini tak hanya membuat kita bisa mendengar musiknya semata. Namun, mesti membaca kertas lirik yang ibarat buku cerpen, memejamkan mata meresapi cerita, plus - supaya tambah nikmat-, sambil memakan kudapan kentang goreng. 

4. Endah N Rhesa, Nowhere To Go (Demajors Records)
     
Sangat menyenangkan menemukan sebuah band yang tidak pretensius dalam berkarya. Dalam Endah N Rhesa saya menemukan kesederhanaan dalam berkarya. Impresi pertama saya terhadap band ini sekitar empat tahun lalu ketika mereka tampil di sebuah Klab Jazz di Bandung. Waktu itu mereka baru saja merilis mini-album Real Life, yang direkam penuh kesederhanaan. Empat lagu yang di rekam secara live low budget tanpa teknik overdub. Kepingan CD-nya pun dibuat CD-R mode atau penggandaan CD lewat burning PC.
     
Tahun ini mereka baru merilis debut album penuh, setelah puas menjajal Java Jazz dan panggung-panggung jazz lainnya. Secara musikalitas, album Nowhere To Go memang tak memberikan kejutan banyak dan berbeda dibanding EP Real Life- yang dibuat sangat terbatas. Kecuali, kemasan yang lebih baik dan duplikasi lebih banyak.
     
Endah N Rhesa mencapai popularitasnya lewat album Nowhere To Go. Sekilas memang materi-materi dalam album ini sangat mudah dinikmati, catchy, dan bermain dalam tempo sederhana. Siapapun bisa menikmatinya, tua dan muda. Meskipun sekilas terhitung segmented, namun kualitas musik mereka memiliki range segmen yang lebar. Bisa bermain di pop, folk, jazz, atau blues sekalipun. Bisa menjual juga karena mereka menyanyikan lagu humanis dengan tema cinta dan manusia dibalut musik yang manis.
     
Ah, cinta adalah tema universal. Silakan, nikmati cinta versi band-band industri yang bertebaran seputar pengkhianatan, selingkuh, atau mencari jodoh. Cinta milik Endah N Rhesa hanya kisah cinta sederhana seperti pada lagu “When You Love Someone”: /When you love someone/just be brave to say/ that you want him to be with you/ when you hold your love/ don’t ever let it go/ or you’ll lose your chance to make your dream come true…/     
Kadangkala, para penulis lirik cinta terjebak pada pengumbaran dramatisasi emosi seolah dunia akan runtuh. Atau jika sedang bahagia, cinta seolah membuat dunia milik kita berdua. Namun, lagu-lagu dalam Nowhere To Go sangat layak dijadikan salah satu lagu dalam mixtape jika sedang jatuh cinta. Cinta yang sederhana dan penuh nasihat baik.
     
Di tengah band-band major asyik menjual cinta-cinta mendayu dan band-band indie sibuk mengkritisi sosial dan budaya popular, Endah N Rhesa adalah anomali.  

5. The Trees and The Wild, Rasuk (Lil’Fish Records)

Terlalu picik rasanya para kritikus musik di manapun jika selalu saja melakukan perbandingan hanya karena memiliki kesamaan berdasar takdir. Misal, membanding-bandingkan musik Interpol dengan Joy Division hanya karena takdir Paul Banks yang memiliki kemiripan suara bariton dengan Ian Curtis. Atau muncul eksponen lainnya macam The Editors, yang digadang mirip Interpol hanya karena warna vokal Tom Smith yang mirip Paul Banks.
     
Begitu pula yang terjadi pada The Trees and The Wild (TTATW). Entah kenapa banyak orang yang menyamakan suara vokal Remedy Waloni dengan karakter vokal John Mayer, seolah-olah menganggap TTATW hanya sebatas epigon semata. Banyak kritikus di negeri  ini terjebak persepsi-persepsi awal para kritikus mulai bekerja. Menikmati sekitar 2-3 lagu di album, pikiran menyebar menebak warna album, dan mulai membanding-bandingkannya dengan warna musik serupa dari para musisi sebelumnya yang telah muncul. Maka tak aneh jika para kritikus atau jurnalis musik selalu memberikan kredit pada sejarah musik.

Mendengarkan musik TTATW justru membuat saya berpikir bahwa band ini memiliki potensi. Meski potensi ini bisa saja dipersempit oleh kredit para kritikus musik lewat perbandingan John Mayer-nya. Ketika saya mendengarkan warna musik TTATW, justru saya pikir jauh dengan musiknya John Mayer. Itu pun jika mendengar sentuhan aransemen, komposisi, dan genre musik, tak hanya dipersepsi lewat vokal saja. TTATW menyuguhkan potensi musik folk dibaur sedikit sentuhan ambience post-rock yang kental. Sehingga sebagian besar lagu-lagu di album ini pun terdengar mengawang, berbeda dengan kebanyakan band folk yang lebih groovy.
     
Warna kentara yang menyegarkan dalam musik TTATW ada pada lagu “Verdure”. Sentuhan melodi panjang menghentak ditimpali crescendo ala post-rock sebelum bergumul menjadi alunan vokal yang datar dan menghanyutkan. Ya, saya pikir terminologi tepat untuk musiknya TTATW adalah: menghanyutkan.
     
Formula-formula menghanyutkan yang sama bisa kita temukan dalam TTATW. Single pertama  “Honeymoon On Ice” yang terinspirasi dari film Michel Gondry, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, adalah contoh besarnya. Atau repetisi yang sama pada lagu-lagu seperti “Malino”, yang lebih terdengar lebih seperti Sigur Ros. Atau lagu “Our Roots” yang berisi ambience dengan gaya vokal mengawang seperti tipikalisasi band-band Islandia sebagai salah satu pengaruh kuat dalam musik TTATW.
     
Salah satu lagu favorit saya, “Derau dan Kesalahan” adalah pameran terbaik kualitas potensi band asal Jakarta ini. Mereka memamerkan melodi yang indah sebelum ditutup hentakan gitar crescendo seperti Jonny Greenwood melakukannya pada Radiohead.

Kamis, 17 Desember 2009

Dari Rolling Stones


Oleh : Soleh Solihun
Serius, tapi tak membuat dahi berkerut

Cholil efek rumah Kaca pernah menyebut musik Melancholic Bitch (atau Melbi, versi singkatnya) sebagai musik Efek Rumah Kaca untuk tingkat yang lebih advanced. Dia ada benarnya. Dalam beberapa hal, musik Melbi mengingatkan pada nuansa musik ERK. Li-riknya serius, banyak menyindir kondisi sosial, musiknya pop, masih easy listening—walau tak akan langsung hinggap di telinga dalam sekali dengar, agak gelap dengan nuansa psikedelik yang cukup kuat. Bayangkan hal-hal itu semua, dalam kadar yang le-bih berat. Dua belas track di album ini bercerita soal kisah sepasang kekasih bernama Joni dan Susi. Tak banyak musisi lokal yang berani membuat sebuah album de-ngan konsep. Dan Melbi, lewat kisah tentang sepasang kekasih, berhasil membuat sebuah konsep album yang menarik, baik dari segi lirik maupun musik. Melbi menyindir banyak hal lewat kisah Joni dan Susi. Mereka menyindir televisi dalam “Mars Penyembah Berhala”, dan “Ak-hirnya Masup TV.” Lalu berce-rita soal kemiskinan dalam “Propaganda Dinding.” Cara Ugoran Prasad—penulis lirik di album ini—memilih dan merangkai kata memang tak lugas dan agak bombastis, tapi setidaknya dia tak terdengar pretensius. Jika diibaratkan dengan sosok manusia, maka Melbi adalah seorang pintar yang senang membicarakan hal serius, tapi masih jadi teman bicara yang menyenangkan dan tak intimidatif.

Minggu, 13 Desember 2009

Dari Jakarta Post

Melancholic Bitch : A modern love story

Felix Dass ,  Contributor ,  Yogyakarta   |  Sun, 12/13/2009 1:55 PM  |  Music

It was around 8 p.m. in Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, Yogyakarta. Rain had just left town. It was a little cold, but more than 100 people had gathered.
Their aim was one: to see a band called Melancholic Bitch. The band had just released their sophomore album, Balada Joni dan Susi (The Ballad of Joni and Susi).
Lights were low. People were busy chatting. Then, Ugoran Prasad, the band's front man, appeared. He welcomed everyone and then invited Djaduk Ferianto to give a speech.
It was a typical artsy opening, just as you would usually see in theaters or in contemporary dance shows. The difference was Djaduk's speech opened a pop concert, rather than a more serious art genre.

Melancholic Bitch: JP/Adi Adriandi 
Melancholic Bitch: JP/Adi Adriandi

The album itself is a romantic epic. It tells a tale of two people falling deeply in love from the beginning to the end. The couple join forces with nature; they walk in a simple jungle titled life.
Since it is a complete story package and they have to play the album in a similar order, it could be categorized as a storytelling concert, but with a different atmosphere.
"For me, this is a story about a couple who are always trying to pick a fight with the world, their country, or even with people. Joni and Susi taught us that a simple love story can be very politic," explained Ugoran Prasad.
The front man was responsible for writing all the lyrics on the album. The main idea for the story was also credited to him.
From start to finish, the epic had Joni and Susi as the main subjects. But, Ugo added some other ingredients of life to carry the story along.
For example, he described the 15 seconds of fame thing in a song called "Akhirnya Masup Tipi" (Finally, on TV). The lyrics show us all about the influence of TV in general on people's lives in Indonesia.
The same theme was used in their first single "Mars Penyembah Berhala" (The Idolatry of Mars). Dreams that were shown on TV 24/7 somehow affected the way people thought about life. Ugo captured it perfectly and then wrapped it into his tale of Joni and Susi.
There's another song on the epic album called "Distopia" (Dystopia). It's a simple love song, but the band describes it in very complex way.
"Right from the start, we wanted this song as a gateway to the ethnographic atmosphere of Balada Joni and Susi. The smell, the melody, even the surroundings help us to interpret the love story. This is just like Indonesia; frantic but in order. It's routine but hysterical," Ugo said.
On the other hand, the story wouldn't make it as a whole finished product without the music. His comrades completed the tale.
"The musical idea was translated from the story written by Ugo. Especially the social background, the shelter, the streets, the supermarket, the guesthouses, the alleys, TV and the crowds.
That's the main idea behind the sound we produce. It includes pop music, dangdut, or even sounds of noise. All of them give the basic rhythm to this story," said Yennu Ariendra, guitar and synthesizer player of the band.
The other members of Melancholic Bitch beside Ugo and Yennu are Josef Herman Susilo on guitar, Teguh Hari on bass, and Septian Dwi Rima on drums. But for Balada Joni and Susi, they were helped by Richardus Ardita on bass and Wiryo Pierna Haris on guitar.
This musical machine produced breathtaking material. Each song has its own personification in terms of selecting its own melody.
To simplify, if you hear it superficially, it may sound like an ordinary orchestration of songs. But if you listen to it carefully, you'll find small interesting particles spread throughout its entire body.
They picked perfect sound samples and then mixed them perfectly with traditional musical instruments.
And, as Yennu said, it helped them create an ideal interpretation of the whole Joni and Susi story from a musical perspective.
The band was started in 1999. Although they've been working together for the last 10 years, Melancholic Bitch has only three records - one EP and two full-length - in their catalogue.
Their debut was the Melancho-lic Bitch Live at Ndalem Joyokusuman EP back in 2003, followed by Anamnesis in 2005.
Back to the concert, Balada Joni dan Susi's 12 songs were completed in less than 40 minutes and the band had not prepared an encore.
The audience was shocked; they did not expect the set to be such a short one.
Some of them shouted, "We want more. We want more." But the band remained silent. The pop concert in the artsy venue had to finish.
Definitely, the night ended too soon.

 

Minggu, 06 Desember 2009

Dari Suara Merdeka

Balada Joni dan Susi

Album yang Bercerita

SEBUAH perjalanan hidup sepasang kekasih, dipresentasikan ke dalam musik. Kisah-kisah yang dialami, seolah ingin dinarasikan dengan apik dalam balutan lirik yang beraroma sastrawi, diselimuti dengan musik yang bernuansa psikodelik.

Terinspirasi dari kehidupan pinggiran kota di pesisir utara Jawa, Melancholic Bitch, band asal Yogyakarta, menyusupkan nuansa musik pantura/dangdut koplo, etnik, dan elektronik, ke dalam album terbarunya, Balada Joni dan Susi.
Berbeda dengan album pertama mereka sebelumnya, Anamnesis, Melancholic Bitch (Melbi) menawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan album sebelumnya. Dengan tidak meninggalkan genre modern rock yang menjadi pondasi musik mereka. Melbi menambahkan aroma-aroma lain ke dalam album ini, karena keduabelas lagu yang ada di dalamnya, memuat kisah perjalanan sepasang kekasih ini. Ini merupakan sebuah konsep baru dalam musik. Mereka ingin menghadirkan konsep bernarasi, atau bercerita melalui album ini, seperti membaca sastra dalam bentuk musik.

Yang diangkat ke dalam Balada Joni dan Susi adalah kisah kehidupan sehari-hari. Band yang sudah berusia 10 tahun ini, ingin menyuguhkan konsep realis ke dalam albumnya. Sebuah album yang bisa bercerita, seperti membaca cerpen. Maka hadirlah kisah yang direpresentasikan lewat sepasang kekasih. Tentang pengalaman dan kehidupan mereka ketika berjalan-jalan di daerah pinggiran hingga masuklah unsur musik ala disko/ dangdut pantura sebagai pemanis ke dalam lagu mereka, ”Distopia”, yang berduet dengan Silir, seorang biduanita tradisional (sinden).  

Melbi yang beranggotakan Yennu Ariendra (gitar, synth, laptop), Ugoran Prasad (vokal, penulis lirik), Teguh Hari Prasetya (studio works, 2007), Yossy Herman Susilo (electric-acoustic guitar, mix-engineer, vokal), dan Septidan Dwirima (drum, laptop), turut menggandeng beberapa musisi dalam album ini. Seperti Pierna Haris, Richardus Ardita, Andy Xeno Aji, dan Silir, pada lagu ”Distopia”. Seakan ingin memiliki nada-nada yang memorable, musikalitas pada seluruh lagu di album ini, banyak terpengaruh dari lagu-lagu Indonesia lawas, terutama pada lagu ”Selamat Tidur Susi”.

Kedekatan Melbi dengan para seniman di padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo Yogyakarta milik Djaduk Ferianto, membuat mereka mengadakan peluncuran albumnya di padepokan tersebut atas tawaran si pemilik, setelah sebelumnya mereka melakukan rekaman album di studio Kua Etnika. Ingin membuat suasana panggung selayaknya pementasan teater, pada acara launching yang berlangsung pada Oktober kemarin,

***

PERSONEL Melbi juga berkolaborasi dengan beberapa musikus dan seniman, seperti Jamaludin Latief (Teater Garasi), Theo Christanto (Teater Garasi), Frau, Army (Crossbottom), dan Oky Gembuz (Mock Me Not) untuk membuat suasana panggung menjadi lebih teatrikal. ”Tapi ini masih berupa pre-launching pertunjukan teater musik yang kita ingini,” ujar Yennu, ”Kita berencana menggelar pertunjukan teater musik secara utuh tentang Balada Joni dan Susi. Mungkin baru bisa terealisasi bulan Maret tahun depan,” katanya. Mereka merasa, pertunjukan semacam ini, masih sulit diterima masyarakat. Karena itu, mereka memperkenalkannya secara bertahap.

Setelah sepuluh tahun berkarya, lewat album ke-duanya ini, mereka ingin mengangkat musik Indonesia pinggiran, sekaligus mereka ingin merangkul pasar yang lebih luas, terlepas dari ketidaktahuan -atau ketidakpedulian- dalam membaca tren pasar. Menurut Yennu, secara keseluruhan, album ini jauh lebih bisa diterima dan dicerna oleh para fans mereka. Akan tetapi, tetap pasar yang (masih) sedkit segmented. Karena tidak semua orang bisa langsung mencerna musik mereka. Karena dari awal mereka berdiri, yang mereka kedepankan adalah idealisme dalam bermusik, sehingga tidak sekadar berpikir tentang laku (di pasaran), tapi bagaimana membuat musik yang jauh lebih berkualitas.

Mengenai lirik yang sengaja dibikin bertutur secara narasi, Yennu mengaku, supaya orang-orang bisa memahami jalan ceritanya. Dan bahkan pada saat peluncuran album kemarin, banyak fans yang antusias dengan ber-sing-along, malah beberapa diantaranya sampai membawa print teks lagu Melbi.

Untuk semakin mendekatkan hubungan dengan para fans-nya, dalam setiap penggarapan lagu, mereka memberlakukan semacam open source; mereka sharing lewat dunia maya. Dan ini berjalan sangat efektif, melihat banyak sekali yang antusias, kemudian ikut terlibat (dalam penggarapannya). Dan dari segi distribusi, Melbi yang berada di bawah label Dialectic Recording, bekerjasama dengan Demajors untuk menyebarkan Balada Joni dan Susi secara nasional. Sudah saatnya orang-orang se-Indonesia tau bahwa ada band yang -bagus- seperti ini. Yang menyampaikan kritikan tentang kehidupan sosial lewat lirik yang sastrawi, lewat kisah Joni dan Susi. (73)

Rabu, 02 Desember 2009

Dari Rock Is Not Dead

02/12/09 Mel-Bi Lauch
Dec 02, 2009 at 11:56 AM
Melancholic Bitch Launching : Balada Joni dan Susi
Melancholic Bitch Launching : Balada Joni dan Susi
@ Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja. 19 November 2009


Setelah cukup lama tidak merilis dalam bentuk fisik, Melancholic Bitch  akhirnya merilis sebuah LP berisi 12 track berjudul “Balada Joni dan Susi”. Album ke-dua dari Melancholic Bitch yang dirilis oleh Dialectic Recordings ini berawal dari sebuah narasi tentang Joni dan Susi, yang sarat akan muatan isu-isu sosial di tengah masyarakat.
Materi yang kuat ini pun nampaknya didukung pula dengan konsep launching yang patut diacungi jempol dengan melibatkan beberapa pihak seperti Kua Etnika, Jamaludin Latief dan Theo Christanto dari Teater Garasi, Frau, Army (Crossbottom), Oky “Gembuz” (Mock Me Not), dan Silir.

Tepat sebelum acara dibuka, Djaduk Ferianto serta Melancholic Bitch melakukan sebuah percakapa di tengah keriuhan penonton yan terus memadati venue. Dengan gaya khas Jogja, nampaknya percapan tersebut berhasil memperkenalkan (kembali) Melancholic Bitch. Setelah percakapan usai, dua aktor Teater Garasi, Jamaludin Latief dan Theo Christanto menghibur para penonton dengan memerankan sosok peminta sumbangan lengkap dengan lantunan lagu “Tentang Cinta” yang terdengar sangat pecah namun menghibur. Frau, membuka malam itu dengan lagu miliknya, “Mesin Penenun Hujan”, dan dilanjutkan dengan “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa”, yang berduet dengan Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch. Satu per satu personil Melancolic Bitch, Yennu Ariendra (gitar dan synth), Yosef Herman Susilo (gitar), Teguh Hari (bass), dan Septian Dwirima (drum) memasuki panging yan menghadap tiga sisi tersebut dan memperkenalkan para penonton yang hadir malam itu dengan sosok Joni dan Susi.

Tepat setelah melantunkan “7 Hari Menuju Semesta”, Silir yang terlibat dalam album Balada Joni dan Susi tersebut tampil meramaikan malam itu bersama Melancholic Bitch dalam “Distopia”. Dilanjutkan dengan “Mars Penyembah Berhala” yang juga juga diramaikan oleh duo Jamaludin Latief-Theo Christanto. Army dari Crossbottom merubah formasi Melancholic Bitch dengan mengisi dan menggantikan Ugo dalam “Nasihat Yang Baik”. Lagu Dinding Propaganda”, “Apel Adam”, “Akhirnya Masup Tipi”, dan “Menara” secara berututan dimainkan tanpa henti dan kemudian ditutup dengan “Noktah”, yang melibatkan Oky Gembuz dari Mock Me Not dan Kua Etnika. Keriuhan kolaborasi dalam lagu “Noktah” nampaknya menjadi klimaks yang cukup mengesankan dari akhir perjalanan narasi Balada Joni dan Susi malam tersebut.

Meskipun telah berakhir, nampaknya para penonton masih enggan untuk meninggalkan acara yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Lapak yang menjual berbagai merchandise pun langsung diserbu oleh para pengunjung yang ingin terus mengenang maupun menikmati Balada Joni dan Susi. Selamat menyelami dunia Joni dan Susi. ( dito/RIND )

Kamis, 26 November 2009

Dari Big Band Shot [dot] com

Melancholic Bitch – Balada Joni dan Susi

Author: arian | Filed under: reviews
Melancholic BitchSetelah beberapa tahun dengan kabar akan mengeluarkan album, akhirnya Melancholic Bitch memnuhi janjinya itu dengan album terbaru mereka bertajuk Balada Joni dan Susi yang baru saja liris pada bulan ini. Sebelumnya mereka telah mengeluarkan album ‘Anamnesis’ yang hanya beredar dalam bentuk kaset dan terbatas. Melbi, sapaan akrab band ini, terbentuk sepuluh tahun seolah olah ingin menjadi lebih ingin didengar daripada tahu-tahun sebelumnya. Pada Juni 2009, mereka sempat mebagikan single promosi mereka yakni Mars Penyembah Berhala dan Distopia.
Melancholic Bitch – Mars Penyembah Berhala download
Lagu-lagu di dalam album tak terdengar kampungan dan akan menyentrik diri dengan sedikit suara thunder dari beberapa lagu Balada Joni dan Susi. Tak tanggung-tanggung 12 tracks siap memanjakan kuping dengan tema tipikal yang menghidupkan suasana. Mereka menggaet Silir Pujiwati (Sinten Remen) yang berbeda khas dari Melbi dalam lagu Distopia, sedangkan Purwanto & Okky Gembus (Down For Life) menjadi teman bermain didalam lagu Noktah Pada Kerumuna. Balada Joni dan Susi ini dibawah label Dialectic Recording yang berasal dari Jogjakarta.

Senin, 23 November 2009

Dari Kedaulatan Rakyat

BALADA JONI DAN SUSI

Epos Sederhana Melancholic Bitch

23/11/2009 10:09:32

MUSIK lokal tidak pernah mati. Bisa jadi, belakangan ini sangat membosankan secara keseluruhan. Tatanannya berantakan dan mengubah wajah semena-mena. Tapi, jauh di lubuk hati paling dalam, masih ada ruang kosong untuk digubah menjadi sebuah taman bermain.
Melancholic Bitch (Melbi) kembali hadir dalam epos sederhana Balada Joni dan Susi (BJS). Album ini diluncurkan di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Kamis (19/11). Personel Melbi, Ugoran Prasad (vokal), Yosef Herman Susilo (gitar), Yennu Ariendra (gitar, synth), Teguh Hari (bass) dan Septian Dwirima (drum). Khusus untuk proyek ini, Melbi juga mengundang Richardus Ardita (bass) dan Wiryo Pierna Haris (gitar).
"Album ini bukan inspirasi mendadak, tapi datang dari nonton berita kriminal yang tidak mutu. Isi beritanya tentang orang yang dipukuli hingga mati dan seorang perempuan yang ditemukan 3 hari setelah meninggal di losmen. Losmen itu dipenuhi banyak kertas tulisan tangan, seperti diary sebelum mati. Pemilihan nama Joni dan Susi sendiri karena enak didengar. Sedangkan narasi dikembangkan untuk menangkap titik dramatik," jelas Ugoran sang penulis lirik.
Kisah ini, lanjutnya, tentang sepasang kekasih yang bersitegang dengan dunia, negara dan masyarakatnya demi mewujudkan mimpi mereka. Hingga muncul berbagai masalah. Dalam lagu ini juga digambarkan mencuri adalah sikap untuk terlihat lebih berdaya. Sedangkan menulis diary sebagai bentuk saksi.
"Nuansa musiknya sederhana, dinamika yang bising dalam menghadapi realita sehari-hari. Hadir dengan suara yang lembut, seperti terompet Madukismo dari kejauhan. Bertemu dengan logika kerja yang berbeda, sehingga membentuk metode pendekatan dalam menghasilkan musik yang eklektif," tambahnya.
BJS tidak lagi milik Melbi, tapi pendengar dapat merespons teks lagu ini untuk album mereka sendiri. (*-3)-c

Jumat, 20 November 2009

Dari Rolling Stones

Jumat, 20 November 2009 17:01 WIB    
Oleh : Soleh Solihun

Foto : Soleh Solihun
Bookmark and Share
Setelah sepuluh tahun usianya, mereka berniat untuk lebih memperbaiki manajemen.
Yennu Ariendra [electric guitar, synth, laptop], dari kelompok musik Melancholic Bitch atau Melbi hanya bisa cengengesan ketika seniman Djaduk Ferianto bertanya padanya soal album terbaru mereka, Balada Joni dan Susi di Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo, Yogyakarta, Kamis [19/10] pukul delapan malam. Hanya Ugoran Prasad [vokal, penulis lirik] yang lebih artikulatif ketika ditanya Djaduk soal konsep album itu. “Kisah Joni dan Susi biarlah jadi milik semuanya. Biar semua punya interpretasi masing-masing soal kisah itu,” kata Ugo.
Malam itu, Melbi mengadakan peluncuran album Balada Joni dan Susi. Lokasi itu dipilih setelah Djaduk menawarkan padepokannya kepada Melbi. Mereka merekam album itu di studio KUA ETNIKA. Yossy, juga sound engineer di sana. Akhirnya, Kongsi Jahat Syndicate, kolektif dari Jogja yang reputasinya dalam menggelar banyak event di Jogja sudah kesohor, menerima tawaran Djaduk dan menggelar peluncuran album Melbi di sana.
Selain Ugo dan Yennu, menurut catatan di sampul CD-nya, Melbi adalah: Teguh Hari Prasetya [studio works, 2007], Yossy Herman Susilo [electric—acoustic guitar, mix-engineer, voice], Septidan Dwirima [drum, laptop], dengan para kolaborator: Pierna Haris [guitar on stage performance], Richardus Ardita [bass, voice], dan Andy Xeno Aji [graphic, drawing]. Dan malam itu, Melbi mengajak beberapa bintang tamu untuk mengisi peluncuran album: Jamaludin Latief [Teater Garasi], Theo Christanto [Teater Garasi], Frau, Army [Crossbottom], Oky Gembuz [Mock Me Not], dan Silir seorang mantan penyanyi dangdut yang diajak bergabung oleh padepokan itu.
“Bagaimana kalian memandang manajemen band?” tanya Djaduk.
“Memang, harus diakui, selama sepuluh tahun ini, kami belum memperhatikan dengan baik soal manajemen, itu sebabnya sekarang akan kami perbaiki. Juga supaya distribusi album kami bisa tersalurkan dengan baik,” kata Ugo.
Untuk band yang sudah berumur sepuluh tahun dan pernah merilis album sebelumnya, nama Melbi memang belum sepopuler band lain dari Jogja. Album mereka sebelumnya, Anamnesis, hanya beredar terbatas dalam bentuk kaset. Di album Balada Joni dan Susi, Melbi sepertinya ingin memperbaiki itu. Mereka bekerjasama dengan Demajors demi distribusi yang lebih baik.
Peluncuran album dibuka dengan penampilan dua seniman dari Teater Garasi yang memakai baju koko dan sarung. Seorang membawa peralatan karaoke portable tipikal pengamen dan menyanyikan lagu lama milik Melbi. Seorang lagi, membawa kotak amal, tipikal peminta sumbangan di jalan-jalan. Setelah aksi “pengumpulan dana” itu, Frau jadi penampil pertama. Frau adalah proyek solo dari Lani, kibordis yang juga tergabung di band surf rock/rockabilly dari Jogja, Southern Beach Terror.
Konser hanya berjalan kurang lebih dua jam. Melbi hanya membawakan lagu-lagu dari album Balada Joni dan Susi. Bahkan permintaan encore pun tak dikabulkan. Ugo merasa, tak ada lagu lama mereka yang bisa cocok dengan lagu-lagu dari album terbaru mereka. Lagipula, Balada Joni dan Susi, adalah album konsep yang agaknya akan kacau atmosfernya jika dimasukkan lagu lain. Ugo, mengatakan ada dua album yang jadi inspirasi besar dalam pembuatan album itu: The Wall milik Pink Floyd dan Badai Pasti Berlalu.
Konser ditutup dengan sesi foto dan permintaan tanda tangan. Yossy malu-malu membubuhi tanda tangan di album yang disodorkannya.
“Masih belum terbiasa begini-begini,” katanya.
“Harus mulai dibiasain tuh!” kata seorang teman yang ada di dekatnya.

Dari MTV Trax


 



20/11/2009 | foto oleh Wahyu Nugroho
Live Report
Pentas kontemporer ala Melancholic Bitch


JOGJA memang jagonya kalau soal suguhan pertunjukan musik yang aneh. Setelah mereka mempertemukan 100 band lintas genre, lintas generasi dalam Locstock Fest [13-15 November] lalu, kali ini trax disuguhkan dengan sebuah tontonan unik yang serius, sebuah paket seni pertunjukan konseptual yang mengonjugasikan antara seni musik, teater, dan sastra yang dibuat dalam rangka peluncuran album terbaru Melancholic Bitch, bertajuk Balada Joni dan Susi.
   Jika dilihat lokasinya, sungguh diluar dugaan akan sebuah gedung pertunjukan megah ala Taman Ismail Marzuki atau Goethe Insistut. Trax diajak menempuh berkilo-kilo jalan jauh ke selatan, tepatnya tidak lain di Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo, Desa Kembaran, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sebuah kompleks kesenian yang didalamnya terdiri dari elemen-elemen pendukung berkesenian, dari studio rekaman, ruang pentas, kantor, dsb. Pantas lah jika Dialectic Recordings [label mereka], Brains, Kua Etnika, dan Kongsi Jahat Syndicate mengambil lokasi ini. Tidak lain demi menciptakan sebuah pertunjukkan yang tidak lazim.



djaduk

Dan memang Kamis [19/11] malam itu, penonton benar-benar dibawa kepada aura acara yang tak lazim jika dibandingkan dengan pentas band-band besar nasional. Dua tribun kecil kanan kiri mengelilingi sebuah ruang kecil tempat performer. Di tengah ruangan tersebut ada kotak berbahan teralis dengan neon yang siap menyala lengkap dengan mik di dekatnya, singgasana dari sang vokalis. Sementara di kanan-kiri berhias undakan kecil, kavling dari anggota Melancholic Bicth.
    Djaduk Ferianto, anak bungsu dari Bagong Kussudiardjo, empunya Padepokan ini bertindak sebagai tuan rumah yang menyambut penonton yang datang ibarat tamu. Ia memperkenalkan masing-masing personil kolektif Melancholic Bitch, dari sang otak Ugoran Prasad [vokal], Teguh Hari Prasetya [studio works, 2007], Yossy Herman Susilo [electric—acoustic guitar, mix-engineer, voice], Septidan Dwirima [drum, laptop], dengan para kolaborator: Pierna Haris [guitar on stage performance], Richardus Ardita [bass, voice], dan Andy Xeno Aji [graphic, drawing]. Sesi tanya jawab menjadi intro sekaligus presentasi dari Djaduk atas produk dari seniman-seniman yang memang merekam seluruh karyanya di studio Kua Etnika yang terletak di kompleks ini. Sesudah sesi tanya jawab, singer songwriter perempuan bersuara lirih, Frau, nampak di belakang piano dan membuka acara ini. 



frau 

   Terlahir dengan nama  Leilani Hermiasih, namun Lani [nama pendeknya] lebih senang dipanggil Frau. Pianis berparas ayu yang mengawali karir bermusiknya sebagai kibordis band surf-punk-rockSouthern Beach Terror ini punya daya magis tersendiri malam itu. Penonton diajak mengembara dalam khayal ketika tuts jemarinya seakan bergumul mesra dengan vokalnya yang lirih ketika “Mesin Penenun Hujan” dan repertoir lainnya dimainkan.
   Usai Frau, Melancholic memulai pentasnya, satu persatu personil mulai mengisi ruang di tengah. Sang vokalis Ugo mengisi kotak teralis neon tadi sambil mengumandangkan puluhan kata puisi. Lampu perlahan dinyalakan, di belakang dram layar berhias beragam visual, musik merintih, tanda pentas dimulai. Satu persatu repertoir dari album baru ini dibawakan. Tak lupa, nama Joni dan Susi selalu disebut, sebagai benang merah yang menyatukan tiap komposisi, urat nadi dari acara ini. 



ugo 

  Waktu berpacu, beberapa kejutan diletupkan oleh Ugo & co. Seperti saat nomor “Distopia” dilantukan. Berduetnya Ugo dengan Silir, menampilkan sebuah sesi kolaborasi yang romantis. Bak tersihir, Trax punmelupakan kamera sesaat dan mencoba merespon mik yang disodorkan ketika lirik “Bersama-sama kita, bersama-sama slamanya” dilantunkan. 


Ugo dan Silir   


Di pentas itu juga, demi menyempurnakan karya yang sudah mereka buat, Melancholic Bitch mengundang serta para musisi kolabolator yang terlibat, dimulai Jamaludin Latief [Teater Garasi], Theo Christanto [Teater Garasi] yang berorasi di lagu “Mars Penyembah Berhala” Army [Crossbottom] yang beryanyi tunggal di “Nasihat yang baik”  Oky Gembuz [gitaris Mock Me Not] di “Noktah Pada Kerumunan”. Nggak hanya itu, tetabuhan rebana dari Kua Etnika pun digamitnya memenuhi ruangan pentas, menyibakkan sebuah tontonan kolaboratif yang maksimal. 


kolaborasi dengan penabuh rebana

   Lebih dari sekedar launching album, pentas malam itu adalah sebuah bukti nyata percumbuan yang hangat antara seni musik modern dengan banyak elemen seni yang menghasilkan sebuah karya kontemporer yang mumpuni.| wahyu
      

Selasa, 17 November 2009

Dari Radar Jogja

Melbi Balada Joni dan Susi

[Selasa, 17 November 2009]

“Berdua semesta kita, bersama kereta kita. Kereta mengantar kita nuju semesta berdua. Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama-sama selamanya.” Lagu ini sederhana, cuma tentang make a wish and promises, jelas Ugo. Penjelasan singkat yang bisa merancang sebuah piritan informasi yang begitu menggoda guna membuat kalian tetap punya hasrat untuk keseluruhan Balada Joni dan Susi. Distophia bisa diunduh di http://www.myspace.com/melancholibitch


Melbi Balada Joni dan Susi

PERTANYAAN pertama, apa jadinya jika sekelompok pemikiran yang terus menerus punya keresahan berkolaborasi, lalu berkarya bersama atas nama Melancholic Bitch? Mediumnya musik, kebanyakan berbahasa ibu, bunyinya variatif. Bisa dibilang ini musik pop yang cerdas bin trengginas.
Trus, apa yang ngebuat musik itu menarik untuk kalian? Sekadar jadi teman goyang, bersenandung, ato pura-pura keliat hebat sebagai prototip musisi yang sedang memainkan alat musik bohongannya. Atau malah punya fungsi lebih dalam dari itu, sebagai alat untuk bercerita.
Jika kalian belum kenalan ama Melancholic Bitch, maka fungsi musik untuk bercerita (ato membagi cerita) adalah alasan paling sahih untuk digunakan bagi sebuah perkenalan awal. Setelah beberapa tahun absen ngasih kabar, mereka balik dengan satu cerita, Balada Joni dan Susi.
Bagi kalian yang ngerasa asing, jangan takut. Melbi –panggilan erat nan akrab mereka— udah ngebagi dua single promo album ini. Pertama, Mars Penyembah Berhala (akhir 2009). Kedua, Distopia, dirilis awal September 2009.
Dua lagu ini mengawali pertempuran panjang yang akan dialami Balada Joni dan Susi ketika dilepas sebagai suatu kesatuan utuh beberapa bulan mendatang. Sekarang, album ini masih berada di etape terakhir pengerjaan. Distopia sendiri dirasa punya kapabilitas yang cukup mumpuni untuk semakin melanjutkan gambaran awal yang digambar oleh Melbi tentang apa itu Balada Joni dan Susi.
“Dari awal, pas kami bikin lagu ini, pengennya lagu ini bisa jadi jalan masuk buat atmosfir etnografisnya si Balada Joni dan Susi, sebutlah begitu. Suasananya, bau udaranya, bunyi lingkungannya. Kota-kota satelit yang mau kosmopolit tapi ngos-ngosan gitu deh. Secara umum, suasananya kan scherzo banget. Ini seperti Indonesia gitu; panik tapi teratur. Rutin tapi histeris,” tutur Ugoran Prasad, penulis lirik utama Melbi.
Selain Ugo, Melbi juga diperkuat Yosef Herman Susilo (gitar), Yennu Ariendra (gitar, synth), Teguh Hari (bass) dan Septian Dwirima (drum). Khusus untuk proyek Balada ini mereka mengundang Richardus Ardita (bass) dan Wiryo Pierna Haris (gitar).
Keseluruhan lagu ini berhasil menyempurnakan rancangan perkenalan orang banyak dengan Balada Joni dan Susi. Di lagu ini, seperti pengakuan Ugo, mereka terdengar liar dalam perkara bebunyian. Seolah-olah, banyak teriakan yang berlomba keluar dan menonjolkan diri.
“Scherzo di bagian tengah ke akhirnya si Distopia emang buat kami penting banget. Pokoknya semua orang cerewet banget di bagian ini. Didit tuh, dia main bas bagian tengah ke belakang berasa seolah-olah sedang berhadapan yang bakal mencaci maki dia,” tambah Ugo lagi.
Scherzo yang dimaksud adalah patahan-patahan musik dalam cara-cara tertentu (bisa tidak beraturan) yang kemudian membentuk sebuah orkestrasi musik yang lebih besar skalanya.
Satu yang menarik, ada sebuah elemen menarik di sini. Melbi ngajak Silir Pujiwati dari kelompok Sinten Remen yang musiknya berbanding terbalik dengan Melbi. “Silir itu adalah dari pikiran kami yang sudah lama ingin ngajak kolaborasi teman-teman di KUA. Sebenarnya di amnesis (album penuh pertama Melbi) sudah dicoba juga. Tapi belum berhasil. Dari dulu Silir sudah bikin kesengsem suaranya. Jadi begitu ada lagu ini dan ada kebutuhan duet, langsung ditembung,” papar Ugo tentang niat lama Melbi berkolaborasi dengan Silir Pujiwati.
Dari segi lirik, Ugo –yang nulis lirik semua lagu di Balada Joni dan Susi— ambil tema tipikal. Dan tidak perlu banyak kata yang harus dirangkai menjadi satu kesatuan. Tiga kalimat sudah cukup mewakili.

Jumat, 02 Oktober 2009

dari seseorang

Penelanjangan Untuk Melancholic Bitch dari Orang yang Hampir Fanatik Terhadapnya

August 2, 2009 · 

Saudara-saudara….
Sudah menjadi harga mati bagi saya bahwa musikalitas Mel-B1 itu beyond the border. Liriknya, semakin menegaskan bahwa sang vokalis memang berkacamata tebal. Jadi nggak akan ada uneg2 di daerah itu….saya hampir fanatik sempit terhadap musikalitas kelompok musik satu ini. Lalu? Ya jelas lah…sonic analyticnya yg akan saya telanjangi secara perlahan, secara….bisanya cuma itu je…. Setiap penelanjangan tentang “sonic stuff” kali ini justru ke area dimana science yang banyak berkontribusi, artinya adalah mastering stage. Untuk mixing style…hmmm untuk saya ini area yang sensitif karena terlalu banyak pembenaran yang di atas namakan oleh art.
Sekitar  satu setengah bulan yang lalu saya dititipi oleh Ugo draft BJS dan album anamnesis dari Mel-B1. “Kalau mau didengerin, To” kata dia. Sesampainya di workshop, saya langsung ngajak Io’ ke studio dan memperdengarkan file-file tersebut melalui Focal Solo6be.
Hmm..sepertinya kami mengenali suara ini…Fruity Loops!!! dasarnya emang Io’ juga maniak depressed dengan software sequencer yang satu ini, jadi hapal luar dalam dia. Belum dengar suaranya saja, Io’ sudah dapat membaui tentang kehadiran Fruity Loops. Bagi saya pribadi, sound FL tuh mentah, harsh dan kayak keju…he…he…no offense dude….sedangkan spectral vokalnya bermerk habis dengan mengambil ruang eksplorasi pada time based effect.
Tanggal 31 kemaren, Mel-B1 secara “sadar” mengumumkan peluncuran single studio version mereka yang berjudul Mars Penyembah Berhala. Bisa di download secara legal disini. Langsung saja session analysis dimulai. Dengan berbekal Digidesign Protools HD2 DAW, Lynx Aurora8 ADDA, Macpro, Focal solo6be, TT Dynamic Range Meter, TL Master Meter, IXL Spectral Analysis dan IXL Multimeter.
Okay, Lanjut ke  gambar….dimulai dari waveform demo version hingga reference yang sengaja diambil oleh penulis yaitu Money-nya Pinkfloyd pada album Delicate Sound of Thunder.
Picture 9 
Waveform pada Demo Version Mars Penyembah Berhala
Waveform Mars Penyembah Berhala Studio Version 
Waveform pada Mars Penyembah Berhala Studio version
Waveform Money Delicate Sound of Thunder 
Waveform reference Money Delicate Sound of Thunder
Dari gambar di atas terjadi perubahan drastis terhadap bentuk waveform antara yang demo version dan studio version. Pertanyaannya kenapa? biar bisa diterima oleh industri yang mengklaim bahwa Louder is better? “Mel-B1 berteriak tetapi hanya terdengar sesaat”
Lanjut ke masalah oversampling dan peak, lagi-lagi kembali ke gambar…
Oversampling and peak data
Oversampled and peak data pada Mars Penyembah Berhala demo version
Oversampled & Peak data studio version 
Oversampled and peak data pada Mars Penyembah Berhala Studio Version
Oversampled & Peak data Money-Delicate Sound of Thunder 
Oversampled and Peak data pada Money-Delicate Sound of Thunder
Di demo version terhitung 284 kali event yang teroversampled dan 88 titik terjadi peak. Di studio version terhitung 287 kali event yang teroversampled dan 67 titik terjadi peak. Pada reference yaitu Money-Delicate Sound of Thunder terhitung hanya 2 event yang teroversampled. dan 1 titik yang peak. Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi ketika material ini di playback pada home-user music player? Kita semua tahu kebanyakan home-user music player tidak memiliki kualitas ADDA seperti pada high-end converter. Jelas distorsi yang akan menghujam telinga setiap pendengarnya. Sekali lagi “Mel-B1 berteriak tetapi hanya terdengar sesaat!”

Lanjut lagi ke bagian RMS…dan lagi-lagi menggunakan gambar.
RMS level@mars penyembah berhala demo version 
RMS and Peak information in Mars Penyembah Berhala demo version
RMS&Peak level at Mars Penyembah Berhala studio version 
RMS and Peak Information in Mars Penyembah Berhala Studio version
RMS&Peak data@ Money-Delicate Sound of Thunder 
RMS and Peak information in Money-Delicate Sound of Thunder
Demo version RMS -8.6 dBFS
Studio version RMS -3.9 dBFS
Reference RMS -10.9 dBFS
WOW!!! It’s Loud dude! It’s fucking damn loud. Selamat untuk Mel-B1!!! yang telah berhasil masuk ke pentas percaturan Loudness WAR…..
Sekali lagi ” Mel-B1 berteriak tetapi hanya sesaat”

Senin, 14 September 2009

Teks Balada Joni dan Susi

Intro
Ketika Joni dua satu dan susi sembilan belas,
hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas
kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas,
dingin dan cemas.
Namaku Joni,
namamu Susi.
Namamu Joni,
namaku Susi.

Bulan madu
Pejamkan mata kita di Venesia.
Berdayung sampan kita di kanal Venesia.
Pejamkan mata kita di kanal-kanal di Venesia.
Pejamkan mata kita di atas kapal di kanal Venesia.
Jangan bergerak terlalu kencang
Kau terlalu kencang
Terlalu kencang, lalui nepal, tanpa sempat singgah di oslo dan budapest. Kencang tanpa sempat nanking, tanpa sempat rio, tanpa sempat lima, tanpa sempat, kencang tinggalkan capetown.
Rentangkan kedua tangan, jangan hilang keseimbangan.

Kapal ini goyang.

7 hari menuju semesta
Senin sedang cerah, ijinkanlah, kurayu dirimu : lukai aku, belah dadaku, makan jantungku, renggut hatiku dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan; memisah jiwa raga kita.
Selasa, kau dan aku, jika waktu berpihak padaku, ijinkanlah, kumelukaimu. Ijinkanlah kupetakan tubuhmu, dalam suka atau duka, kaya atau papa sampai kematian memisahkan membelah jiwa raga kita
Rabu, langit kelabu, tanpa ragu-ragu, perintahkan padaku, rebut segalanya untukmu dan seperti kau tahu: sgalanya adalah seluruhnya.
Katakanlah jika aku Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya.
Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu pepatkan seluruh semesta. Jika kau menginginkannya. Pepatkan seluruh sisi-sisinya.

distopia
Berdua semesta kita, bersama kereta kita.
Kereta mengantar kita menuju semesta berdua.
Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama sama selamanya

Mars penyembah berhala
Setiap tempat beratap bisa berubah jadi istana. Gaun terbaik adalah gaun yang kedap cuaca. Tidur adalah berbaring tenang dan memejam mata, mengganjal lapar dengan apa saja berkhayalpun bisa dan sesungguhnya,
Setiap tempat berpagar bisa berubah jadi negara, melamun terbaik adalah lamun yang kedap tentara. Tidur adalah berbaring tenang dan memejam mata, membakar pasar dengan apa saja, pikiran pun bisa, dan sesungguhnya.
Seseorang cubit aku di pipi, jika semua ini hanya dan hanya mimpi.
Siapa yang membutuhkan imajinasi, jika kita sudah punya televisi. Semesta pepat dalam 14 inci.


Nasihat yang Baik
Susi ingin tidur, susi lelah bermain seharian. Susi terlalu lelah jalan-jalan. Terlalu lelah, maka tidurlah.
Sepotong musik; untuk cemasmu; untuk resahmu; untuk sedihmu; untuk menunggu waktu yang lelah. Maka tidurlah.
Tidurlah Susi.

propaganda dinding
Minggu pertama pelarian kita; tataplah mataku dan temukan telaga. Susi demam dan terbaring gemetar. Joni gusar dan tangannya terkepal. Miskin takkan membuatnya putus asa. Lapar memaksanya merasa berdaya.
Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik:
curilah roti
curilah roti
Jangan biarkan Susi mati.
Supermarket-supermarket tak pernah sepi. Lihat deret yang selalu tersusun rapi. Waktu terkutuk kadaluarsa di bungkus roti. Supermarket dan busung lapar adu lari.
Aku tak gila ketika didengarnya dinding berbisik, pelan berbisik: curilah roti. Takkan kubiarkan kau mati.
Tak kan kubiarkan kau.

Apel Adam
Kau tak bisa mencuri sepotong roti dan kau tak bisa mencuri sebuah apel karena pencurian merusak kesetimbangan harga, dunia. Sesungguhnya dia bisa saja keluar hidup-hidup dari perangkap yang disiapkan supermarket untuknya. Dia berdiri di depan lorong berwarna jingga dan biru dan magenta. Kaleng biru berisi susu, darah di dalam dirinya magenta.
Supermarket memerangkapnya. Sebuah apel jatuh dari lubang di celananya. Apel itu apelmu Adam.
Buah apelmu, Adam.
Pada orang-orang yang menangkapnya, mengurungnya, mencekal pundaknya, membanting punggungnya ke aspal, pada orang-orang yang menghantamkan hukuman Tuhan di wajahnya, Joni berkata:
jangan libatkan polisi di lagu ini. (Buah apelmu, Adam)
jangan libatkan polisi di cinta ini. (Buah apelmu, Adam)

Akhirnya, Masup TV
Susi, aku masup tv, 15 detik, kerajaanku. Lebih baik, jauh lebih baik daripada seumur hidup tampa lampu. Lihatlah, lihat sgalanya nyata di tv. Lihat betapa nyata cinta kita kini. Lihatlah, susi, aku ada di tv.
(catatan : ini bagian tambahan yang drum masuk yos, di demo gak ada)
Di jalan tertulis jejak luka, pemerintah tak bisa membacanya. Susi ajarkanlah pada mereka bagaimana caranya mengeja.

Menara
Ketika Joni dua satu dan susi sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas. Kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas, dingin dan cemas.
Namaku Joni, namamu Susi. Namamu Joni, namaku Susi.
Berdarah, ah, luka di tanganku. Berdarah, ah, luka di tanganmu. Saling menggenggam kita, mengikat darah kita selamanya.
Kita akan berpinak, banyak-banyak,
menjadi sekawanan Joni, menjadi sekawanan Susi menjadi sekawanan Joni, menjadi sekawanan Susi
menjadi sekawanan Joni, menjadi sekawanan Susi
Mari pergi dari sini
Mari kita pergi
dari sini
Membuka lahan
Kebun apel
Seperti tuhan
Membuka lahan
Kebun apel
Seperti tuhan
Lalu kita dirikan menara

Yang tinggi
Lebih tinggi
Lebih tinggi

Tengadahlah
Joni dan Susi
Joni dan Susi
Ketika Joni dua satu dan susi sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas. Kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas, dingin dan cemas.
Namaku Joni, namamu Susi. Namamu Joni, namaku Susi.


Noktah pada kerumunan
bisa kudengar: kerinduan yang digumamkan. pelarian ini telah usai

dan kerumunan melindungimu, mengenakan wajah dan namamu. kerumunan menjadi batu
yang melesat dan menghancurkan.
kerumunan melindungiku, mengenakan wajah dan namaku. kerumunan menjadi pisau yang berkilau dan teracungkan

jika kita bertemu di sudut sesak itu, lihatlah di wajahku dan temukanlah wajahmu.
kutatap ke matamu dan kutemukan mataku.

outro

Kamis, 10 September 2009

Dari Pelukis Langit


Pertanyaan pertama, apa jadinya kalau sekelompok pemikiran yang terus menerus punya keresahan berkolaborasi lalu berkarya bersama atas nama Melancholic Bitch?
 
Mediumnya musik, kebanyakan berbahasa ibu, bunyinya variatif. Bisalah dibilang ini musik pop yang cerdas bin trengginas.

(Lagi-lagi pertanyaan) Apa yang membuat musik menarik untuk kalian?

Sekedar jadi teman bergoyang, bersenandung, atau pura-pura terlihat hebat sebagai prototip musisi yang sedang memainkan alat musik bohongannya. Atau malah punya fungsi lebih dalam dari itu, sebagai alat untuk bercerita.

Jika kalian belum berkenalan dengan Melancholic Bitch, maka fungsi musik untuk bercerita (atau membagi cerita) adalah alasan paling sahih untuk digunakan bagi sebuah perkenalan awal.

Setelah beberapa tahun absen memberi kabar, mereka kembali dengan sebuah cerita balada berjudul Balada Joni dan Susi.

Bagi kalian yang merasa asing, janganlah takut. Melbi –panggilan erat nan akrab mereka— sudah membagikan dua buah single promosi dari album ini.

Yang pertama, Mars Penyembah Berhala, dirilis akhir Juli 2009 lalu. Yang kedua, Distopia, dirilis awal September 2009.

Dua lagu ini mengawali pertempuran panjang yang akan dialami oleh Balada Joni dan Susi ketika dilepas sebagai suatu kesatuan utuh beberapa bulan mendatang. Sekarang, album ini masih berada di etape terakhir pengerjaan.

Distopia sendiri dirasa punya kapabilitas yang cukup mumpuni untuk semakin melanjutkan gambaran awal yang digambar oleh Melbi tentang apa itu Balada Joni dan Susi.

“Dari awal pas kami bikin lagu ini, pengennya lagu ini bisa jadi jalan masuk buat atmosfir etnografisnya si Balada Joni dan Susi, sebutlah begitu. Suasananya, bau udaranya, bunyi lingkungannya. Kota-kota satelit yang mau kosmopolit tapi ngos-ngosan gitu deh. Secara umum, suasananya kan scherzo banget. Ini seperti Indonesia gitu; panik tapi teratur. Rutin tapi histeris,” tutur Ugoran Prasad, penulis lirik utama  Melbi.

Selain Ugo, Melbi juga diperkuat oleh Yosef Herman Susilo (gitar), Yennu Ariendra (gitar, synth), Teguh Hari (bass) dan Septian Dwirima (drum). Khusus untuk proyek Balada ini mereka mengundang Richardus Ardita (bass) dan Wiryo Pierna Haris (gitar).

Keseluruhan lagu ini berhasil menyempurnakan rancangan perkenalan orang banyak dengan Balada Joni dan Susi. Di lagu ini, seperti pengakuan Ugo, mereka terdengar liar dalam perkara bebunyian.

Seolah-olah, banyak teriakan yang berlomba-lomba untuk keluar dan menonjolkan diri.


Scherzo di bagian tengah ke akhirnya si Distopia emang buat kami penting banget. Pokoknya semua orang cerewet banget di bagian ini. Didit tuh, dia main bas bagian tengah ke belakang berasa seolah-olah sedang berhadapan yang bakal mencaci maki dia,” tambah Ugo lagi.

Scherzo yang dimaksud di sini adalah patahan-patahan musik dalam cara-cara tertentu (bisa tidak beraturan) yang kemudian membentuk sebuah orkestrasi musik yang lebih besar skalanya.

Satu yang menarik, ada sebuah elemen menarik di sini. Melbi mengajak Silir Pujiwati dari kelompok Sinten Remen yang musiknya berbanding terbalik dengan Melbi.

“Silir adalah bagian dari pikiran kami yang sudah lama ingin mengajak kolaborasi teman-teman di KUA. Sebenarnya di Anamnesis (album penuh pertama Melbi) sudah dicoba juga. Tapi belum berhasil. Dari dulu Silir sudah bikin kesengsem suaranya. Jadi begitu ada lagu ini dan ada kebutuhan duet, langsung ditembung,” papar Ugo tentang niat lama Melbi berkolaborasi dengan Silir Pujiwati.

Dari segi lirik, Ugo –yang menulis lirik semua lagu di Balada Joni dan Susi— mengambil tema tipikal. Dan tidak perlu banyak kata yang harus dirangkai menjadi satu kesatuan. Tiga kalimat sudah cukup mewakili.

Begini liriknya:

“Berdua semesta kita, bersama kereta kita.
Kereta mengantar kita menuju semesta berdua.
Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama-sama selamanya.”

“Lagu ini sederhana. Cuma tentang make a wish and promises,” jelas Ugo.

Penjelasan singkat yang bisa merancang sebuah piritan informasi yang begitu menggoda guna membuat kalian tetap punya hasrat untuk keseluruhan Balada Joni dan Susi.

Distopia bisa diunduh di www.melancholicbitch.com. (pelukislangit)

Jumat, 04 September 2009

Distopia



Distopia adalah Melancholic Bitch featuring Silir, sinden Kua Etnika. Single ini dirilis pada awal September 2009 sebagai bentuk promo dari album Balada Joni dan Susi. Bisa juga di temui disini : DeathRockstarInfo.


Distopia
Berdua semesta kita, bersama kereta kita. Kereta mengantar kita menuju semesta berdua. Bersama-sama kita bersama selama-lamanya, bersama-sama selamanya.

Jumat, 31 Juli 2009

Mars Penyembah Berhala



Single Mars  Penyembah Berhala adalah bagian dari repertoar Balada Joni Dan Susi. Ditulis, diolah, direkam oleh Melancholic Bitch. Rekaman, penataan suara dan mastering dilakukan oleh dan di Studio Kua Etnika. Single ini dirilis pada 31 Juli 2009.

BJS-Melbi adalah karya kolektif-seniman sebagai berikut :Yosef Herman Susilo (Electric-Acoustic Guitar, Mix-Engineer), Ugoran Prasad (Voice, Lyric), Teguh Hari Prasetya (Bass, Keyboard), Yennu Ariendra (Electric Guitar, Synth, Laptop), Septian Dwirima (Percussion, Laptop); Collaborating Artist for BJS: The Wiryo Pierna Haris (guitar), Richardus Ardita (bass, voice), and Andy Xeno Aji (graphic, drawing).

BJS-MELBI adalah produksi bersama antara Melbi dan Dialectic Recording, dengan support Brain Manufacture,  Kuaetnika, Teater Garasi, Omuniuum.net  dan Kongsi Jahat Syndicate.

juga bisa ditemui di sini : DeathRockStar

Selasa, 24 Maret 2009

Dari masa lalu

Tampaknya linknya sudah hilang. untung masih ada seseorang menyelamatkan artikel ini. sekitar maret 2004.
thanks to POP.

Melancholic Bitch
Zaman yang Kian Menajam

Kompas/hariadi saptono

LUPAKAN pameran melodi dan gairah perkusi dari Santana. Lupakan rembesan nada-nada gelisah yang halus membius dari Michael Franks.
Melancholic Bitch, datang dengan menggapai-gapai gagap-karena naluri eksperimental dan ekspresivitasnya, tetapi lalu seperti menancapkan "duri" di kaki-kaki pengelana bebunyian. Ibarat mobil, Melancholic Bitch adalah jenis pengelana bunyi di medan off-road, liar, ribut, tetapi sungkawa untuk mencapai sasaran.

Padahal, di panggung, mereka bertiga: Yosef Herman Susilo (26 tahun, PC programmer, gitar), Ugoran Prasad (23 tahun, lirik, vokal), serta Teguh Hari (25 tahun, bass), berpenampilan sangat sederhana, nyaris wagu (kikuk-Red) untuk sebuah atraksi, dan jenis musik (baca genre) electronic digital, sebuah genre musik yang mulai berkecambah dalam 10 tahun terakhir, tetapi yang tetap bertahan untuk jadi jenis yang mainstream, atau major.

Minggu malam 31 Maret lalu, grup yang didirikan oleh Yosy (Yosef Herman Susilo) dan Ugo (Ugoran Prasad) tahun 1999 itu, tampil menarik sebagai sebuah genre musik baru, notabene untuk Yogyakarta yang selama ini secara keliru dianggap kurang progresif.

Mengambil tajuk pertunjukan Beta Satin Merah, penampilan Melancholic Bitch dengan sepuluh nomor lagu mereka, merefleksikan sejumlah catatan penting tentang pertumbuhan musik elektronik yang menggejala sejak tahun 1998 di Yogyakarta. Pada sisi lain, itulah gambaran kegerahan anak-anak muda yang berusaha keluar, lepas dari situasi sosial, politik, dan semua keadaan yang tak keruan sejak sebutlah gerakan reformasi yang kian menajam tahun 1998 itu, ternyata tidak menghasilkan apa-apa.

Berangkat dari musik analog, seorang pemain gitar (Yosy), seorang penulis lirik (Ugo), dan sejak setahun terakhir mereka menambah seorang pemain bass (Teguh Hari), dua nomor pertama mereka-sebagaimana mereka akui sendiri- belum menawarkan sensasi kekuatan musik elektronik yang mereka sebut rif-hop.

"Kami terganggu monitor panggung, karena level bunyinya kurang keras," ujar Yosy, yang sekaligus PC programmer pertunjukan.

Baru pada nomor ketiga berjudul Tentang Cinta, serta lagu terakhir Kita Adalah Batu, yang namanya genre musik baru-tidak mudah menjelaskannya dengan sederhana-muncul di situ. Dalam rumusan awak Melancholic Bitch sendiri, jenis rif-hop yang mereka sajikan adalah pertautan baru musik elekronik dengan shadow-pop, rap, drum, and bass, dan jenis eksperimental yang lebih menekankan pencarian bunyi. Harmoni tidak ditentukan oleh nada, tetapi sembarang bunyi, lalu ekspresi menjadi hal yang menonjol.

Trif-hop secara khusus memiliki tonjokan yang kuat, yaitu sebuah latar bunyi monoton, dan beat yang dominan dari perangkat komputer/elektronik, serta-yang rada aneh-ialah suasana melankolik yang mereka pilih dari bebunyian, dan lirik. Mirip house-music, tetapi lebih ada isi, yaitu suasana melankoli.

Suasana ini, mungkin bisa terbayang pada lirik yang diteriakkan Ugo, dalam gaya yang kadang tak umum: berjongkok seperti orang ngejan. Rekuiem, lagu keempat yang mereka tampilkan, antara lain begini: jika tak ada jalan keluar/ pada apa kita akan menghindar/ dan susunan bahasa yang kau enggan/ adalah perca yang ingin kuselesaikan/ jika tak ada lagi suntuk penenang/ pada setiap perih yang kau simpan/ dan seluruh kenangan yang genggam/ menyerap luka yang semakin lama semakin mendalam/ bernafaslah denganku/ kuberjanji kita takkan terengah..../ di akhir bagian, terdengar suara engahan Ugo...

Pada nomor kesepuluh, Aku Adalah Batu, engahan dan rintihan itu menjadi jeritan kesakitan yang ditingkahi bunyi gitar dan seperangkat alat elektronik yang keruh dan kasar: setiap awal musim kita siapkan segelas rasa sakit yang kehilangan/ setiap awal musim kita siapkan semangkuk rasa peih dengan kebencian/ kita akan terjaga selamanya... Mereka, tengah menjeritkan kondisi zaman yang kian menajam.

SEJAK mula menggunakan perangkat komputer dan sample musik dari jaringan Internet, kelahiran Melancholic Bitch sebenarnya merupakan bagian pelembagaan sebuah forum atau medan kreasi para pemusik alaternatif Yogyakarta dan sejumlah kota lain, sejak tahun 1999. Forum itu, kini merangkul 18 grup sejenis se-Indonesia, sejak pergelaran Mencari Harmoni I (Mei 1999), Mencari Harmoni II (Juli 2000), Parkinsound III (Juli 2001), dan Parkinsound IV (19-20 Juli 2002). Progam itu tak bisa dilepaskan dari peran Muhammad Marzuki (23), penggagas berbagai performance dan pemilik Performance Fucktory Yogyakarta yang didirikannya bersama Jompet, Ugo, dan Yossy.

Forum musik alternatif itu, juga Performance Fucktory, maupun Melancholic Bicth, muncul dan melembaga berkat kebesaran hati Pascal Elbaz, Direktur Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta yang memberi tempat dan dukungan. Jadilah, Melancholic Bitch, sebenarnya tak sekadar musik....(hrd)