Senin, 20 Desember 2010

Lima Konser Istimewa Di Daerah Istimewa Tahun 2010

Dari jakartabeat.net.
Lima Konser Istimewa Di Daerah Istimewa Tahun 2010




Oleh Ardi Wilda, mahasiswa jurusan Komunikasi UGM Yogyakarta |

Jakartabeat.net meminta saya untuk ikut menulis edisi akhir tahun ini. Saya diminta menulis lima konser terbaik di Yogyakarta sepanjang tahun 2010. Alasannya mudah saja katanya: tak mungkin ada orang yang berkeliling Indonesia sekedar untuk menonton konser. Karena itu, membuat catatan lima konser terbaik di sebuah daerah bisa menjadi alternatif untuk melihat perkembangan scene musik dalam sebuah kota (dan tentu tak perlu berkeliling Indonesia). Coba bayangkan saat sebuah kota setiap tahunnya mencatat lima konser penting dalam setahun ke belakang, boleh jadi akan menjadi media tukar informasi dan masukan bagi pementasan yang diadakan di setiap kota ke depannya.
Kebetulan setahun belakangan ini saya bisa menyambangi berbagai pementasan musik di Yogyakarta. Merangkumnya menjadi lima pementasan terbaik tentu lumayan membuat kepala pusing. Namun, bukan itu pertanyaan utamanya buat saya. Pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa pementasan kota Yogyakarta di tahun ini dirasa penting untuk diangkat oleh Jakartabeat.net. Pertanyaan itu tentu tak semudah menonton pidato SBY tentang keistimewaan Jogja lewat iPad barunya.
Mencoba menjawab pertanyaan itu, saya mengutip apa yang dikatakan oleh Wok The Rock (pemilik netlabel Yes No Wave dan salah seorang kurator dalam album kompilasi  Jogja Istimewa). Ia menuturkan kalau orang-orang di dalam scene musik Jogja kini semakin dewasa dan matang. Pendapat Wok bisa jadi benar. Album Jogja Istimewa misalnya bisa jadi semacam indikator magnum opus terhadap geliat scene musik di kota ini. Jakarta telah lebih dulu menetaskan beragam band luar biasa lewat kompilasi JKT:SKRG, kota Bandung dengan masaindahbangetsekalipisan. Lewat Jogja Istimewa giliran Yogyakarta yang mengeluarkan tajinya tahun ini. Tentu hal itu jadi penanda penting dalam perkembangan musik kota ini satu tahun ke belakang.
Alasan lainnya, meski tidak berhubungan dengan musik secara langsung, juga mempengaruhi pementasan di Jogja sekitar tiga bulan ke belakang. Erupsi merapi tak bisa dipungkuri mempengaruhi frekuensi konser musik yang ada di Yogyakarta. Mengutip filosofi orang Jawa yang melihat sesuatu dari sisi positif, bencana ini membuat musisi Jogja bergandengan tangan untuk mengadakan konser amal. Artinya, ketika bencana pun kota ini mampu menampilkan pementasan musik hebat dengan tujuan amal yang patut diapresiasi. Dari alasan-alasan itu, rasanya pantas kalau konser-konser di Jogjakarta tahun ini dianggap penting oleh Jakartabet.net untuk diulas. Oke tak perlu berlama-lama seperti pidato SBY, inilah kelima list pementasan musik terbaik di Yogyakarta:

5. Gugur Gunung
(Bosche VVIP Club, 31 Oktober 2010)
Konser ini pada dasarnya adalah sebuah rangkaian konser amal selama tiga hari berturut-turut (29-31 Oktober) untuk bencana Merapi. Saya begitu kaget ketika mewawancarai Erix (vokal/bass Endank Soekamti),salah satu inisiator Gugur Gunung. Ia mengatakan hanya berawal dari kicauan dia di twitter untuk mengajak musisi Jogja merespon bencana merapi. Kekuatan 140 karakter kemudian berubah menjadi sebuah konser yang begitu menarik bagi saya. Lupakan soal perbedaan genre musik, juga tak ada masalah siapa dibayar berapa, semua bersatu padu demi korban Merapi.
Tercatat Eross dan Duta SO7, Letto, Jogja Hip Hop Foundation, Endank Soekamti, Shaggydog dan puluhan band lainnya tampil di konser ini. Tak hanya musisi lokal, solidaritas juga hadir dari musisi ibukota dengan mendonasikan barang-barang untuk dilelang demi kepentingan amal. Mungkin Erix Soekamti sendiri tak pernah mengira kicauannya di twitter menghasilkan sebuah konser amal yang tertata secara apik. Konser ini berhasil mengimplementasikan idiom Gugur Gunung dalam bahasa Jawa dengan sangat baik, semua saling gotong royong dan bahu membahu atas nama kemanusiaan.

4. Launching Album Starlit Carousel Frau
(Kedai Kebun Forum, 12 April 2010)
Ketika mendengar kata launching album yang terlintas dalam pikiran saya adalah sebuah acara yang begitu meriah nan glamor. Lewat peluncuran album Starlit Carousel, Frau membalikkan pemikiran saya 180 derajat. Tak ada sebuah pesta atau seremoni spesial di konser ini.  Hanya ada si Oskar (nama piano Frau), segelas teh hangat dan sebuah lampu berwarna temaram. Pianis yang piawai menekan tuts piano namun sama sekali tak piawai berbicara pada penonton sebelum pentas ini membuat saya percaya pada idiom, “sederhana itu mewah”.
Dibuka oleh penampilan band indiepop bernama Brilliant at Breakfast konser ini sejak awal sudah menawarkan suasana yang begitu hangat. Frau tanpa banyak bicara menghadirkan nomor-nomor andalannya dari album yang baru ia rilis. Di jeda lagu ia menyempatkan diri meneguk segelas teh hangat dibawah temaram lampu. Saat saya wawancara beberapa hari sebelum konser, Frau pernah mengakui ia senang dengan dirilisnya album ini. Ia mengistilahkan dengan memberi sebuah tempat tinggal bagi lagu-lagunya. Di launching ini saya, dan ratusan orang yang dating, seperti diajak masuk ke rumah Frau dan dijamu dengan begitu hangat oleh si tuan rumah. Lewat konser ini pula Frau mengingatkan bahwa yang terpenting dalam sebuah konser adalah esensi musik yang ditawarkan dan momen berbagi antara musisi dan penonton di dalamnya. Dan Frau memberikan keduanya secara sederhana sekaligus ramah.

3. Konser Perpisahan Sementara Ugoran Prasad Melancholic Bitch
(Rumah Budaya Tembi, 9 Agustus 2010)
“Nek ora kebagian tempat lungguh nang sawah wae kono (kalau tidak kebagian tempat duduk di sawah aja sana),” tutur Gufi dari Kongsi Jahat Syndicate, promoter konser itu, saat mengetahui penonton konser yang membludak. Ya malam itu Rumah Budaya Tembi sudah terlalu banyak dipadati oleh penonton yang punya satu tujuan:  melihat terakhir kalinya Ugoran Prasad tampil bersama Melancholic Bitch (Melbi) sebelum kembali lagi di Bulan Juli 2011. Ugo begitu sapaan akrabnya terpaksa harus meninggalkan Melbi selama setahun karena akan menjalani program kebudayaan dari Asian Cultural Council di New York selama setahun.
Ratusan orang malam itu larut dalam suasana perpisahan yang dihadirkan oleh Ugo. Kartika Jahja (Tika) yang malam itu juga berduet dengan Melbi berpesan singkat di tengah lagu, “Jangan sampai Ugo ditelan Kota New York”. Ucapan Tika boleh jadi adalah kegelisahan ratusan orang yang menonton malam itu. Hal itu jelas bisa dipahami, setelah muncul dari tidur lelapnya lewat “Balada Joni dan Susi” tahun lalu tiba-tiba band cult asal Jogja ini harus kehilangan vokalis sekaligus motornya selama setahun. Ratusan orang malam itu seperti Susi yang tak mau ditinggal Joni begitu saja karena tertangkap mencuri.
Seingat saya Melbi mengeluarkan semua lagu di album Balada Joni dan Susi malam itu. Meski telah memberikan semua lagunya, penonton seperti tak rela melepas Ugo sehingga tak mau beranjak dari venue meski konser telah dinyatakan selesai. Ugo bahkan kebingungan dan hanya mengatakan, “Nyanyi opo meneh iki (nyanyi apalagi ini)?”. Saat saat saya temui seusai konser tak ada raut muka sedih karena harus meninggalkan Melbi selama setahun. Ugo hanya menyatakan inilah fase baru bagi Melbi. Ia menambahkan sebisa mungkin Melbi bisa berkolaborasi dengan musisi atau vokalis lain saat ia berada di New York. Sayangnya sudah tiga bulan semenjak konser ini berlalu saya belum mendengar kabar Melbi akan tampil bersama musisi atau vokalis lain seperti yang dijanjikan Ugo.

2. Konser Nusa Swara Kua Etnika
(Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 31 Agustus 2010)
Awalnya saya sama sekali tak berniat menonton konser ini. Saya memang tak begitu paham musik etnik yang dibawakan Kua Etnika, jadi wajar jika saya tak menggubris konser ini. Tiba-tiba seorang kawan melimpahkan tiketnya ke saya karena ia berhalangan hadir. Dengan ekspektasi nol saya datang ke konser tersebut. Yang terjadi kemudian adalah saya begitu takjub pada musik dan penampilan Kua Etnika.
Konser ini sendiri menandai peluncuran Nusa Swara, album ketujuh Kua Etnika. Dalam liner notes album yang ditulis oleh Agus Noor, Nusa Swara diartikan sebagai pemaknaan Nusantara melalui bunyi dan suara. Secara klise tentu saja Nusantara begitu kaya dan beragam. Album dan konser Nusa Swara kemudian mengekplorasi bunyi-bunyian yang berasal dari penjuru Nusantara dengan sangat detail dan beragam.
Meski terkesan membawa sebuah misi yang besar, bukan berarti konser ini kemudian diisi oleh ratusan kening penonton yang berkerut. Saya yakin ratusan orang yang datang menikmati konser ini sambil tersenyum senang. Hal itu karena Djaduk Ferianto dan pasukannya di Kua Etnika tahu betul bagaimana menghibur penonton. Selain menghadirkan musik etnik yang membuat hampir semua penonton menganggukkan kepala ia juga melontarkan lelucon khas Jawa yang menghibur. Agaknya keberhasilan konser ini karena Kua Etnika sadar betul komunikasi dan pemahaman karakter penonton dalam sebuah konser adalah kunci penting terciptanya hubungan dua arah dalam sebuah pementasan.

1. Tika and The Dissidents
(Konser In Search of Her Head, Jogja National Museum, 30 April 2010)
Entah kenapa saat selesai menonton konser Tika and The Dissidents ini saya ingat sepenggal lirik lagu Sound of Silence dari Simon and Garfunkel, “People talking without speaking, people hearing without listening”. Sepenggal lirik itu mungkin muncul karena malam itu Tika dan kompatriotnya seperti mengajari apa arti komunikasi dalam arti yang paling dalam. Di konser itu, pengagum Vina Panduwinata ini tak hanya sedang bernyanyi dan memainkan musik semata, ia sedang menyapa penonton dalam intensitas komunikasi yang cukup tinggi. Penonton pun seperti disuguhi seorang pencerita ulung yang berbicara dari hati ke hati.
Saya ingat Tika dalam sebuah konser di Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta sekitar setahun sebelum konser ini pernah berkata kalau Jogja adalah kota favoritnya melaksanakan konser. Saya yakin ia tak sedang membual ala musisi pagi hari berbual pada para penonton bayaran. Buktinya setiap penampilannya di Yogyakarta Tika selalu menampilkan sesuatu yang istimewa, sebuah wujud respect dia terhadap kota Jogja. Dengan latar belakang itu ditambah kenyataan bahwa ini adalah penampilan perdana Tika dan The Dissidents di Yogyakarta setelah merilis album Headless Songstrees maka konser malam itu mengutip kata teman saya “Anjing kerennya!”.
Malam itu Tika and The Dissidents tak sendirian. Tercatat ada Frau, Ugo Melbi, Wok The Rock dan Anda menemani penonton menyambut hari buruh internasional, sebuah perpaduan yang tak bisa dianggap main-main. Dari setlist yang saya dapat setelah konser terlihat bahwa ini konser yang sangat panjang dan diatur dengan sangat detail agar tempo konser tetap terjaga. Dan ya semua orang sudah tahu apa lagu pamungkas di konser ini: "Mayday!" Di penghujung konser, dikomandani Tika, ratusan orang spontan berdiri, mengepalkan tangan ke atas dan berteriak marah “Oi Oi Oi” untuk ketidakadilan yang diterima buruh di seantero negeri.

mengintip Kesibukan personel melancholic bitch

Diambil dari notes page facebook-nya melancholic bitch. 

mengintip Kesibukan personel melancholic bitch

melancholic bitch akan tertidur sepeninggal ugo? hmm gimana nih. tidak ada yang bisa menghentikan tangan tangan gatal para personel mebi untuk terus berkarya.

septian dwirima berkolaborasi dengan fitri dalam karya "selamat datang dari bawah", sempat dipentaskan di teater salihara, 1-2 Oktober2010, http://salihara.org/community/2010/10/02/fitri-menggali-kosagerak-tari. musik yang diciptakan oleh septian dwirima untuk pertunjukan ini lebih banyak didominasi oleh soundscape yang kaya; bebunyian synth pad yang halus dan terdengar dari kejauhan, beragam beat yang acak, dan effect sound yang dalam seakan hendak menerjemahkan imaginasi dunia bawah tanah. saat ini septian sedang tour bali dan surabaya. proyek yang akan datang dari septian dwirima adalah jogja brodway, yang mengangkat pertunjukan pangeran bintang dan putri embun.

walaupun ugoran prasad berada di new york, ia tidak lantas berhenti dari proyek tubuh ketiga. ia tetap bekerja dalam proyek ini. saat ini ugo sedang bekerja di new york untuk mengembangkan ide "european famine" yang kemungkinan besar akan jadi ide dasar album ketiga melbi

yennu ariendra memulai proyek tubuh ketiga setelah kembali dari youth fest festival (singapore). di proyek tubuh ketiga yennu ariendra berkolaborasi dengan gitaris asli pantura, rasmadi dan penyanyi tarling traditional, wangi indria. lanscape musik dalam broyek tersebut meliputi irama organ tunggal, tarling dangdut pantura, tarling traditional, ketoprak, musik traditional sesingaan sampai musik elektronik yang epik. karya musik tubuh ketiga juga didedikasian untuk para musisi pantura sehingga dalam karya musik tersebut ada penggarapan ulang karya karya tarling dangdut; seperti paduan suara yang berangkat dari lagu kucing garong. banyak kejutan musik yang cukup signifikan seperti pengarapan lagu diobok obok karya papa t. bob dan remix fur elise karya beethoven. yoseph herman susilo juga terlibat dalam proyek ini sebagai sound engineer dan sound designer. tubuh ketiga dipentaskan di teater salihara 12-13 october 2010. http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/teater-garasi-embracing-inbetween.html. ahkir oktober, yennu ariendra bersama band duo electronicnya, belkastrelka, merelease single pertama mereka, glitch of dream. http://soundcloud.com/belkastrelka/glitch-of-dream-belkastrelka. karya mendatang dari yennu ariendra adalah sari jelly almond dramatic reading (3-5 november, LIP) dan papermoon's mwarantika (1-3 december, LIP)

awal tahun depan personil melbi akan mempersiapkan materi album ketiga mereka
mari kita doakan mereka, he he...terus berkarya bung