Senin, 20 Desember 2010

Lima Konser Istimewa Di Daerah Istimewa Tahun 2010

Dari jakartabeat.net.
Lima Konser Istimewa Di Daerah Istimewa Tahun 2010




Oleh Ardi Wilda, mahasiswa jurusan Komunikasi UGM Yogyakarta |

Jakartabeat.net meminta saya untuk ikut menulis edisi akhir tahun ini. Saya diminta menulis lima konser terbaik di Yogyakarta sepanjang tahun 2010. Alasannya mudah saja katanya: tak mungkin ada orang yang berkeliling Indonesia sekedar untuk menonton konser. Karena itu, membuat catatan lima konser terbaik di sebuah daerah bisa menjadi alternatif untuk melihat perkembangan scene musik dalam sebuah kota (dan tentu tak perlu berkeliling Indonesia). Coba bayangkan saat sebuah kota setiap tahunnya mencatat lima konser penting dalam setahun ke belakang, boleh jadi akan menjadi media tukar informasi dan masukan bagi pementasan yang diadakan di setiap kota ke depannya.
Kebetulan setahun belakangan ini saya bisa menyambangi berbagai pementasan musik di Yogyakarta. Merangkumnya menjadi lima pementasan terbaik tentu lumayan membuat kepala pusing. Namun, bukan itu pertanyaan utamanya buat saya. Pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa pementasan kota Yogyakarta di tahun ini dirasa penting untuk diangkat oleh Jakartabeat.net. Pertanyaan itu tentu tak semudah menonton pidato SBY tentang keistimewaan Jogja lewat iPad barunya.
Mencoba menjawab pertanyaan itu, saya mengutip apa yang dikatakan oleh Wok The Rock (pemilik netlabel Yes No Wave dan salah seorang kurator dalam album kompilasi  Jogja Istimewa). Ia menuturkan kalau orang-orang di dalam scene musik Jogja kini semakin dewasa dan matang. Pendapat Wok bisa jadi benar. Album Jogja Istimewa misalnya bisa jadi semacam indikator magnum opus terhadap geliat scene musik di kota ini. Jakarta telah lebih dulu menetaskan beragam band luar biasa lewat kompilasi JKT:SKRG, kota Bandung dengan masaindahbangetsekalipisan. Lewat Jogja Istimewa giliran Yogyakarta yang mengeluarkan tajinya tahun ini. Tentu hal itu jadi penanda penting dalam perkembangan musik kota ini satu tahun ke belakang.
Alasan lainnya, meski tidak berhubungan dengan musik secara langsung, juga mempengaruhi pementasan di Jogja sekitar tiga bulan ke belakang. Erupsi merapi tak bisa dipungkuri mempengaruhi frekuensi konser musik yang ada di Yogyakarta. Mengutip filosofi orang Jawa yang melihat sesuatu dari sisi positif, bencana ini membuat musisi Jogja bergandengan tangan untuk mengadakan konser amal. Artinya, ketika bencana pun kota ini mampu menampilkan pementasan musik hebat dengan tujuan amal yang patut diapresiasi. Dari alasan-alasan itu, rasanya pantas kalau konser-konser di Jogjakarta tahun ini dianggap penting oleh Jakartabet.net untuk diulas. Oke tak perlu berlama-lama seperti pidato SBY, inilah kelima list pementasan musik terbaik di Yogyakarta:

5. Gugur Gunung
(Bosche VVIP Club, 31 Oktober 2010)
Konser ini pada dasarnya adalah sebuah rangkaian konser amal selama tiga hari berturut-turut (29-31 Oktober) untuk bencana Merapi. Saya begitu kaget ketika mewawancarai Erix (vokal/bass Endank Soekamti),salah satu inisiator Gugur Gunung. Ia mengatakan hanya berawal dari kicauan dia di twitter untuk mengajak musisi Jogja merespon bencana merapi. Kekuatan 140 karakter kemudian berubah menjadi sebuah konser yang begitu menarik bagi saya. Lupakan soal perbedaan genre musik, juga tak ada masalah siapa dibayar berapa, semua bersatu padu demi korban Merapi.
Tercatat Eross dan Duta SO7, Letto, Jogja Hip Hop Foundation, Endank Soekamti, Shaggydog dan puluhan band lainnya tampil di konser ini. Tak hanya musisi lokal, solidaritas juga hadir dari musisi ibukota dengan mendonasikan barang-barang untuk dilelang demi kepentingan amal. Mungkin Erix Soekamti sendiri tak pernah mengira kicauannya di twitter menghasilkan sebuah konser amal yang tertata secara apik. Konser ini berhasil mengimplementasikan idiom Gugur Gunung dalam bahasa Jawa dengan sangat baik, semua saling gotong royong dan bahu membahu atas nama kemanusiaan.

4. Launching Album Starlit Carousel Frau
(Kedai Kebun Forum, 12 April 2010)
Ketika mendengar kata launching album yang terlintas dalam pikiran saya adalah sebuah acara yang begitu meriah nan glamor. Lewat peluncuran album Starlit Carousel, Frau membalikkan pemikiran saya 180 derajat. Tak ada sebuah pesta atau seremoni spesial di konser ini.  Hanya ada si Oskar (nama piano Frau), segelas teh hangat dan sebuah lampu berwarna temaram. Pianis yang piawai menekan tuts piano namun sama sekali tak piawai berbicara pada penonton sebelum pentas ini membuat saya percaya pada idiom, “sederhana itu mewah”.
Dibuka oleh penampilan band indiepop bernama Brilliant at Breakfast konser ini sejak awal sudah menawarkan suasana yang begitu hangat. Frau tanpa banyak bicara menghadirkan nomor-nomor andalannya dari album yang baru ia rilis. Di jeda lagu ia menyempatkan diri meneguk segelas teh hangat dibawah temaram lampu. Saat saya wawancara beberapa hari sebelum konser, Frau pernah mengakui ia senang dengan dirilisnya album ini. Ia mengistilahkan dengan memberi sebuah tempat tinggal bagi lagu-lagunya. Di launching ini saya, dan ratusan orang yang dating, seperti diajak masuk ke rumah Frau dan dijamu dengan begitu hangat oleh si tuan rumah. Lewat konser ini pula Frau mengingatkan bahwa yang terpenting dalam sebuah konser adalah esensi musik yang ditawarkan dan momen berbagi antara musisi dan penonton di dalamnya. Dan Frau memberikan keduanya secara sederhana sekaligus ramah.

3. Konser Perpisahan Sementara Ugoran Prasad Melancholic Bitch
(Rumah Budaya Tembi, 9 Agustus 2010)
“Nek ora kebagian tempat lungguh nang sawah wae kono (kalau tidak kebagian tempat duduk di sawah aja sana),” tutur Gufi dari Kongsi Jahat Syndicate, promoter konser itu, saat mengetahui penonton konser yang membludak. Ya malam itu Rumah Budaya Tembi sudah terlalu banyak dipadati oleh penonton yang punya satu tujuan:  melihat terakhir kalinya Ugoran Prasad tampil bersama Melancholic Bitch (Melbi) sebelum kembali lagi di Bulan Juli 2011. Ugo begitu sapaan akrabnya terpaksa harus meninggalkan Melbi selama setahun karena akan menjalani program kebudayaan dari Asian Cultural Council di New York selama setahun.
Ratusan orang malam itu larut dalam suasana perpisahan yang dihadirkan oleh Ugo. Kartika Jahja (Tika) yang malam itu juga berduet dengan Melbi berpesan singkat di tengah lagu, “Jangan sampai Ugo ditelan Kota New York”. Ucapan Tika boleh jadi adalah kegelisahan ratusan orang yang menonton malam itu. Hal itu jelas bisa dipahami, setelah muncul dari tidur lelapnya lewat “Balada Joni dan Susi” tahun lalu tiba-tiba band cult asal Jogja ini harus kehilangan vokalis sekaligus motornya selama setahun. Ratusan orang malam itu seperti Susi yang tak mau ditinggal Joni begitu saja karena tertangkap mencuri.
Seingat saya Melbi mengeluarkan semua lagu di album Balada Joni dan Susi malam itu. Meski telah memberikan semua lagunya, penonton seperti tak rela melepas Ugo sehingga tak mau beranjak dari venue meski konser telah dinyatakan selesai. Ugo bahkan kebingungan dan hanya mengatakan, “Nyanyi opo meneh iki (nyanyi apalagi ini)?”. Saat saat saya temui seusai konser tak ada raut muka sedih karena harus meninggalkan Melbi selama setahun. Ugo hanya menyatakan inilah fase baru bagi Melbi. Ia menambahkan sebisa mungkin Melbi bisa berkolaborasi dengan musisi atau vokalis lain saat ia berada di New York. Sayangnya sudah tiga bulan semenjak konser ini berlalu saya belum mendengar kabar Melbi akan tampil bersama musisi atau vokalis lain seperti yang dijanjikan Ugo.

2. Konser Nusa Swara Kua Etnika
(Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, 31 Agustus 2010)
Awalnya saya sama sekali tak berniat menonton konser ini. Saya memang tak begitu paham musik etnik yang dibawakan Kua Etnika, jadi wajar jika saya tak menggubris konser ini. Tiba-tiba seorang kawan melimpahkan tiketnya ke saya karena ia berhalangan hadir. Dengan ekspektasi nol saya datang ke konser tersebut. Yang terjadi kemudian adalah saya begitu takjub pada musik dan penampilan Kua Etnika.
Konser ini sendiri menandai peluncuran Nusa Swara, album ketujuh Kua Etnika. Dalam liner notes album yang ditulis oleh Agus Noor, Nusa Swara diartikan sebagai pemaknaan Nusantara melalui bunyi dan suara. Secara klise tentu saja Nusantara begitu kaya dan beragam. Album dan konser Nusa Swara kemudian mengekplorasi bunyi-bunyian yang berasal dari penjuru Nusantara dengan sangat detail dan beragam.
Meski terkesan membawa sebuah misi yang besar, bukan berarti konser ini kemudian diisi oleh ratusan kening penonton yang berkerut. Saya yakin ratusan orang yang datang menikmati konser ini sambil tersenyum senang. Hal itu karena Djaduk Ferianto dan pasukannya di Kua Etnika tahu betul bagaimana menghibur penonton. Selain menghadirkan musik etnik yang membuat hampir semua penonton menganggukkan kepala ia juga melontarkan lelucon khas Jawa yang menghibur. Agaknya keberhasilan konser ini karena Kua Etnika sadar betul komunikasi dan pemahaman karakter penonton dalam sebuah konser adalah kunci penting terciptanya hubungan dua arah dalam sebuah pementasan.

1. Tika and The Dissidents
(Konser In Search of Her Head, Jogja National Museum, 30 April 2010)
Entah kenapa saat selesai menonton konser Tika and The Dissidents ini saya ingat sepenggal lirik lagu Sound of Silence dari Simon and Garfunkel, “People talking without speaking, people hearing without listening”. Sepenggal lirik itu mungkin muncul karena malam itu Tika dan kompatriotnya seperti mengajari apa arti komunikasi dalam arti yang paling dalam. Di konser itu, pengagum Vina Panduwinata ini tak hanya sedang bernyanyi dan memainkan musik semata, ia sedang menyapa penonton dalam intensitas komunikasi yang cukup tinggi. Penonton pun seperti disuguhi seorang pencerita ulung yang berbicara dari hati ke hati.
Saya ingat Tika dalam sebuah konser di Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta sekitar setahun sebelum konser ini pernah berkata kalau Jogja adalah kota favoritnya melaksanakan konser. Saya yakin ia tak sedang membual ala musisi pagi hari berbual pada para penonton bayaran. Buktinya setiap penampilannya di Yogyakarta Tika selalu menampilkan sesuatu yang istimewa, sebuah wujud respect dia terhadap kota Jogja. Dengan latar belakang itu ditambah kenyataan bahwa ini adalah penampilan perdana Tika dan The Dissidents di Yogyakarta setelah merilis album Headless Songstrees maka konser malam itu mengutip kata teman saya “Anjing kerennya!”.
Malam itu Tika and The Dissidents tak sendirian. Tercatat ada Frau, Ugo Melbi, Wok The Rock dan Anda menemani penonton menyambut hari buruh internasional, sebuah perpaduan yang tak bisa dianggap main-main. Dari setlist yang saya dapat setelah konser terlihat bahwa ini konser yang sangat panjang dan diatur dengan sangat detail agar tempo konser tetap terjaga. Dan ya semua orang sudah tahu apa lagu pamungkas di konser ini: "Mayday!" Di penghujung konser, dikomandani Tika, ratusan orang spontan berdiri, mengepalkan tangan ke atas dan berteriak marah “Oi Oi Oi” untuk ketidakadilan yang diterima buruh di seantero negeri.

mengintip Kesibukan personel melancholic bitch

Diambil dari notes page facebook-nya melancholic bitch. 

mengintip Kesibukan personel melancholic bitch

melancholic bitch akan tertidur sepeninggal ugo? hmm gimana nih. tidak ada yang bisa menghentikan tangan tangan gatal para personel mebi untuk terus berkarya.

septian dwirima berkolaborasi dengan fitri dalam karya "selamat datang dari bawah", sempat dipentaskan di teater salihara, 1-2 Oktober2010, http://salihara.org/community/2010/10/02/fitri-menggali-kosagerak-tari. musik yang diciptakan oleh septian dwirima untuk pertunjukan ini lebih banyak didominasi oleh soundscape yang kaya; bebunyian synth pad yang halus dan terdengar dari kejauhan, beragam beat yang acak, dan effect sound yang dalam seakan hendak menerjemahkan imaginasi dunia bawah tanah. saat ini septian sedang tour bali dan surabaya. proyek yang akan datang dari septian dwirima adalah jogja brodway, yang mengangkat pertunjukan pangeran bintang dan putri embun.

walaupun ugoran prasad berada di new york, ia tidak lantas berhenti dari proyek tubuh ketiga. ia tetap bekerja dalam proyek ini. saat ini ugo sedang bekerja di new york untuk mengembangkan ide "european famine" yang kemungkinan besar akan jadi ide dasar album ketiga melbi

yennu ariendra memulai proyek tubuh ketiga setelah kembali dari youth fest festival (singapore). di proyek tubuh ketiga yennu ariendra berkolaborasi dengan gitaris asli pantura, rasmadi dan penyanyi tarling traditional, wangi indria. lanscape musik dalam broyek tersebut meliputi irama organ tunggal, tarling dangdut pantura, tarling traditional, ketoprak, musik traditional sesingaan sampai musik elektronik yang epik. karya musik tubuh ketiga juga didedikasian untuk para musisi pantura sehingga dalam karya musik tersebut ada penggarapan ulang karya karya tarling dangdut; seperti paduan suara yang berangkat dari lagu kucing garong. banyak kejutan musik yang cukup signifikan seperti pengarapan lagu diobok obok karya papa t. bob dan remix fur elise karya beethoven. yoseph herman susilo juga terlibat dalam proyek ini sebagai sound engineer dan sound designer. tubuh ketiga dipentaskan di teater salihara 12-13 october 2010. http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/teater-garasi-embracing-inbetween.html. ahkir oktober, yennu ariendra bersama band duo electronicnya, belkastrelka, merelease single pertama mereka, glitch of dream. http://soundcloud.com/belkastrelka/glitch-of-dream-belkastrelka. karya mendatang dari yennu ariendra adalah sari jelly almond dramatic reading (3-5 november, LIP) dan papermoon's mwarantika (1-3 december, LIP)

awal tahun depan personil melbi akan mempersiapkan materi album ketiga mereka
mari kita doakan mereka, he he...terus berkarya bung

Selasa, 10 Agustus 2010

Dari Rolling Stone

Band cult asal Yogyakarta akan berpisah dengan vokalis Ugoran Prasad selama setahun.
Oleh : Ardi Wilda

Foto : Tsani
Sambil mengepulkan asap rokoknya Ugoran Prasad sang vokalis Melancholic Bitch (Melbi) malam itu berucap singkat, “Kok jadi tegang beneran ya.” Wajar rasanya jika vokalis yang kerap disapa dengan Ugo tesebut berkata demikian, sebab malam itu adalah konser terakhirnya bersama Melancholic Bitch untuk satu tahun ke depan

Senin malam (9/8) lalu bertempat di Rumah Budaya Tembi Yogyakarta, Melancholic Bitch melepas vokalisnya tersebut dengan sebuah konser yang hangat nan berkelas. Pertunjukan yang diberi tajuk Joni dan Susi: The End Of Chapter I (The New Beginning of chapter II) ini memang diperuntukkan khusus untuk melepas kepergian Ugo yang akan melakukan studi selama satu tahun di New York, Amerika Serikat. Ugo mendapat bea siswa dari Asian Cultural Council sebagai seniman yang akan menjalankan program kebudayaan selama dua semester di New York.

“Mas Putu Wijaya salah satu orang yang juga pernah mendapat kesempatan ini, Juni atau Juli 2011 saya baru akan kembali lagi bersama Melbi di tanah air” jelas Ugo saat ditemui Rolling Stone.
Ratusan orang seperti tak mau ketinggalan melihat aksi terakhir Ugo bersama Melbi malam itu. Puluhan orang bahkan harus duduk lesehan di samping sound system panggung karena kapasitas venue yang tak muat menampung orang lagi. Frau membuka malam itu sebelum Melbi naik ke atas panggung. Dengan membawakan beberapa lagu yang ada di album Starlite Carousel Frau berhasil membuat penonton melupakan tak nyamannya venue yang telah kelebihan kapasitas.
Frau menutup penampilannya dengan berduet bersama Ugo menyanyikan lagu milik Melbi bertitel “Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa”. “Akan sangat menyedihkan rasanya menyanyikan lagu 'Sepasang Kekasih' tanpa Mas Ugo selama setahun,” tutur Frau sedikit berat melepas kepergian vokalis Melbi tersebut.

Dengan kemeja putih, kacamata hitam dan peci hitam Melbi hadir ke panggung ditemani suara riuh penonton. Mereka mengemas pertunjukkan malam itu dengan konsep yang sangat apik. Layaknya seorang pendongeng Ugo membagi pertunjukkan itu menjadi beberapa babak cerita yang dibagi berdasarkan lagu yang dibawakan. Hampir semua lagu di album Balada Joni dan Susi dibawakan Ugo untuk “mendongengi” penonton malam itu.

Lagu macam “Bulan Madu”, “Tujuh Hari Menuju Semesta”, “Mars Penyembah Berhala” mengawali pertunjukan malam itu.. Seperti biasa malam itu Melbi juga ditemani oleh Silir Pujiwati seorang pesinden yang memiliki suara khas saat menyanyikan “Distopia”. Tamu spesial lain malam itu adalah Kartika Jahja atau lebih dikenal dengan Tika. Bersama Ugo, Tika benar-benar membawa suasana berbeda di malam itu.
Di tembang “Apel Adam” Tika dan Ugo tak sekedar bernyanyi bersama, dengan bergaya teatrikal mereka seperti menciptakan dialog magis dalam lagu yang berhasil menyihir penonton malam itu. “Akhirnya Masup Tipi” adalah lagu kedua yang mereka bawakan berdua dengan sangat mengesankan. Mungkin Ugo dan Tika sedang dimasuki ruh Joni dan Susi malam itu sehingga mampu tampil dengan sangat mengagumkan. Perpisahan Ugo selama setahun ke depan bersama Melbi ditutup dengan nomor “Noktah Pada Kerumunan”. Ratusan penonton sontak berdiri untuk mengiringi kepergian Ugo ke kota Big Apple.

Ditemui setelah pertunjukan Ugo mengatakan bahwa pertunjukan ini adalah akhir dari bagian pertama Balada Joni dan Susi. “Tanpa adanya aku selama setahun diharapkan Melbi justru bisa banyak kolaborasi dengan beberapa vokalis, Tika misalnya menyatakan kesediaannya untuk membantu Melbi, dan banyaklah beberapa vokalis yang bisa diajak kerjasama” ungkap vokalis yang juga berprofesi sebagai penulis ini.
“Konser ini juga awal dari fase kedua Balada Joni dan Susi, di fase ini kami berharap lebih banyak kolaborasi dan respon balik dari audience mengenai lagu dan konteks-konteks yang kita tawarkan dalam Balada Joni dan Susi,” tutup Ugo.

Rabu, 30 Juni 2010

Dari Fikri

Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi

 

Band pinggiran yang dibentuk akhir 90an di Yogya ini seperti sedang menulis ulang pengertian dari idiom lama “hidup segan mati tak mau”. Cerita mereka cukup panjang, terlalu panjang untuk diceritakan ulang; juga tak terlalu penting. Pendeknya; mereka sudah muncul sejak jaman Parkinsound masih rutin diadakan tahunan; sesekali main band di panggung lokal, sesekali main di luar kota, sesekali main musik untuk performance dan teater, sesekali main musik untuk film, tapi lebih sering duduk-duduk, bercanda, saling memusuhi lalu berdamai sebelum permusuhan berikutnya. Sebuah band, bagaimanapun, cenderung meniru sebuah keluarga. Mengutip Anna Karenina: Seluruh keluarga bahagia selalu sama; keluarga tidak-bahagia, selalu tidak berbahagia dengan caranya masing-masing. Keluarga tidak berbahagia yang sering disingkat namanya menjadi Melbi ini disfungsional, retak, tapi selalu punya alasan untuk berkumpul di hari raya. Hari raya yang sibuk mereka ciptakan sendiri.
http://www.last.fm/music/melancholic+bitch/+wiki

Tulisan ini adalah untuk melunaskan janji untuk menulis tentang Melancholic Bitch. Review ini memang tak sebagus penulis lain. Begitu banyak ulasan yang menunjukkan kualitas album ini. Tulisan ini tak ada apa - apanya jika dikomparasikan dengan yang lain. Coba saja ketik Melancholic Bitch Balada Joni dan Susi pada mesin pencari, maka akan disuguhkan banyak. Tulisan ini hanya untuk menunjukkan betapa cintanya saya dengan Melancholic Bitch seperti halnya betapa cintanya Joni dan Susi.
Saya pertama kali melihat band ini secara langsung di Taman Budaya Yogyakarta. Saat itu saya menunggu Efek Rumah Kaca yang menjadi penutup di sebuah gigs. Efek Rumah Kaca masih lama. Sekitar empat band lagi. Sambil menunggu, saya dan teman saya mencari tukang minuman untuk membeli air mineral dalam kemasan gelas kecil. Ya! Sudah tertebak, airnya dibuang untuk disubstitusi oleh anggur merah.
Saya dan teman saya menenggak anggur merah yang saat itu masih delapan belas ribu di teras di Taman Budaya Yogyakarta. Saat sedang melakukan ritual sebelum menonton music itulah, datang seorang perempuan berparas manis. Manis sekali. Herannya, lawan jenis di sebelahnya tak sebanding. Saya dan teman saya bergunjing. Hahaha. Lawan jenisnya memakai kacamata dengan lensa hampir menutupi muka dengan pinggiran hitam tebal.
“kok mau ya cewenya? Cowonya aneh begitu”, teman saya bertanya.
“pasti cowonya punya sesuatu, nyo”, apologi saya. Karena saya merasa dia jauh lebih keren dibanding saya. Hahaha.
Dan benar. Ketika Efek Rumah Kaca tinggal menunggu satu band lagi, saya dan teman saya menyudahi menganggur. Masuk ke dalam venue. Si lawan jenis yang aneh itu sedang berada di tengah panggung. Merokok dan memegang mikrofon. Dan dia sangat keren! Dia Ugoran Prasad, vokalis yang juga penulis lirik Melancholic Bitch yang juga penulis cerita pendek untuk Kompas. Saat itulah saya merasa saya harus jatuh cinta dengan band ini. Padahal album Anamnesis, sudah mengerak di memori computer.
“tuh kan bener, dia vokalis keren begitu”, teman saya tertawa setelah saya ucapkan kalimat itu.
Album Balada Joni dan Susi memang mantap. Tidak banyak band di Indonesia yang berkonsep seperti ini. Konser promo albumnya di Salihara, Jakarta Selatan, menuai banyak pujian. Sempurna kata teman saya, Priambodo Adi Nugroho. Album ini berisi tentang perjalanan Joni dan Susi. Tokoh yang menurut saya mencerminkan banyak pasangan di Indonesia. Album ini juga membuat saya harus menambah nama Ugoran Prasad ke dalam pelirik kegemaran saya. Setelah Jimmy Multhazam dari The Upstairs dan Cholil dari Efek Rumah Kaca.
•1. Prolog
Lagu ini berdurasi hanya satu menit lebih setengah kurang. Sesuai dengan judulnya, lagu ini hanya prolog. Prolog dari Ugoran Prasad, vokalis, untuk mengintrodusikan siapa Joni dan siapa Susi.
Ketika Joni dua satu dan Susi sembilan belas
Hidup sedang bergegas di ruang kelas
Kota - kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas
Dingin dan cemas
Namaku Joni
Namamu Susi
Namamu Joni
Namaku Susi
  • 2. Bulan Madu
Bercerita tentang Joni dan Susi yang berbulan madu dalam imajinasi. Venezia, melalui Nepal, Oslo dan Budapest tidak terlewati, Nanking, Rio, dan Lima juga tak terlalui. Mereka berdua terlalu kencang meninggalkan Cape Town. Intro piano yang lambat diakhiri dengan teriakan “tinggalkan Cape Town” cukup melekat di telinga.
  • 3. 7 Hari Menuju Semesta
Lagu ini lagu favorit saya di album ini. Subjektifitas saya, lagu ini merupakan lagu gombal yang sangat amat keren sekali. Hahaha. Drum dan gitar yang enerjik. Intronya bisa menganestesi kepala untuk digoyangkan ke kiri ke kanan sesuai irama. Liriknya jawara. Berisi tentang agenda Joni kepada Susi selama seminggu tujuh hari. Bagian terkeren dari liriknya adalah,
jika aku miskin kau negara
jika aku mati kau kematian lainnya
  • 4. Distopia
Intro keyboard diiringi dengan bass yang mengalir. Lagu ini dinyanyikan berdua oleh Ugoran dan Silir. Liriknya hanya sedikit. Bercerita bagaimana kereta bisa menghantar Joni dan Susi menuju semesta dan Janji Joni dan Susi untuk bersama. Bagian favorit dalam lagu ini adalah tentu saja ketika suara synth bercampur dengan melodi bass yang nakal. Memaksa badan untuk bergerak. Lagu ini lagu mudah dihapal dan satu - satunya lagu yang bisa dinyanyikan bareng.
Bersama - sama kita, bersama - sama selamanya
Bersama - sama kita, bersama, bersama.
  • 5. Mars Penyembah Berhala
Lagu ini merupakan lagu yang paling ditunggu ketika Melancholic Bitch di atas pentas. Lagu ini lagu yang paling anthemik dalam album ini. Menurut saya, lagu ini bercerita tentang bagaimana televisi membunuh imajinasi. Bagaimana televisi menutupi realita. Bagaimana sinema elektronik menipu. Lagu yang sangat bertenaga. Dentuman drum. Cocok didengarkan jika alcohol sudah bereaksi di dalam kepala. Hahaha. Bagian refrain yang enak untuk diteriakkan secara repetisi.
Siapa yang butuhkan imajinasi, jika kita sudah punya televise
Pada bagian akhirnya, refrain diulang berkali - kali diiringi oleh semacam dakwah yang pepat dalam empat belas inchi.

  • 6. Nasihat yang Baik

Lagu pelan. Petikan gitar dan keyboard yang mengalun lambat. Lagu ini semacam lullaby Joni kepada Susi. Susi terlalu lelah berkontemplasi, maka tidurlah.
  • 7. Propaganda Dinding
Lagu yang didominasi suara keyboard. Drum dan keyboard yang konsisten. Lirik yang ironis dan miris. Susi lapar. Joni mencuri roti untuk Susi. Sementara di luar sana, supermarket tak pernah sepi. Wow! Lirik yang jenius. Semoga engkau masuk surga Ugoran!
Supermarket dan busung lapar adu lari
Aku tak gila ketika didengarnya dinding berbisik
pelan berbisik: curilah roti.
Takkan kubiarkan kau mati.
  • 8. Apel Adam
Minimalis. Mirip narasi kepada Joni yang tak bisa mencuri apel dan roti untuk Susi yang lapar. Joni ditangkap. Joni dikurung.
Jangan libatkan polisi di lagu ini
Jangan libatkan polisi di cinta ini

Masih ada empat lagu lagi, jadi silahkan cari tahu sendiri. Dan jangan salahkan saya, jika setiap bangun tidur harus menyetel lagu mars penyembah berhala atau 7 hari menuju semesta. Album ini sangat adiktif. Sangat. Berhati - hatilah. Sudah beberapa bulan menjadi penghuni tetap daftar main aplikasi pemutar mp3 saya. Berhati - hatilah sungguh!
Jadi meminjam istilah majalah Trax, mendengarkan album ini sekilas seperti membaca realita Indonesia lewat lagu.

Selasa, 18 Mei 2010

Mari Kita Ucapkan Selamat

untuk entah keberapa kalinya, melancholic bitch bikin situs resmi.
mari kita lihat tahan berapa lama. :)
silakan klik linknya berikut ini ya.

http://melancholicbitch.co.cc/

Dari Rolling Stone

Merayakan Fallentine Bulan April di Yogyakarta
Penampilan menarik dari The Trees and The Wild, Melancholic Bitch, Armada Racun dan sebagainya.
Oleh : Ardi Wilda

Adalah Forum Musik Fisipol (FMF) UGM yang menggagas acara tahunan bertitel Fallentine#3 pada Jumat malam (2/4) lalu sebagai antitesis dari perayaan Valentine atau hari kasih sayang. Fallentine sendiri merupakan sebuah konsep pertunjukkan yang memadukan sebuah band dari luar Jogja untuk bermain bersama dengan beberapa band dari Jogja sebagai sarana untuk bertukar spirit musikalitas. Tahun ini The Trees and The Wild dipilih sebagai band tamu sekaligus untuk bermain bersama empat band lokal Jogja.

Fallentine kali ini menamakan pertunjukkannya dengan “Hasta Manana” sebuah istilah bahasa latin yang berarti sampai berjumpa kembali besok. Hasta Manana sendiri merupakan nama yang kerap digunakan oleh The Trees and The Wild dalam setiap showcase mereka sebagai sebuah ungkapan dan harapan agar bisa bertemu kembali dalam pementasan selanjutnya.

Fallentine#3 Hasta Manana dibuka oleh penampilan dari Individual Life, band instrumental asal Jogja yang berdiri pada 2007 lalu. Beranggotakan sembilan orang termasuk di dalamnya Quartet String, Individual Life berhasil membawa penonton untuk mulai larut dengan pertunjukkan di Jumat malam lalu. Selesai larut dengan instrumentasi dari Individual Life penonton dimanja oleh penampilan dari Black Stocking. Meski tak bermain bersama pemain bas dan piano aslinya namun Black Stocking mampu menyedot perhatian dengan paduan sound rock, jazz dan sedikit funk di pertunjukkan ini. Band jebolan Indiefest ini berhasil untuk memanaskan penonton sebelum penampilan dari band rock and roll asal Jogja, Armada Racun.

Dengan duo bass yang memainkan musik rock sangat kotor dan seorang pianis dengan sound menyayat-nyayat Armada Racun membawa penonton untuk mulai meninggi sebelum diteduhkan oleh The Trees and The Wild. Armada Racun di pertunjukkan ini juga memainkan lagu baru mereka yang dibuat dua hari lalu, selain tentunya memainkan nomor lama mereka macam "Train Song". Dan Armada Racun menyebarkan racun rock kasar mereka dengan sangat gemilang melalui nomor penutup yang sangat anthemic, apalagi kalau bukan lagu mereka yang berjudul "Amerika".

Setelah puas dengan sound rock kotor ala Armada Racun giliran tembang-tembang folk yang meneduhkan dari The Trees and The Wild hadir di tengah penonton. Bagi band yang meneguk sukses lewat album Rasuk ini, pertunjukkan kali ini merupakan showcase pertama mereka di Jogja.

Mereka membuka penampilan dengan lagu "Berlin" yang disambut sangat meriah oleh sebagian besar penonton. Band dari Jakarta ini kemudian menyajikan beberapa lagu andalan mereka mulai dari "Malino", "Kata", "Honeymoon on Ice" sampai "Irish Girl". Meski banyak mengalami masalah teknis namun pertunjukkan pertama mereka di Jogja ini terbilang sukses. Trio akustik ini kemudian menutup showcase mereka dengan tembang "Derau dan Kesalahan" yang disambut dengan sing along oleh mayoritas penonton perempuan malam itu.

Fallentine #3 ditutup oleh penampilan dari Melancholic Bitch, band yang baru saja sukses mengangkat nama Jogja bersama Risky Summerbee and The Honeythief dengan penampilan mereka di Teater Salihara Jakarta yang banyak mengundang respon positif dari scene musik ibukota. Melancholic Bitch atau Melbi lebih banyak menyajikan lagu lawas mereka dari album Anamnesis dan beberapa lagu dari album Balada Joni dan Susi.

Di pertunjukkan ini Ugo sang vokalis juga mengajak Andrea, seorang pianis Jogja yang belum lama ini bermain bersama Risky Summerbee and The Honeythief dan Tika saat mengadakan konser di Jogja, untuk menyanyikan "Distopia". Sekitar tengah malam Fallentine#3 Hasta Manana merampungkan keseluruhan pertunjukkan, sebuah konser apik dari empat band dari scene lokal Jogja dan sebuah band dari ibukota.

Dari Rolling Stone

Pertunjukan menghentak dari band cerdas Yogyakarta
Oleh : Wening Gitomartoyo

Di dalam gedung pertunjukan, panggung dihias dengan empat payung terbuka yang mengambang beberapa meter dari permukaan tanah. Melbi (panggilan akrab Melancholic Bitch) memulai dengan “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco”, yang diambil dari album pertama me-reka, Anamnesis (2005), sebuah cover version dari musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono berjudul sama. Mereka melanjutkan dengan album brilian Balada Joni dan Susi (2009), bercerita tentang sepasang kekasih yang dicobai oleh hidup.
Melbi adalah vokalis Ugoran Prasad yang juga aktif di dunia sastra Indonesia, gitaris Yossy Herman Susilo dan Yennu Ariendra yang juga memainkan synth, pemain bas dan keyboard Teguh Hari Prasetya, dan pemain drum Septian Dwirima. Kolektif yang dibentuk akhir ’90-an ini punya kemampuan menghasilkan atmosfer rock yang mengungkung dan mencekam, serta lirik yang menohok.
Mengikuti urutan lagu di album, Melbi mengulang kisah Joni dan Susi. Ketukan yang berpacu dari “7 Hari Menuju Semesta” mengantar pikiran masuk ke dalam hidup sepasang kekasih itu. “Distopia” membawa dunia yang meriah dan ber-tabur warna dengan hadirnya sinden Silir Pujiwati yang berduet dengan Ugoran. “Mars Penyembah Berhala” yang bertenaga menyusul, sebuah ‘lagu cinta’ pada stasiun-stasiun televisi menyuguhkan Ugoran yang merentetkan amanat: “Siapa yang membutuhkan imajinasi/Jika kita sudah punya televisi”.
Sekitar 150 penonton sibuk mengayun kepala dan bernyanyi bersama. Melbi sendiri bermain eksplosif: emosi mereka demikian nyata di album, tapi ketika di panggung, segalanya seolah beratus kali lipat. Dengan sound yang sangat baik dan permainan lampu yang atraktif, segala-galanya seperti dilambungkan. Suara Ugoran terdengar lebih berat, lebih geram, lebih muram. Sentuhan-sentuhan kecil tapi mematikan dari gitar atau keyboard terdengar lebih menggaung dan menekan. Walau di awal pertunjukan terlihat gugup, mereka tak butuh waktu lama untuk bisa bermain lepas, sambil sesekali melemparkan lelucon pada penonton.
Lagu-lagu penghujung album yang juga menjadi penutup pertunjukan adalah vonis Tuhan tentang Joni dan Susi. Kisah cinta yang terpaksa putus menjadi dinding-dinding muram yang berdiri di Salihara. “Menara” menjadi semacam misa kematian dengan gitar yang melintir dan merintih sepanjang lagu.
Encore adalah tiga lagu dari Anamnesis: “Tentang Cinta”, “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa”, dan “The Street”. Terkenal jarang manggung, Melbi di malam itu berhasil membekaskan rasa kagum yang tak kunjung selesai.

Minggu, 25 April 2010

Dari Victoraland

lagi-lagi tentang melancholic bitch

setelah menonton konser melancholic bitch di salihara sekitar tiga minggu lalu, saya seperti kena kutukan tidak bisa mendengarkan musik lain. melbi dan melbi setiap hari dan malam.

untuk beberapa saat, dulu saya tak bisa berhenti mendengarkan lagu "distopia" versi demo. setelah konser salihara, saya memutar terus "tentang cinta". beberapa minggu setelahnya, giliran "7 hari menuju semesta" alias hari-hari ini. rasanya mau gila tiap dengar bagian "kamis jumat sabtu minggu" bersama-sama dengan bunyi scratch dan gitar berkejaran dengan hujan keyboard. (kebetulan saya punya hak veto (mwahahaha) untuk menentukan lagu melbi mana yang akan dimasukkan dalam cd bonus sebuah majalah musik, dan lagu ini yang masuk. tapi sumpah nggak semena-mena hanya karena saya suka, dipikirkan betul supaya menjadi jembatan yang pas bagi orang yang belum pernah dengar melbi.)

semakin mendengar, semakin saya hanya bisa memikirkan melbi. lirik "kamis jumat sabtu minggu/pepatkan seluruh semesta" tiba-tiba saya sadari sama dengan rangkaian hari paling suci di agama katolik: kamis putih, jumat agung, sabtu suci, dan minggu paskah. ini adalah hari-hari penentuan saat yesus menjalani hari-hari terakhir hidupnya, untuk kemudian wafat di salib dan bangkit dari kematian. tentu saja selalu ada urusan kebetulan, tapi sungguh saya ingin tahu apakah analisis ngawur ini bisa disingkirkan saja, atau malah ada benarnya.

juga dengan sumpah perkawinan yang disadur dalam lagu yang sama. "dalam suka atau duka/kaya atau papa/sampai kematian memisahkan/membelah jiwa raga kita". saya memuji ugoran atas penemuannya. kata 'papa' begitu sederhana sekaligus begitu syahdu. sudah tak banyak yang menggunakan kata 'papa' dalam tulisan.

ketika pertama kali mendengar "distopia" dan "mars penyembah berhala" versi album, hal pertama yang saya tangkap adalah semangat yang agak lain dari versi demo. "distopia" jelas berbeda jauh dengan adanya vokalis tamu silir juga bagian bas yang lebih genit, membuat versi album seolah tampil berpupur kemayu. ada seruan "whoo" tepat sebelum masuk ke bait kedua. dan tentu saja, bagian disko itu. ada yang tak suka dan saya cenderung netral, memilih untuk menikmati saja permainan bas yang sigap di situ. sementara "mars penyembah berhala" berbeda dengan imbuhan "whoo-hoo" di setiap akhir baris "siapa yang membutuhkan imajinasi/jika kita sudah punya televisi", menjadikan versi demo terkesan lebih marah dan mentah. dan tentang orasi di sela-sela chorus bagian terakhir, well, walau sempat kaget akibatnya tapi bagian ini adalah salah satu titik melumpuhkan ketika kita duduk sebagai penonton konser melbi.

"nasihat yang baik" pertama kali membangunkan saya lewat earphone yang menempel di kuping saat setengah tertidur. "maka tidurlah/tidurlah susi" dengan irama pelan dan gitar yang menyayat di latar belakang. lagu ini terdengar seperti sebuah permintaan yang disampaikan dalam nada sedih dan tak berdaya. dan saya semakin sedih ketika berikutnya "dinding propaganda" muncul. joni memberanikan diri mencuri demi susi. saya selalu dibuat gila saat bait "joni tak gila/ketika didengarnya dinding berbisik" dengan nada itu dan secuil gitar itu saat "curilah roti/curilah roti".

"kamis jumat sabtu minggu/pepatkan seluruh semesta" bagi saya dinyanyikan dalam nada yang sempurna. sebenar-benarnya, malah seluruh nyanyian di album balada joni dan susi berada dalam nada yang sempurna. distopia yang penuh dengan harapan dan janji ada pada tataran yang cukup tinggi dan terdengar ria. pada bagian akhir "menara", rasanya seperti dada ditekan dengan hebat. gitar yang dipilin terus menerus sepanjang lagu merobek-robek perasaan. dan saya harus melibatkan nama tuhan di sini, karena ya tuhan betapa seksinya suara ugoran pada lirik 'berdarah, ah, luka di tanganku/berdarah, ah, luka di tanganmu".

saya tak setuju akan pendapat teman kantor yang bilang bahwa album balada joni dan susi adalah album yang penuh wacana. menurut saya, bjs adalah citra akan indonesia yang sebenarnya. bangsa yang serbakagok. ingin maju tapi canggung. ingin modern tapi tidak siap. setiap mendengar bjs, saya selalu membayangkan indonesia yang penuh dengan joni dan susi. orang-orang yang berharap tapi tidak semujur itu juga dalam hidup. orang-orang yang bertikai sepanjang umurnya dengan keadaan. bjs bercerita tentang banyak hal yang penuh makna dalam satu kali pendengaran sepanjang 45 menit. saya hanya bisa berucap satu kata setiap akhir lagu: "amin".


nb. hai koran tempo dan tempo interaktif, peniruan yang anda lakukan cepat terkubur dan tentu saja tidak akan diributkan oleh orang banyak. aguslia hidayah, kau boleh saja mengganti kata-katamu di situs tempo interaktif, tapi koran tempo sudah beredar ke mana-mana, dan di situ, kau mengakui kata-kata saya sebagai kata-katamu. bagi saya, itu adalah kejahatan. oh ya, meniru itu harus lihai. kalau ada 'distopia versi 2009', paling tidak jelaskanlah distopia versi lain yang ada menurutmu. bisa?

-----------------------

melancholic bitch di salihara 24 maret 2010

di dalam gedung teater salihara, panggung dihias dengan empat payung terbuka yang mengambang. belum-belum saya sudah jatuh cinta. melbi memulai dengan 'kartu pos bergambar jembatan golden gate san fransisco'. ini adalah salah satu lagu yang paling personal untuk saya, karena seseorang pernah memberikannya untuk saya. jadi mungkin kamu bisa membayangkan, sebuah band yang sangat kamu sukai, dalam sebuah acara yang sangat kamu tunggu-tunggu, memainkan lagu dari seseorang yang sangat kamu sukai. emosi saya dilambung dan dihempaskan secara bersamaan. kemudian mereka mulai memainkan album balada joni dan susi, sesuai urutan lagu di album.

balada joni dan susi adalah cerita tentang sepasang kekasih yang dicobai oleh hidup. dua orang yang tidak penting dalam garis besar negara, dua orang yang juga tak terlalu beruntung. tapi mereka cinta satu sama lain. "berdua semesta kita, bersama kereta kita/
kereta mengantar kita menuju semesta berdua/bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama sama selamanya", dari 'distopia'. ketika susi sakit, joni tak mau tahu apapun selain susi sembuh. "miskin takkan membuatnya putus asa/lapar memaksanya merasa berdaya", menurut 'dinding propaganda'. maka joni mencuri apel dari supermarket. tapi ia tertangkap basah mencuri. dan nasibnya kembali buruk. itu kurang lebih kisahnya secara singkat.

album brilian yang dirilis tahun 2009 ini entah kenapa banyak luput dari pendengar musik. musik melbi tak membutuhkan waktu lama untuk menggores hatimu. (pinjam kata-katamu ya, b, walau mungkin tak penting karena kamu sudah tak pernah baca blog ini lagi.) beberapa bilang musik melbi seperti musik radiohead. saya tak mengiyakan juga tak menolak. yang pasti, mereka punya melodi yang sangat kuat dan lirik yang membuat saya jungkir balik. lalu kayang. sampai besok. musik mereka atmosferik. setiap lagu terdengar utuh dan penuh.

balada joni dan susi versi demo punya 'mars penyembah berhala' yang terdengar lebih pemarah dibanding versi rilisan resmi. juga 'distopia' yang tidak segenit versi 2009. 'distopia' versi 2009 adalah duet ugo dan silir pujiwati, seorang sinden dengan vokal yang tak main-main. dan ia hadir pada malam itu di salihara. gayanya bukan main, apalagi suaranya. plus, kapan lagi lihat sinden dengan gaun merah menyala dan sepatu hak tinggi. (fakta tidak penting: saya pernah pakai 'distopia' untuk nada dering ponsel. sekarang sedang pakai 'never say die' dari black sabbath.)

malam itu, ratusan penonton jelas mencintai dan kagum pada mereka. banyak kepala yang mengayun, manggut-manggut intens, dan banyak teriakan ke arah panggung, seperti "ngombe, 'go" atau "wis tuo iki" ketika ugo terengah-engah sehabis membawakan 'mars penyembah berhala' seperti kesetanan.

saya menyaksikan melbi yang eksplosif. mereka terdengar emosional (dalam nada positif) di album, tapi ketika secara langsung mendengar dan menyaksikan, emosi mereka seolah beratus kali lipat. apa yang sudah kamu dengar di album datang kembali menghantammu, dengan kekuatan tak terbayangkan. ketika kamu didera sedih karena joni gagal mencuri apel dan memberikannya pada susi dalam album, perasaan itu membengkak dan menekan dadamu sedemikian rupa ketika duduk di dalam gedung teater dan mengalami sendiri kisah pedih itu. kamu mengamini ugo yang memaki televisi dan memutarnya berulang-ulang lewat ipod, sementara malam itu kamu merasakan dirimu terbakar amarah dan menyaksikan messiah yang kamu nanti-nanti. ketika tanganmu seolah ingin mengelus rambut susi dan meninabobokannya di lagu 'nasihat yang baik', di salihara kamu menjadi susi yang sendirian dan papa.

segala-galanya dilambungkan. suara ugo terdengar lebih berat, lebih geram, lebih muram. sentuhan-sentuhan kecil tapi mematikan dari gitar atau keyboard terdengar lebih menggaung dan membuat dada sakit (terutama di lagu favorit saya, 'dinding propaganda'. secuil-secuil gitar di bagian refrain, mana tahan). walau di awal pertunjukan, mereka, terutama ugo, terlihat gugup tapi tak butuh waktu lama hingga mereka bisa main dengan sangat lepas. dan itu jelas terlihat. mereka semua bermain seperti kesetanan. gitar disayat atau dimainkan dengan sembarangan, untuk efek noise. mood semakin lama semakin menanjak dan mencapai puncak dengan sempurna. ini diperkuat dengan sound yang bagus dan tata lampu yang pas. musik yang mengurung telinga dan pemandangan yang membuat mata tak berkedip sama eloknya.

encore adalah tiga lagu dari anamnesis. 'tentang cinta' diakui mereka sebagai salah satu lagu yang hampir tak pernah mereka bawakan karena membuat malu. kalau saya jadi salah satu band indonesia, saya akan memilih mengubur diri sendiri kalau lagu yang membuat malu mereka saja adalah lagu dengan lirik yang luar biasa. juga ada 'sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa'. lagu yang sungguh magis.

bagi saya, pertunjukan melancholic bitch ini terus saja menggema sampai beberapa hari setelahnya. ditambah mengganggu saya, dalam arti saya tak bisa berhenti memutar lagu-lagu mereka hingga mendorong saya untuk menulis tentangnya. begitu berkesan hingga saya teringat terus padanya. pengalaman hebat yang termasuk membuat saya naik ojek dari salihara ke kantor di ampera raya sambil was-was karena sudah pukul setengah 12 malam (sudah tak ada kendaraan umum yang lewat depan salihara). dan ingin sekali mengulangnya kembali. bahkan termasuk naik ojeknya.
"selasa, kau dan aku, jika waktu berpihak padaku, izinkanlah, kumelukaimu. izinkanlah kupetakan tubuhmu, dalam suka atau duka, kaya atau papa, sampai kematian memisahkan membelah jiwa raga kita."
('7 hari menuju semesta')



nb. di sepanjang lagu 'distopia', air mata tak berhenti mengalir. tiga baris lirik yang mencocok perasaan dan suara ugo.

nb lagi. sampai sekarang masih membayangkan menyaksikan melbi membawakan lagu 'kita adalah batu'. kapan kiranya kesampaian...

Kamis, 25 Maret 2010

masih oleh-oleh dari salihara



oleholeh dari salihara

Dari Tempo Interaktif

Risky Summerbee dan Melancholic Bitch Sajikan Musik Indie yang Unik

pertunjukan Flight to Dystopia oleh Melancholic Bitch dan Rizky Summerbee & The Honeythief di Teater Salihara. (Komunitas Salihara/Witjak)

TEMPO Interaktif, Jakarta - Payung warna-warni mengambang di udara dan cahaya sorot lampu berganti-ganti mengiringi lagu syahdu With You dari Risky Summerbee And The Honeythief yang santai sebagai pembuka konser musik indie di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu malam kemarin. Risky Summerbee dikenal sebagai band indie beraliran musik yang khas. 

Sikap eksperimental mereka, yang kerap menjadi penyemangat selama proses kreatif, membuat band ini tak monoton. Mulai dari prog-rock, psychedelic, folk-rock, hingga soul, telah dijajal band yang digawangi Risky (vokal), Erwin Zubiyan (gitar), Nadya Hatta (piano), Doni Kurniawan (bass), dan Warman Sanjaya (drum). Band yang pernah tampil memeriahkan pesta rock Java Rocking Land 2009 tersebut telah merilis album bertajuk The Place I Wanna Go.
Band kedua yang tampil malam itu adalah Melancholic Bitch. Kiprah band ini acap disebut sebagai band "hantu" -- karena karyanya lebih sering didengar ketimbang aksi mereka di pentas. Boleh dikata, band ini jarang tampil di pentas. Band ini beranggotakan Yosep Herman (gitar), Ugoran (vokal), R.Ardita (bass), Yennu Ariendra (gitar), Pierna Haris (gitar), dan Septian (perkusi).

Padahal jejak mereka pernah terekam di beberapa gelaran musik akbar. Seperti Art Summit Jakarta 2004 dan Insomnia48 di Singapura pada tahun yang sama. Ada benang merah yang menyatukan kedua band tersebut. Yang jelas, penampilan Melancholic Bitch di Salihara malam itu cukup memukau.

Antara Risky Summerbee dan Melancholic Bitch ada kesamaan dalam perjalanan bermusik mereka. Kedua band indie tersebut sama-sama pernah menggelar kolaborasi dengan Teater Garasi, Yogyakarta.
@
Aguslia Hidayah

Dari Detik

Melancholic Bitch Lebih Suka Musiknya Dibatasi
Yulia Dian - hotMusic

Melancholic Bitch (yla/hot) 

Jakarta - Bermusik sebebas-bebasnya ternyata tidak membuat Melancholic Bitch nyaman. Band asal Yogyakarta itu mengaku lebih suka musiknya dibatasi.

Karena itu lahirlah album 'Balada Joni dan Susi', Maret 2010. Dalam album tersebut, track-track yang ada saling berhubungan menjalin sebuah cerita bak skenario film. Proses penggarapan album tersebut pun mengikuti jalan cerita tentang Joni dan Susi yang mereka karang.

"Salah satu pelajaran terbesar teater kebebasan bisa jadi omong kosong. Kalau dibilang bebas, seperti air mengalir arahnya akan ke mana saja malah nggak jelas. Tapi kalau dimasukin ke dalam balon. Maka lebih terarah. Kalau balonnya kepenuhan kan pasti meledak, itulah kebebasan yang sebenarnya," ujar Ugoran Prasad, sang vokalis ketika berbincang dengan detikhot, di Teater Salihara, Jakarta Selatan, Kamis (25/3/2010).

Band yang berawak Yosef Herman Susilo (gitar), Ugoran Prasad (vokal), R. Ardita (bass), Yennu Ariendra (gitar, synth), Pierna Haris (gitar) dan Septian Dwirima (perkusi, laptop) itu bahkan tidak terlalu suka disebut sebagai sebuah band. Lagi-lagi perasaan terkungkung mereka rasakan karena kata-kata band.

"Melancholic Bitch itu kerja kelompok dari kerja-kerja individual," jelas pria berkacamata tersebut.

Duduk bermain musik dan kemudian melahirkan lagu-lagu bertema berbeda untuk satu album, bukanlah ide yang baik menurut mereka. "Duduk jamming jadi lagu sih kayak Dedy Dores nanti," tuturnya sambil bercanda.

Meski albumnya sudah dirilis secara nasional, band yang keukeuh menamai aliran musiknya pop rock itu tidak mau terlalu berharap muluk. Bisa bermusik dan didengar banyak orang sudah cukup bagi mereka. (yla/iy)

Minggu, 14 Maret 2010

Mentas oi.

+ Superbad @ Jaya Pub (jl. MH. Thamrin), 21 Maret 2010 19.00-23.00 +




+ melancholic b1tch dan Risky Summerbee & the Honeythief perform di Salihara Jakarta tgl 24/03/2010, Reservation Ticket 021-7891202, 0817-077-1913 or log on http://bit.ly/aau1An |+

+ 04 April 2010 "Kickfest Yogyakarta" @ JEC Yogyakarta.+

Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa

 
Saya melihat mereka, Frau dan Ugoran Prasad berduet pertama kali di acara launching album Balada Joni dan Susi milik Melancholic Bitch, bulan November 2009 di Jogjakarta. Tampil hanya dengan iringan piano, mereka berdua membawakan lagu "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa". Airmata saya mengambang saat mendengar lagu tersebut. Mungkin karena saya sangat suka Melancholic Bitch dan lagu itu adalah salah satu track favorit saya tapi mungkin juga karena entah kenapa rasa lagu itu begitu pas, mengharukan dan membuat ingin langsung menyatakan kalau saya sayang pada kekasih saya yang sedihnya saat itu tidak menonton pertunjukan bersama saya.


Sesudah itu saya langsung sibuk mencari tahu siapa perempuan yang menyanyi bersama Ugo malam itu. Saya hanya tahu nama panggungnya Frau dan sebelum dia membawakan lagu Sepasang Kekasih, dia menyanyikan lagu Mesin Penenun Hujan. Setelah berselancar di dunia maya, akhirnya saya tahu bahwa namanya Leilani Hermiasih, masih sangat muda usianya, baru lewat duapuluhan, pemain kibor di sebuah band metal Jogjakarta, The Southern Beach Terror dan pemain bass di Essen Und Blood, band yang saya tidak tahu musiknya seperti apa.

Mencari lagunya saat itu bukan hal mudah karena memang dia belum merilis albumnya. Saya cuma berhasil mendapatkan versi demo Mesin Penenun Hujan dan I'm a Sir. Rasa penasaran saya sedikit terobati ketika mendapat bocoran dari salah seorang teman baik saya yang memberi versi demo Sepasang Kekasih di awal Februari 2010. Rencana rilisnya mundur dari akhir Februari menjadi bulan Maret dan akhirnya tanggal 11 Maret 2010, secara gratis, mini album Starlit Carousel berisi enam lagu bisa di unduh lewat netlabel Yes No Wave.

Diluar kualitas rekamannya yang menurut saya masih belum benar-benar final ***, secara lagu, sulit mencari kekurangan dari sesuatu yang sudah disukai semenjak pertama kali melihat dan mendengarnya. Hal ini juga berlaku untuk mini album ini. Enam track yang ditawarkan Frau begitu manis dan menggoda, nakal yang membuat gemas seperti melihat gadis kecil yang sedang bermain-main dengan pianonya.

Semua track di mini album ini adalah favorit saya. Sepasang Kekasih karena saya juga sangat suka Melancholic Bitch dan karena versi ini juga tidak kalah bagus dari lagu aslinya, secara otomatis sudah jadi salah satu track kesayangan saya. Salahku, Sahabatku dan Rat dan Cat karena keduanya menyelipkan tambahan suara. Ada suara kibor tambahan Nadia Hatta di Salahku, Sahabatku dan  suara nakal Wok The Rock yang ikut bermain seperti kakak si gadis kecil di Rat and Cat. Mesin Penenun Hujan dan I'm a Sir sebelumnya sudah cukup lama mengendap di memori playlist saya dan Glow, track terakhir dari Frau, berfungsi seperti penggenap dari lima lagu sebelumnya, track penutup yang begitu manis dan sangat cocok untuk menemani sore hari gerimis sembari menunggu rendez-vous dengan kekasih di pojok kota.

Frau, saya ucapkan selamat untuk rilis albumnya, terimakasih untuk Starlit Carousel yang begitu indah. Saya mendaftar menjadi fansmu.


* Bagi yang belum pernah mendengar, Frau bisa di download disini : Starlight Carousel

** Kalau ada yang bertanya mengapa tulisan ini muncul di blog ini, itu karena Lagu Melancholic Bitch yang terselip di albumnya Frau

*** akhirnya penjelasan kalimat ini saya temukan diempunya yang ngurusin soal suara: disini : 3dbindonesia
katanya otakatik volume player kamu, jangan malas.

Minggu, 14 Februari 2010

Dari Blog Wisnu Martha

Ke-6, Melancholic Bitch - Balada Joni dan Susi
Album yang bercerita tentang dua anak kelas buruh. Musik yang bagus dan cara bercerita yang cerdas menjadikan album ini mesti didengar bagi orang yang belajar ilmu sosial dan politik sekaligus mendengarkan musik. “Mars Penyembah Berhala” adalah lagu kritik pada televisi, membuat kita merenung kondisi terkini masyarakat Indonesia.

Distribusi CD

 Distribusi re-anamnesis
@pengeratshop
@omuniuum

DATA OUTLET ( DISTRIBUSI ) BJS Melancholic Bitch

1. Aksara : - Kemang ( Jakarta )
- Citos ( Jakarta )
- Plaza Indonesia ( Jakarta )
2. Aquarius Mahakam ( Jakarta )
3. Aquarius Pondok Indah ( Jakarta )
4. Aquarius Sutomo ( Surabaya )
5. Beatz Music : - Plaza eX ( Jakarta )
- Citos ( Jakarta )
6. Bonn Music - PI Mall 1 ( Jakarta )
7. Duta Suara : - Senayan 1 ( Jakarta )
- Plaza Indonesia ( Jakarta )
- Sabang ( Jakarta )
- Kelapa Gading ( Jakarta )
- Serpong ( Tangerang )
- Lippo Karawaci ( Tangerang )
- Mall Ekalosari ( Bogor )
- Mall Paris Van Java ( Bandung )
8. Disc Tarra ( Nasional )
9. Music + : - Blok M Plaza ( Jakarta )
- Mall Taman Anggrek ( Jakarta )
- Sarinah ( Jakarta )
- Citos ( Jakarta )
10. Musiklub – PI Mall 2 ( Jakarta )
11. Omuniuum - Bandung
12. Popeye - Yogyakarta
13. Red And White – Grand Indonesia ( Jakarta )
14. WOM : - Pluit Mall ( Jakarta )
- Citraland Mall ( Jakarta )
15. Hey Folks! – Jakarta