Senin, 08 Agustus 2011

Dari Omink - Majalah Sintetik

Saya Fans Melbi, Saya Menjijikkan?

Saya Fans Melbi, Saya Menjijikkan?
oleh: Omink

Diam-diam saya pernah membenci melbi. Saya mendengar 'Distopia' pada tahun 2009 di kereta dan mengerenyitkan dahi tanda tak suka. Ini karena Cholil “ERK” sempat mengaku bahwa melbi adalah versi tingkat lanjut dari Efek Rumah Kaca. Saya tak sudi. Chauvinisme saya terhadap Efek Rumah Kaca terguncang sakit hati. Hingga di kereta saat itu, 'Distopia' sengaja dilewatkan dan diganti “Distopia” Black Star hanya karena Cholil mengisi sebagai vokalis bayangan.

melbi sempat terus menjadi anak tiri dalam playlist mp3. Albumnya pun sempat sengaja dibiarkan berjudul “unknown”, bukannya “Balada Joni dan Susi”, agar susah dicari. Satu-satunya lagu milik melbi yang saya dengar adalah “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Luar Angkasa” karena kebetulan mendengarnya di album Leilani. Selebihnya, saya sekedar tahu saja bahwa hidup mereka dekat dengan gunung merapi.

Siapa itu Melancholic Bitch, saya sempat tak mau kenal. Mungkin hanya Ugoran Prasad karena ia selalu berdiri di depan. Hilmi sering bercerita tentang melbi, tapi sering saya abaikan. “melbi bukan band seperti Efek Rumah Kaca. Mereka tak punya lirik sosial seperti anti kapital atau menjadi indonesia. Bagaimana bisa mereka menjadi versi upgrade dari Cholil, Akbar dan Adrian?” pikir saya setiap distopia diputar Hilmi dengan mata berbinar.

Dalam diri saya, isu sosial memang sempat memiliki kekuatan untuk meningkatkan citra peduli seseorang, juga meningkatkan harkat martabat musisi profesional. Mendengarkan band “cerdas” menjadi kewajiban bagi mereka-mereka yang mengaku cinta orang-orang marjinal. Saya ikut-ikutan. Maka jadilah, mata dan telinga saya sempat hanya melihat dan mendengar band “cerdas” seperti Efek Rumah Kaca atau para penirunya yang selalu berkoar tentang tema-tema sosial: kapital, korupsi, tawuran, hingga kejahatan seksual. Sampai kebahagiaan turut sempat dikendalikan hanya oleh musisi yang mengangkat kemiskinan dan masalah pendidikan sebagai tema andalan. Musisi yang berorasi tinggi soal korupsi dan menolak belanja terus sampai mati dengan suara nyaring, langsung terlihat mulia. Dan musisi yang tak memasukkan istilah-istilah sosial dalam syairnya, langsung terlihat nista.
Begitulah bagaimana melbi sempat masuk dalam daftar band yang tak saya gubris karena lirik mereka miskin kata-kata “belanja terus sampai mati” atau “anti pornografi”, kecuali kata “televisi” yang menjadi musuh literasi. Efek dari “Cinta Melulu” Efek Rumah Kaca berhasil membuat band yang mengangkat tema cinta pinggiran dalam "Balada Joni dan Susi: terasa mirip Armada lewat “Cinta Buta”-nya.

“melbi biasa saja. Cholil cuma basa-basi belaka,” yakin saya menenangkan hati sembari mengeraskan 'Hujan Jangan Marah' dari speaker yang baru dibeli. “Yaa.. Cholil cuma basa-basi belaka. Benar-benar cuma basa-basi.”
….
Enam hari yang lalu, tanggal 27, saya tertunduk malu. Diawali oleh wawancara cerdas yang dibaca kala mati lampu antara Ardi Wilda dengan Ugoran Prasad, saya melakukan pengakuan dosa di galeri art milik Pak Langgeng dimana salah satu pengurusnya adalah Goenawan Mohamad, idola saya. melbi ada disana. Melakukan pementasan akhir sebelum Ugo studi ke Amerika selama dua tahun bersama Armada Racun, juga Leilani, Silir dan Wvlv. Mereka tidak hanya mencubit pipi saya saat itu, tapi juga menampar lalu mengajak berdamai lewat art performance yang memukau. Saya malu. Seketika saya sadar terlalu mudah menafsirkan arti “Cinta Melulu”. Kecerdasan saya semu dalam memahami proses berkesenian melbi sejak pertama kali kami bertemu hingga menghasilkan penilaian keliru. Dosa besar. Karena sebelumnya, saya menanggapi Melbi dengan gerutu hingga bahkan dalam tulisan ini, di paragraf awal, saya enggan menulis huruf awalan “melbi” dan judul lagunya dengan huruf besar layaknya saran para editor bermutu. Saya malu. Saya malu, sembari menatap sepatu.
Sehari sebelumnya, saya berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 26 pagi dengan semak hati. Itu hari pertama saya sedang menstruasi. Sempat ingin batal pergi, tapi kala itu saya terlalu arogan untuk melewatkan Melbi dan terlalu pelit untuk merugi karena sudah membeli tiket konsernya jauh-jauh hari karena terpengaruh Hilmi, bukan atas dasar kesadaran sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk tetap angkat kaki.
Perjalanan darat dengan bus petang, seperti itu-itu saja. Tak banyak yang bisa diceritakan kecuali nyeri setengah mati yang kemudian dapat reda gara-gara Kiranti. Sesampainya di Yogyakarta pun masih biasa saja. Mungkin karena saat itu saya lebih peduli pada fase datang bulan dan nasib celana dalam daripada tempat penginapan, hingga ketika diputuskan untuk tidur di rumah salah satu personil Tripping Junkie, saya menerima dengan hati lapang. “Yang penting bisa tidur beralaskan lantai rumah, bukan lantai supermarket dengan logo K besar merah,” pikir saya terlalu lelah.
Esok harinya, tanggal 27. Rumah, tempat tidur, mati lampu. Kartu-kartu yang berserakan tiba-tiba berguna sebagai alat pembunuh waktu. Saya bosan, sampai kemudian seorang teman menyodorkan link wawancara Ardi Wilda dengan Ugoran. Saya penasaran dan membacanya dari awal, mulanya, dengan asal-asalan.
Frase “legenda hidup” di paragraf pertama masih bikin kesal. “Personil melbi beberapa kali terlibat dalam pementasan teater”? Baiklah, saya terkesan. “Ugo sedang melakukan riset sejarah kontemporer terkait dengan pertunjukkan di Indonesia pasca 1998”, wow! Ini beneran?. Membaca jawaban pertanyaan pertama, kedua, sampai empat, saya terperanjat. Jawaban “no fucking celebrity” di pertanyaan kelima, benar-benar mempesona. Kenyataan bahwa BJS (Balada Joni dan Susi) adalah hasil olah pemikiran Melbi terhadap budaya pinggiran, mulai bikin hati luluh, terus sampai jawaban di pertanyaan nomer sebelas: “bukan berarti Dedy Dores jelek lho ya. Dia hanya lebih tabah menyikapi lagu-lagunya. Sayangnya kita ga setabah Dedy Dores”. Astaga! Saya jatuh cinta! Jawaban pertanyaan nomer dua belas, tiga belas, empat belas, saya baca dengan terpesona tak berdaya sampai kemudian istilah “artist collective”, yang keluar dari jawaban pertanyaan nomer lima belas, terasa “cerdas” luar biasa menggantikan istilah “anti kapital” yang mulai banal. Enam belas, pemujaan saya sampai pada titik maksimal hingga ditutup dengan pernyataan yang menggambarkan betapa Melbi memiliki vokalis yang berintelektual sangar: “kebetulan aku dapat beasiswa dari program Erasmus Mundus dengan program yang sama yakni Performance Studies. Aku bakal studi di Universitas Amsterdam satu semester untuk kemudian lanjut ke Warwick University di Coventry, Inggris.”
Cukup. Sudah. Ini gila. Saya tergila-gila. Mulai malu. Malu tertunduk, menatap sepatu.
Itu paginya. Malamnya tanggal 27, pukul delapan lebih lima belas menit, terlambat sedikit dari pukul setengah delapan malam karena beberapa tragedi sulit, saya sudah duduk bersila di rumput galeri Pak Langgeng. Isinya sudah ramai anak muda Yogyakarta yang kebanyakan menenteng botol bir hijau karena diskon khusus untuk acara bertajuk “Keracunan Ingatan” malam itu. Bule-bule berserakan dimana-mana. Saya duduk agak di belakang bersama Hilmi, Henry, Tika dan Mikha, duduk dekat stand kamera. Saat itu, malu saya di pagi hari, berganti dengan perasaan haru minim gerutu untuk menebus kesalahan masa lalu. Saya mulai menunggu.
Masih Armada Racun. Saya bernyanyi di “Amerika” juga “Tuan Rumah Tanpa Tanah” sambil melihat sekitar. Terlihat Frau mondar-mandir di jarak kurang lebih 4 meter. Manusia yang lain, saya tidak kenal. Pasti ada Wok dan Ardi Wilda disana. Dua orang yang bikin penasaran bentuk nyatanya karena selama ini hanya tahu lewat hasil jepretan kamera di situs-situs jejaring sosial dunia maya. Tapi, saya masih tak tahu yang mana. Mereka bisa ada dimana saja.
Armada Racun selesai. Entah pada pukul berapa. Katanya, ini juga pertunjukkan terakhir mereka. Namun, seperti kata Ardi Wilda di tulisan ulasan konser ini di Jakartabeat, Armada Racun anti klimaks karena personilnya tak seperti seharusnya. Saya memang berharap melihat Nadya disana. Sayangnya, saya tahu belakangan jika kibordis lelaki yang saya kira hanya additional sementara, sudah ditasbihkan menggantikan Nadya untuk seterusnya. Kasihan saya.
“Melbi” didengungkan oleh MC lewat pengeras suara. Saya tegang, tak keruan rasanya. Ingin melihat orang-orang, terutama Ugoran, yang merubah benci saya menjadi jatuh hati hanya dalam waktu dua hari. Ingin melihat postur tubuh mereka, ingin melihat bagaimana pakaian mereka, ingin mendengar suara asli mereka, ingin mendengar gesekan gitar Jaguar mereka, juga ingin merasakan Balada Joni dan Susi diceritakan nyata, di depan mata. Saat itu, saya menyiapkan diri untuk terkesima, melihat dengan telinga, balada cinta pinggiran yang tak jelas batas imajinasinya.
Joni dan Susi ada disana. Joni berbaju kotak-kotak berkacamata, Susi berambut panjang dikepang dua. Joni dua satu dan Susi sembilan belas. Terkurung dalam kotak gelas, dingin dan cemas. Ia Joni, ia Susi.
Bulan madu di Venesia, di atas kanal venesia, jangan kencang-kencang, jangan hilang keseimbangan, kapal ini terlalu kencang, kapal ini goyang, membentuk tujuh semesta dalam suka atau duka, kaya atau papa, berdua mereka sampai kematian memisahkan, membelah jiwa raga mereka, “katakanlah jika aku israel kau palestina, jika aku amerika kau seluruh dunia, jika aku miskin kau negara, jika aku mati kau kematian lainnya, kamis jumat sabtu pepatkan seluruh semesta jika kau menginginkannya, pepatkan semesta di seluruh sisi-sisinya.”
Kereta mengantar mereka menuju semesta berdua, dalam kereta mereka berdua bersama selama-lamanya, kereta mengantar mereka menuju semesta berdua, hanya berdua bersama-sama selama-lamanya hingga televisi merusak suasana, merusak imajinasi, gila, berharap hanya mimpi lewat cubitan pipi, dasar televisi perusak imajinasi, dunia pepat dalam 14 inchi.
Susi lelah habis jalan-jalan, tidurlah susi, tidur, tidur, susi terlalu lelah jalan-jalan dalam pelarian sampai demam, minggu pertama pelarian mereka susi demam, joni gusar, miskin datang bikin tangan joni terkepal, joni miskin, lapar, susi pelan berbisik, “curilah roti, curilah roti”, tak akan dibiarkannya susi mati, curilah roti dari deret supermarket yang tersusun rapi, jangan biarkan susi mati, tapi pencurian merusak keseimbangan harga dunia, supermarket memerangkapnya, sebuah apel jatuh dari lubang saku celananya, itu apelmu adam, buang apelmu adam, buang apelmu, banyak orang yang menangkapnya, mengurungnya, mencekal pundaknya, membanting punggungnya ke aspal, banyak orang yang menjatuhkan hukuman Tuhan di wajahnya, joni bilang, “jangan libatkan polisi di cinta ini, jangan libatkan polisi di cinta ini” sementara televisi datang lebih cepat dari ambulans.
Joni masup tipi, lima belas detik kerajaannya, lebih baik, jauh lebih baik daripada seumur hidup tanpa lampu, lihatlah lihat betapa nyata cinta mereka kini, joni ada di tipi, susi ajarkanlah pada mereka bagaimana caranya mengeja, di jalan tertulis jejak luka, pemerintah tak bisa membacanya, susi ajarkanlah mereka mengeja.
Ketika joni dua satu dan susi sembilan belas, dunia terkurung dalam kotak gelas, dingin dan cemas, berdarah luka tangan mereka, saling menggenggam mereka mengikat darah mereka selamanya, akan berpinak banyak-banyak jadi sekawanan joni, jadi sekawanan susi, mari pergi dari sini, membuka lahan kebun apel seperti Tuhan, membuka lahan kebun apel seperti Tuhan, lalu kita dirikan menara yang tinggi, lebih tinggi. Tengadahlah joni dan susi. Tengadahlah. “Namaku joni, namaku susi. Namamu joni, namamu susi”
Bisa didengar kerinduan, pelarian ini telah usai, menjadi batu yang melesat menghancurkan, menjadi pisau berkilau yang teracuhkan, “jika kita bertemu di sudut sesal itu, lihatlah diwajahku ada wajahmu, dimatamu ada mataku”, namaku joni, namaku susi, namamu joni, namamu susi, namaku joni, namaku susi, namamu joni, namamu susi..
Ada encore setelah itu. Kira-kira 3-4 lagu. Seperti film, lagu-lagu encore itu menemani gerakan vertikal deretan daftar produser, sutradara, penulis skenario, dengan hanya dua tokoh utama: Joni dan Susi, dengan si Melbi yang bukan menjadi sutradara atau produsernya, tapi Tuhan-nya. Saya pulang dengan lega hati di dada. Balada ini terasa murni, kental seni. Dan layaknya seni, ceritanya tak akan habis disini meski Melancholic Bitch baru bernyanyi setelah dua tahun lagi.
Hari ini tanggal 2 Agustus, enam hari setelah konser Melancholic Bitch itu digelar. Saya sedang sembahyang siang. Biasanya, saya akan mematikan segala sumber suara agar tak memutus tali spiritual dengan Tuhan. Biar konsentrasinya tak hilang. Namun, kini Balada Joni dan Susi milik Melbi wajib ada di volume tertinggi saat saya mengatup kedua tangan, menuturkan puja-puji, berbau dupa wangi. Tampaknya, Balada Joni dan Susi telah menempati tempat kesekian setelah Tuhan, yang berhak mendapat pujian sakral.
“Namaku Joni, namaku Susi. Namamu Joni, namamu Susi. Jadi sekawanan Joni, jadi sekawanan Susi”