Sabtu, 19 Desember 2009

Dari Jakarta Beat

Lima Album Indonesia Terbaik 2009

Saturday, 19 December 2009 00:41
Oleh Idhar Resmadi, penulis freelance, mahasiswa jurnalistik Universitas Padjadjaran

Menulis album-album terbaik lokal tahun 2009 terhitung gampang-gampang susah. Gampangnya, di tengah industri musik Indonesia yang kian menukik baik secara kualitas maupun kuantitas, relatif mudah untuk memetakan album-album mana saja yang layak menjadi mutiara di laut hitam. Di tengah keseragaman musik melayu, nada-nada pop kreatif tapi tidak kreatif karena bejibunnya keseragaman bermusik, dan tema-tema cinta memuakkan, masih mudah rasanya menemukan band-band yang berani mendobrak perilaku dan selera industri.
Di dunia indie pun, banyak band-band indie yang terjebak menjadi epigon dari pengaruhnya. Dan susahnya, tak ada album yang benar-benar fenomenal di tahun 2009 ini. Tak ada album yang jadi cetak biru semisal 4 Through The Sap milik Pas Band. Kecuali apabila analisis-analisis dibuat subjektif. Ada beberapa album yang menjady hype di tahun 2009, semisal Kamar Gelap (Efek Rumah Kaca), In Medio (Anda), maupun Risky Summerbee and the Honeythief, namun mereka dirilis di penghujung tahun 2008. Alhasil, nikmati saja lima album lokal terbaik tahun 2009 berikut ini:

1. Tika and the Dissidents - The Headless Songstrees (Head Records)

Empat tahun yang lalu kemunculan Tika dianggap mendobrak beberapa hal. Pertama, pada medio tahun 2000-an gampang terlihat fenomena menjamurnya grup musik atau band yang beredar di kalangan para pemusik independen. Tiba-tiba muncul Tika dengan konsep solois perempuan yang membawa warna musik trip hop, noir, dan jazz di tengah gegap gempitanya tren musik emo, garage rock, atau nu-retro di Indonesia pada masa itu.
Kedua, Tika telah mendobrak istilah “Diva” di Indonesia. Yang pasti, ia telah membongkar istilah klise Diva di Indonesia yang seolah terpatri pada Krisdayanti, Titi DJ, atau Ruth Sahanaya dengan konsep glamour bak model iklan sabun dengan kredo lebih ramping, lebih putih, dan berambut lebih lurus. Lewat debut albumnya Frozen Love Songs, para kritikus musik negeri ini mencap Tika sebagai biduanita berbahaya di Indonesia karena memiliki warna musik yang terhitung cutting-edge dan memiliki sikap antitesis dengan kredo diva tersebut.
     
Pasca-debut album Frozen Love Songs, Tika bisa dikatakan vakum. Kecuali, ia sempat merilis versi kemasan ulangnya dengan nama Defrosted Love Songs pada tahun 2006. Setelah itu Tika seperti daun tertiup angin yang tak ada ujung kabar beritanya.
     
Tahun 2009, Tika datang lagi. Kali ini ia tampil berbeda dibanding empat tahun lalu. Ia kini tak hadir sendirian tapi ditemani band atau grup musik yang dinamakannya “The Dissidents” yang terdiri dari sejumlah musisi berbakat seperti Susan Agiwitanto, Okky Rahman Oktavian, dan Luky Annash. Warna musik yang mereka usung tidaklah semuram pada album awalnya. Tampaknya penambahan The Dissidents menambah warna baru pada musikalitas Tika. Warna trip-hop murung boleh menjadi minimal, lalu warna musik eklektik fusi dari rock, blues, hingga tango dan waltz terasa lebih mendominasi.
     
Soal lirik, album The Headless Songstrees tak hanya dipenuhi perasaan Tika yang galau seperti pada albumnya terdahulu. Kali ini ia lebih mulai berani menyuarakan pendapatnya yang tanpa tedeng aling-aling, mengurai borok budaya popular mulai dari televisi, industri musik, hingga diskriminasi sosial. Dengan mengurai tema-tema kritis dan sarkastis, saya hanya bisa tersenyum ketika dalam halaman websitenya Tika menulis para teroris internet mengecamnya terlalu ‘gemerlap’ untuk jadi kiri. 
     
“Kiri” gaya Tika pun sangat terlihat jelas pada lagu berwarna musik mariachi berjudul ‘Polpot”, yang sempat membuat  saya terjebak berpikir bahwa lirik ini bercerita tentang pembantai Khmer Merah di Kamboja.  Nyatanya, lirik ini bercerita tentang pembantaian intelektual oleh televisi. Atau simak lagu “Clausmophobia” yang bercerita soal persepsi masyarakat terhadap kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Trans-seksual), atau simak juga lagu “Mayday” yang bercerita soal buruh. Hebatnya, lagu ini juga dijadikan soundtrack sebuah organisasi buruh di Amerika.
     
Kredit Tika sebagai seniman ber-attitude bukan tanpa alasan. Tika dikenal sebagai aktivis gender dan penganut paham DIY (Do It Yourself). Sikap DIY terlihat pada kemasan album The Headless Songstrees di mana Tika merajut dan mendesain sendiri kemasan kain dan patch yang menjadi keunikan dari album ini, dan menjadi daya tarik orang untuk membeli atau sekedar mengaguminya.

2. The S.I.G.I.T.- Hertz Dyslexia E.P. (FFWD Records)
     
Tren musik garage revival second wave yang muncul pada awal tahun 2000-an memang memberikan pengaruh besar terhadap proses kreatif band-band Indonesia. Ketika itu masuk pengaruh-pengaruh musikal semacam The Strokes, The White Stripes, Kings of Leon, The Libertines, Jet, dan sebangsanya. Sebagai negara dunia ketiga, sebagai efek dari “korban” berseliwerannya band-band garage revival nongkrong di MTV dan majalah musik macam Rolling Stone, Spin, dan NME maka efek dari pengaruh tersebut menimbulkan zat konsumsi yang secara tak sadar mempengaruhi ekspresi. Maka, beramai-ramailah band Indonesia mendompleng tren tersebut. Misal saja, The S.I.G.I.T. , Speaker 1st (Bandung), dan The Brandals (Jakarta).
     
Pada tahun 1980-an, lahir band-band sepertiThe Miracle Workers, The Pandoras, Spacemen 3, dan The Brian Jonestown Massacre yang menyuarakan “The Garage Revival Scene”. Band-band ini lahir dari tangan Almarhum Greg Shaw yang memang dikenal sebagai peletak apa yang kita sebut garage music. Ketika pada tahun 1980-an ia memunculkan band-band itu, Greg Shaw tak menyangkal bahwa sound music rock n roll tetap akan hidup di era postmodernisme sekarang ini. Greg Shaw pernah berujar bahwa musik garage akan selalu hidup ketika band-band pasca-revivalist garage ini tetap menyuarakan bisingnya rock n roll era 1960-an macam Led Zeppelin dan The Rolling Stones.
     
Saya kira pengaruh itu terasa pada album perdana The S.I.G.I.T. , Visible Idea of Perfection. Dalam album itu masih terselip kombinasi antara progenitor rock n roll macam Led Zeppelin dengan sound garage revivalist seperti pada Jet atau The Libertines. Potensi The S.I.G.I.T. sebagai salah satu band rock n roll paling ‘hot’ di Indonesia mulai terlihat ketika beberapa single di album itu berhasil memancing kesuksesan mereka hingga layak tur di negara kangguru dan menyambangi Festival SXSW di Texas pada awal tahun ini.
     
Bara api yang dikobarkan The S.I.G.I.T. tak padam di album pertama. Bisa dibilang The S.I.G.I.T. justru mengobarkannya lagi lebih besar lewat Hertz Dyslexia yang dirilis pada pertengahan tahun 2009. Album ini muncul di tengah “terjebaknya” band-band garage atau rock n rock lokal seangkatan The S.I.G.I.T.  pada dualisme menjadi Led Zeppelin atau The Strokes. Band-band seangkatan mereka terdengar klise dan sami mawon pada tiap album, seperti The Brandals, Jack N Fourmen, atau Speaker 1st.
     
Sebenarnya, Hertz Dyslexia adalah mini-album The S.I.G.I.T. yang bisa jadi mencerminkan kualitas dan progresi musikal kuartet asal Bandung ini. Ketika band-band garage seangkatan mereka “terjebak”, mereka justru dengan berani bereksperimen dan mendekonstruksi definisi garage music itu sendiri. Di album ini, The S.I.G.I.T. seolah mengenyahkan diri dari pakem-pakem apapun. Ia terlepas dari band garage atau band rock n roll.
     
Hampir tiap lagu dari tujuh lagu dalam album ini mencerminkan progresi itu. Mulai dari berbau rock stoner pada single “Money Making” dan “The Party”, hingga memasukan elemen seruling bernada psikadelik pada lagu “Bhang”, sampai lagu yang benar-benar dekonstruktif dengan memasukan elemen ambience dan vokal lo-fi pada lagu “Midnight Mosque Song”. 
Alhasil, Hertz Dyslexia yang menjadi titik pijak yang menunjukkan bahwa musikalitas The S.I.G.I.T. tak pernah berhenti pada satu titik. Dan bahwa mereka tidak ingin terjebak pada nuansa genre yang tipikal dan membosankan seperti yang terjadi pada band-band seangkatan mereka tadi. Apalah itu namanya garage revival, rock n roll, atau hard rock, The S.I.G.IT. telah menghancurkannya pada diri mereka sendiri.

3. Melancholic Bitch, Balada Joni dan Susi (Dialectic Recordings) 
     
Salah satu alasan penting kenapa menempatkan Balada Joni dan Susi sebagai salah satu rilisan terbaik di tahun 2009 ini adalah karena keberanian Melancholic Bitch untuk merilis sebuah konsep album. Dewasa ini jarang terdengar sebuah band lokal (indie maupun major) merilis sebuah konsep album di tengah hiruk pikuk kaki industri musik yang bertumpu pada ring back tone (RBT) dan single.
     
Alasan itu menempatkan Melancholic Bitch sebagai sebuah band lokal yang layak diperhitungkan. Saya berani bertaruh bahwa Melancholic Bitch adalah band keren yang terlupakan. Pasca dirilisnya debut album Anamnesis pada tahun  2005, band ini seperti menghilang ditelan bumi. Mereka bukan tipikal sebuah band yang instant termasuk memanfaatkan hype internet untuk meraih citra dan popularitas. Sehari sebelum menulis review ini saja, saya melihat halaman Myspace mereka yang masih bertampilan standar dengan jumlah kawan yang minim. Maka taruhan saya dipenuhi dengan spekulasi bahwa Melancholic Bitch adalah sekumpulan seniman yang punya integritas terhadap karya, dan karya itu tak boleh instant, tak boleh gampangan, tapi harus komprehensif, dan tentunya, artistik.
     
Besar dan berkembang dalam lingkup komunitas seni menjadi alasan yang mencerminkan sikap dan ideologi band asal Kota Gudeg ini. Band ini berangkat dari komunitas seni Kua Etnika, komunitas Teater Garasi, dan komunitas forum musik Fisipol Universitas Gajah Mada. Dari latar belakang kesenimanan mereka, maka Balada Joni dan Susi adalah pergulatan kreativitas, intelektual, dan predikat kesenimanan para personil Melancholic Bitch selama empat tahun.
     
Dalam sebuah wawancara dengan Jakarta Post, vokalis dan penulis lirik Ugoran Prasad berkomentar soal konsep Balada Joni dan Susi: “"For me, this is a story about a couple who are always trying to pick a fight with the world, their country, or even with people. Joni and Susi taught us that a simple love story can be very political." Bila perhatian mendalam kita berikan pada konsep album ini secara komprehensif, kita akan menemukan dua protagonist bernama Joni dan Susi dengan kisah-kisah berdasar rumus Shakespeare: tragic-comedy.
     
Balada Joni dan Susi mengingatkan saya pada album Ken Arok karya Harry Roesli yang oleh Rolling Stone Indonesia ditempatkan padai posisi 10 dalam 150 Album Terbaik Indonesia. Sama-sama bersifat konsep album dengan dipenuhi karakter bak cerita fiksi. Memang Balada Joni dan Susi belum pernah dioperakan, namun siapa tahu? Mengingat para personil Melancholic Bitch adalah juga pegiat teater di Teater Garasi.
Harry Roesli mementaskan Opera Ken Arok pada tahun 1975, yang dengan cerdas menyindir tradisi suap, korupsi, hipokrisi dalam setting Kerajaan Singosari yang dipimpin Ken Arok setelah merebut kekuasaan Tunggul Ametung secara ilegal (jangan lupa, bahkan merebut istri Tunggul Ametung, Ken Dedes). Pementasan itu dianggap menyajikan konteks dan relevan dengan masyarakat Indonesia yang dipenuhi kegelisahan terhadap lingkungan sosial dan pemerintahannya.
     
Balada Joni dan Susi juga memiliki konteks dan relevansi dengan zamannya, dengan mitos-nya sendiri. Ini boleh jadi adalah kisah post-modern love story. Mereka bercerita tentang cinta dengan penuh filsafat dan wacana-wacana budaya popular. Terus terngiang-ngiang di benak saya penggalan lirik lagu “Mars Penyembah Berhala”: /Siapa yang membutuhkan imajinasi jika kita sudah punya televisi…/” atau lagu “Akhirnya Masup Tipi”: /Susi aku masup tipi, 15 detik, kerajaanku, lebih baik, jauh lebih baik daripada seumur hidup tanpa lampu. Lihatlah, lihat segalanya nyata di tv, lihat betapa nyata cinta kita kini.../”. Kisah Joni dan Susi yang penuh problematika Rama-Sinta kontemporer di zaman postmodern.      
Lirik dalam album ini seperti narasi. Pastinya karena penulis lirik, Ugoran Prasad, juga dikenal sebagai penyair dan penulis. Beberapa karya cerita pendeknya sering menghiasi halaman koran nasional. Maka tak aneh Ugo dengan fasih merajut cerita dari satu lagu ke lagu lainnya. Seperti pada lagu “Intro” yang seolah memperkenalkan sang protagonist: /Ketika Joni dua satu dan Susi Sembilan belas, hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas. Kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas, dingin, dan cemas. Namaku Joni, namamu Susi. Namamu Joni, Namaku Susi/.
     
Musik Melancholic Bitch dipenuhi nada-nada pop dengan ritmis-ritmis elektronik, sound-sound piano minimalis, dan petikan gitar yang mengingatkan kita pada Jonny Greenwood era OK Computer.  Sang vokalis Ugoran justru bisa dibilang bercerita (spoken word) dibandingkan sekedar memamerkan teknik vokal.
     
Album konsep ini pun bisa jadi tandingan terhadap konsumsi masyarakat Indonesia pada musik. Akhir-akhir ini, telinga kita dimanjakan dengan “hanya” mengonsumsi musik semata. Maka maraklah download rapidshare, limewire, atau RBT. Padahal musik seperti sebuah paket nasi timbel lengkap dengan tambahan menu lirik dan artwork. Mendengarkan album konsep dengan teknik cerita pendek seperti ini tak hanya membuat kita bisa mendengar musiknya semata. Namun, mesti membaca kertas lirik yang ibarat buku cerpen, memejamkan mata meresapi cerita, plus - supaya tambah nikmat-, sambil memakan kudapan kentang goreng. 

4. Endah N Rhesa, Nowhere To Go (Demajors Records)
     
Sangat menyenangkan menemukan sebuah band yang tidak pretensius dalam berkarya. Dalam Endah N Rhesa saya menemukan kesederhanaan dalam berkarya. Impresi pertama saya terhadap band ini sekitar empat tahun lalu ketika mereka tampil di sebuah Klab Jazz di Bandung. Waktu itu mereka baru saja merilis mini-album Real Life, yang direkam penuh kesederhanaan. Empat lagu yang di rekam secara live low budget tanpa teknik overdub. Kepingan CD-nya pun dibuat CD-R mode atau penggandaan CD lewat burning PC.
     
Tahun ini mereka baru merilis debut album penuh, setelah puas menjajal Java Jazz dan panggung-panggung jazz lainnya. Secara musikalitas, album Nowhere To Go memang tak memberikan kejutan banyak dan berbeda dibanding EP Real Life- yang dibuat sangat terbatas. Kecuali, kemasan yang lebih baik dan duplikasi lebih banyak.
     
Endah N Rhesa mencapai popularitasnya lewat album Nowhere To Go. Sekilas memang materi-materi dalam album ini sangat mudah dinikmati, catchy, dan bermain dalam tempo sederhana. Siapapun bisa menikmatinya, tua dan muda. Meskipun sekilas terhitung segmented, namun kualitas musik mereka memiliki range segmen yang lebar. Bisa bermain di pop, folk, jazz, atau blues sekalipun. Bisa menjual juga karena mereka menyanyikan lagu humanis dengan tema cinta dan manusia dibalut musik yang manis.
     
Ah, cinta adalah tema universal. Silakan, nikmati cinta versi band-band industri yang bertebaran seputar pengkhianatan, selingkuh, atau mencari jodoh. Cinta milik Endah N Rhesa hanya kisah cinta sederhana seperti pada lagu “When You Love Someone”: /When you love someone/just be brave to say/ that you want him to be with you/ when you hold your love/ don’t ever let it go/ or you’ll lose your chance to make your dream come true…/     
Kadangkala, para penulis lirik cinta terjebak pada pengumbaran dramatisasi emosi seolah dunia akan runtuh. Atau jika sedang bahagia, cinta seolah membuat dunia milik kita berdua. Namun, lagu-lagu dalam Nowhere To Go sangat layak dijadikan salah satu lagu dalam mixtape jika sedang jatuh cinta. Cinta yang sederhana dan penuh nasihat baik.
     
Di tengah band-band major asyik menjual cinta-cinta mendayu dan band-band indie sibuk mengkritisi sosial dan budaya popular, Endah N Rhesa adalah anomali.  

5. The Trees and The Wild, Rasuk (Lil’Fish Records)

Terlalu picik rasanya para kritikus musik di manapun jika selalu saja melakukan perbandingan hanya karena memiliki kesamaan berdasar takdir. Misal, membanding-bandingkan musik Interpol dengan Joy Division hanya karena takdir Paul Banks yang memiliki kemiripan suara bariton dengan Ian Curtis. Atau muncul eksponen lainnya macam The Editors, yang digadang mirip Interpol hanya karena warna vokal Tom Smith yang mirip Paul Banks.
     
Begitu pula yang terjadi pada The Trees and The Wild (TTATW). Entah kenapa banyak orang yang menyamakan suara vokal Remedy Waloni dengan karakter vokal John Mayer, seolah-olah menganggap TTATW hanya sebatas epigon semata. Banyak kritikus di negeri  ini terjebak persepsi-persepsi awal para kritikus mulai bekerja. Menikmati sekitar 2-3 lagu di album, pikiran menyebar menebak warna album, dan mulai membanding-bandingkannya dengan warna musik serupa dari para musisi sebelumnya yang telah muncul. Maka tak aneh jika para kritikus atau jurnalis musik selalu memberikan kredit pada sejarah musik.

Mendengarkan musik TTATW justru membuat saya berpikir bahwa band ini memiliki potensi. Meski potensi ini bisa saja dipersempit oleh kredit para kritikus musik lewat perbandingan John Mayer-nya. Ketika saya mendengarkan warna musik TTATW, justru saya pikir jauh dengan musiknya John Mayer. Itu pun jika mendengar sentuhan aransemen, komposisi, dan genre musik, tak hanya dipersepsi lewat vokal saja. TTATW menyuguhkan potensi musik folk dibaur sedikit sentuhan ambience post-rock yang kental. Sehingga sebagian besar lagu-lagu di album ini pun terdengar mengawang, berbeda dengan kebanyakan band folk yang lebih groovy.
     
Warna kentara yang menyegarkan dalam musik TTATW ada pada lagu “Verdure”. Sentuhan melodi panjang menghentak ditimpali crescendo ala post-rock sebelum bergumul menjadi alunan vokal yang datar dan menghanyutkan. Ya, saya pikir terminologi tepat untuk musiknya TTATW adalah: menghanyutkan.
     
Formula-formula menghanyutkan yang sama bisa kita temukan dalam TTATW. Single pertama  “Honeymoon On Ice” yang terinspirasi dari film Michel Gondry, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, adalah contoh besarnya. Atau repetisi yang sama pada lagu-lagu seperti “Malino”, yang lebih terdengar lebih seperti Sigur Ros. Atau lagu “Our Roots” yang berisi ambience dengan gaya vokal mengawang seperti tipikalisasi band-band Islandia sebagai salah satu pengaruh kuat dalam musik TTATW.
     
Salah satu lagu favorit saya, “Derau dan Kesalahan” adalah pameran terbaik kualitas potensi band asal Jakarta ini. Mereka memamerkan melodi yang indah sebelum ditutup hentakan gitar crescendo seperti Jonny Greenwood melakukannya pada Radiohead.

Kamis, 17 Desember 2009

Dari Rolling Stones


Oleh : Soleh Solihun
Serius, tapi tak membuat dahi berkerut

Cholil efek rumah Kaca pernah menyebut musik Melancholic Bitch (atau Melbi, versi singkatnya) sebagai musik Efek Rumah Kaca untuk tingkat yang lebih advanced. Dia ada benarnya. Dalam beberapa hal, musik Melbi mengingatkan pada nuansa musik ERK. Li-riknya serius, banyak menyindir kondisi sosial, musiknya pop, masih easy listening—walau tak akan langsung hinggap di telinga dalam sekali dengar, agak gelap dengan nuansa psikedelik yang cukup kuat. Bayangkan hal-hal itu semua, dalam kadar yang le-bih berat. Dua belas track di album ini bercerita soal kisah sepasang kekasih bernama Joni dan Susi. Tak banyak musisi lokal yang berani membuat sebuah album de-ngan konsep. Dan Melbi, lewat kisah tentang sepasang kekasih, berhasil membuat sebuah konsep album yang menarik, baik dari segi lirik maupun musik. Melbi menyindir banyak hal lewat kisah Joni dan Susi. Mereka menyindir televisi dalam “Mars Penyembah Berhala”, dan “Ak-hirnya Masup TV.” Lalu berce-rita soal kemiskinan dalam “Propaganda Dinding.” Cara Ugoran Prasad—penulis lirik di album ini—memilih dan merangkai kata memang tak lugas dan agak bombastis, tapi setidaknya dia tak terdengar pretensius. Jika diibaratkan dengan sosok manusia, maka Melbi adalah seorang pintar yang senang membicarakan hal serius, tapi masih jadi teman bicara yang menyenangkan dan tak intimidatif.

Minggu, 13 Desember 2009

Dari Jakarta Post

Melancholic Bitch : A modern love story

Felix Dass ,  Contributor ,  Yogyakarta   |  Sun, 12/13/2009 1:55 PM  |  Music

It was around 8 p.m. in Padepokan Seni Bagong Kussudiarja, Yogyakarta. Rain had just left town. It was a little cold, but more than 100 people had gathered.
Their aim was one: to see a band called Melancholic Bitch. The band had just released their sophomore album, Balada Joni dan Susi (The Ballad of Joni and Susi).
Lights were low. People were busy chatting. Then, Ugoran Prasad, the band's front man, appeared. He welcomed everyone and then invited Djaduk Ferianto to give a speech.
It was a typical artsy opening, just as you would usually see in theaters or in contemporary dance shows. The difference was Djaduk's speech opened a pop concert, rather than a more serious art genre.

Melancholic Bitch: JP/Adi Adriandi 
Melancholic Bitch: JP/Adi Adriandi

The album itself is a romantic epic. It tells a tale of two people falling deeply in love from the beginning to the end. The couple join forces with nature; they walk in a simple jungle titled life.
Since it is a complete story package and they have to play the album in a similar order, it could be categorized as a storytelling concert, but with a different atmosphere.
"For me, this is a story about a couple who are always trying to pick a fight with the world, their country, or even with people. Joni and Susi taught us that a simple love story can be very politic," explained Ugoran Prasad.
The front man was responsible for writing all the lyrics on the album. The main idea for the story was also credited to him.
From start to finish, the epic had Joni and Susi as the main subjects. But, Ugo added some other ingredients of life to carry the story along.
For example, he described the 15 seconds of fame thing in a song called "Akhirnya Masup Tipi" (Finally, on TV). The lyrics show us all about the influence of TV in general on people's lives in Indonesia.
The same theme was used in their first single "Mars Penyembah Berhala" (The Idolatry of Mars). Dreams that were shown on TV 24/7 somehow affected the way people thought about life. Ugo captured it perfectly and then wrapped it into his tale of Joni and Susi.
There's another song on the epic album called "Distopia" (Dystopia). It's a simple love song, but the band describes it in very complex way.
"Right from the start, we wanted this song as a gateway to the ethnographic atmosphere of Balada Joni and Susi. The smell, the melody, even the surroundings help us to interpret the love story. This is just like Indonesia; frantic but in order. It's routine but hysterical," Ugo said.
On the other hand, the story wouldn't make it as a whole finished product without the music. His comrades completed the tale.
"The musical idea was translated from the story written by Ugo. Especially the social background, the shelter, the streets, the supermarket, the guesthouses, the alleys, TV and the crowds.
That's the main idea behind the sound we produce. It includes pop music, dangdut, or even sounds of noise. All of them give the basic rhythm to this story," said Yennu Ariendra, guitar and synthesizer player of the band.
The other members of Melancholic Bitch beside Ugo and Yennu are Josef Herman Susilo on guitar, Teguh Hari on bass, and Septian Dwi Rima on drums. But for Balada Joni and Susi, they were helped by Richardus Ardita on bass and Wiryo Pierna Haris on guitar.
This musical machine produced breathtaking material. Each song has its own personification in terms of selecting its own melody.
To simplify, if you hear it superficially, it may sound like an ordinary orchestration of songs. But if you listen to it carefully, you'll find small interesting particles spread throughout its entire body.
They picked perfect sound samples and then mixed them perfectly with traditional musical instruments.
And, as Yennu said, it helped them create an ideal interpretation of the whole Joni and Susi story from a musical perspective.
The band was started in 1999. Although they've been working together for the last 10 years, Melancholic Bitch has only three records - one EP and two full-length - in their catalogue.
Their debut was the Melancho-lic Bitch Live at Ndalem Joyokusuman EP back in 2003, followed by Anamnesis in 2005.
Back to the concert, Balada Joni dan Susi's 12 songs were completed in less than 40 minutes and the band had not prepared an encore.
The audience was shocked; they did not expect the set to be such a short one.
Some of them shouted, "We want more. We want more." But the band remained silent. The pop concert in the artsy venue had to finish.
Definitely, the night ended too soon.

 

Minggu, 06 Desember 2009

Dari Suara Merdeka

Balada Joni dan Susi

Album yang Bercerita

SEBUAH perjalanan hidup sepasang kekasih, dipresentasikan ke dalam musik. Kisah-kisah yang dialami, seolah ingin dinarasikan dengan apik dalam balutan lirik yang beraroma sastrawi, diselimuti dengan musik yang bernuansa psikodelik.

Terinspirasi dari kehidupan pinggiran kota di pesisir utara Jawa, Melancholic Bitch, band asal Yogyakarta, menyusupkan nuansa musik pantura/dangdut koplo, etnik, dan elektronik, ke dalam album terbarunya, Balada Joni dan Susi.
Berbeda dengan album pertama mereka sebelumnya, Anamnesis, Melancholic Bitch (Melbi) menawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan album sebelumnya. Dengan tidak meninggalkan genre modern rock yang menjadi pondasi musik mereka. Melbi menambahkan aroma-aroma lain ke dalam album ini, karena keduabelas lagu yang ada di dalamnya, memuat kisah perjalanan sepasang kekasih ini. Ini merupakan sebuah konsep baru dalam musik. Mereka ingin menghadirkan konsep bernarasi, atau bercerita melalui album ini, seperti membaca sastra dalam bentuk musik.

Yang diangkat ke dalam Balada Joni dan Susi adalah kisah kehidupan sehari-hari. Band yang sudah berusia 10 tahun ini, ingin menyuguhkan konsep realis ke dalam albumnya. Sebuah album yang bisa bercerita, seperti membaca cerpen. Maka hadirlah kisah yang direpresentasikan lewat sepasang kekasih. Tentang pengalaman dan kehidupan mereka ketika berjalan-jalan di daerah pinggiran hingga masuklah unsur musik ala disko/ dangdut pantura sebagai pemanis ke dalam lagu mereka, ”Distopia”, yang berduet dengan Silir, seorang biduanita tradisional (sinden).  

Melbi yang beranggotakan Yennu Ariendra (gitar, synth, laptop), Ugoran Prasad (vokal, penulis lirik), Teguh Hari Prasetya (studio works, 2007), Yossy Herman Susilo (electric-acoustic guitar, mix-engineer, vokal), dan Septidan Dwirima (drum, laptop), turut menggandeng beberapa musisi dalam album ini. Seperti Pierna Haris, Richardus Ardita, Andy Xeno Aji, dan Silir, pada lagu ”Distopia”. Seakan ingin memiliki nada-nada yang memorable, musikalitas pada seluruh lagu di album ini, banyak terpengaruh dari lagu-lagu Indonesia lawas, terutama pada lagu ”Selamat Tidur Susi”.

Kedekatan Melbi dengan para seniman di padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo Yogyakarta milik Djaduk Ferianto, membuat mereka mengadakan peluncuran albumnya di padepokan tersebut atas tawaran si pemilik, setelah sebelumnya mereka melakukan rekaman album di studio Kua Etnika. Ingin membuat suasana panggung selayaknya pementasan teater, pada acara launching yang berlangsung pada Oktober kemarin,

***

PERSONEL Melbi juga berkolaborasi dengan beberapa musikus dan seniman, seperti Jamaludin Latief (Teater Garasi), Theo Christanto (Teater Garasi), Frau, Army (Crossbottom), dan Oky Gembuz (Mock Me Not) untuk membuat suasana panggung menjadi lebih teatrikal. ”Tapi ini masih berupa pre-launching pertunjukan teater musik yang kita ingini,” ujar Yennu, ”Kita berencana menggelar pertunjukan teater musik secara utuh tentang Balada Joni dan Susi. Mungkin baru bisa terealisasi bulan Maret tahun depan,” katanya. Mereka merasa, pertunjukan semacam ini, masih sulit diterima masyarakat. Karena itu, mereka memperkenalkannya secara bertahap.

Setelah sepuluh tahun berkarya, lewat album ke-duanya ini, mereka ingin mengangkat musik Indonesia pinggiran, sekaligus mereka ingin merangkul pasar yang lebih luas, terlepas dari ketidaktahuan -atau ketidakpedulian- dalam membaca tren pasar. Menurut Yennu, secara keseluruhan, album ini jauh lebih bisa diterima dan dicerna oleh para fans mereka. Akan tetapi, tetap pasar yang (masih) sedkit segmented. Karena tidak semua orang bisa langsung mencerna musik mereka. Karena dari awal mereka berdiri, yang mereka kedepankan adalah idealisme dalam bermusik, sehingga tidak sekadar berpikir tentang laku (di pasaran), tapi bagaimana membuat musik yang jauh lebih berkualitas.

Mengenai lirik yang sengaja dibikin bertutur secara narasi, Yennu mengaku, supaya orang-orang bisa memahami jalan ceritanya. Dan bahkan pada saat peluncuran album kemarin, banyak fans yang antusias dengan ber-sing-along, malah beberapa diantaranya sampai membawa print teks lagu Melbi.

Untuk semakin mendekatkan hubungan dengan para fans-nya, dalam setiap penggarapan lagu, mereka memberlakukan semacam open source; mereka sharing lewat dunia maya. Dan ini berjalan sangat efektif, melihat banyak sekali yang antusias, kemudian ikut terlibat (dalam penggarapannya). Dan dari segi distribusi, Melbi yang berada di bawah label Dialectic Recording, bekerjasama dengan Demajors untuk menyebarkan Balada Joni dan Susi secara nasional. Sudah saatnya orang-orang se-Indonesia tau bahwa ada band yang -bagus- seperti ini. Yang menyampaikan kritikan tentang kehidupan sosial lewat lirik yang sastrawi, lewat kisah Joni dan Susi. (73)

Rabu, 02 Desember 2009

Dari Rock Is Not Dead

02/12/09 Mel-Bi Lauch
Dec 02, 2009 at 11:56 AM
Melancholic Bitch Launching : Balada Joni dan Susi
Melancholic Bitch Launching : Balada Joni dan Susi
@ Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja. 19 November 2009


Setelah cukup lama tidak merilis dalam bentuk fisik, Melancholic Bitch  akhirnya merilis sebuah LP berisi 12 track berjudul “Balada Joni dan Susi”. Album ke-dua dari Melancholic Bitch yang dirilis oleh Dialectic Recordings ini berawal dari sebuah narasi tentang Joni dan Susi, yang sarat akan muatan isu-isu sosial di tengah masyarakat.
Materi yang kuat ini pun nampaknya didukung pula dengan konsep launching yang patut diacungi jempol dengan melibatkan beberapa pihak seperti Kua Etnika, Jamaludin Latief dan Theo Christanto dari Teater Garasi, Frau, Army (Crossbottom), Oky “Gembuz” (Mock Me Not), dan Silir.

Tepat sebelum acara dibuka, Djaduk Ferianto serta Melancholic Bitch melakukan sebuah percakapa di tengah keriuhan penonton yan terus memadati venue. Dengan gaya khas Jogja, nampaknya percapan tersebut berhasil memperkenalkan (kembali) Melancholic Bitch. Setelah percakapan usai, dua aktor Teater Garasi, Jamaludin Latief dan Theo Christanto menghibur para penonton dengan memerankan sosok peminta sumbangan lengkap dengan lantunan lagu “Tentang Cinta” yang terdengar sangat pecah namun menghibur. Frau, membuka malam itu dengan lagu miliknya, “Mesin Penenun Hujan”, dan dilanjutkan dengan “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa”, yang berduet dengan Ugoran Prasad, vokalis Melancholic Bitch. Satu per satu personil Melancolic Bitch, Yennu Ariendra (gitar dan synth), Yosef Herman Susilo (gitar), Teguh Hari (bass), dan Septian Dwirima (drum) memasuki panging yan menghadap tiga sisi tersebut dan memperkenalkan para penonton yang hadir malam itu dengan sosok Joni dan Susi.

Tepat setelah melantunkan “7 Hari Menuju Semesta”, Silir yang terlibat dalam album Balada Joni dan Susi tersebut tampil meramaikan malam itu bersama Melancholic Bitch dalam “Distopia”. Dilanjutkan dengan “Mars Penyembah Berhala” yang juga juga diramaikan oleh duo Jamaludin Latief-Theo Christanto. Army dari Crossbottom merubah formasi Melancholic Bitch dengan mengisi dan menggantikan Ugo dalam “Nasihat Yang Baik”. Lagu Dinding Propaganda”, “Apel Adam”, “Akhirnya Masup Tipi”, dan “Menara” secara berututan dimainkan tanpa henti dan kemudian ditutup dengan “Noktah”, yang melibatkan Oky Gembuz dari Mock Me Not dan Kua Etnika. Keriuhan kolaborasi dalam lagu “Noktah” nampaknya menjadi klimaks yang cukup mengesankan dari akhir perjalanan narasi Balada Joni dan Susi malam tersebut.

Meskipun telah berakhir, nampaknya para penonton masih enggan untuk meninggalkan acara yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut. Lapak yang menjual berbagai merchandise pun langsung diserbu oleh para pengunjung yang ingin terus mengenang maupun menikmati Balada Joni dan Susi. Selamat menyelami dunia Joni dan Susi. ( dito/RIND )