Kamis, 26 November 2009

Dari Big Band Shot [dot] com

Melancholic Bitch – Balada Joni dan Susi

Author: arian | Filed under: reviews
Melancholic BitchSetelah beberapa tahun dengan kabar akan mengeluarkan album, akhirnya Melancholic Bitch memnuhi janjinya itu dengan album terbaru mereka bertajuk Balada Joni dan Susi yang baru saja liris pada bulan ini. Sebelumnya mereka telah mengeluarkan album ‘Anamnesis’ yang hanya beredar dalam bentuk kaset dan terbatas. Melbi, sapaan akrab band ini, terbentuk sepuluh tahun seolah olah ingin menjadi lebih ingin didengar daripada tahu-tahun sebelumnya. Pada Juni 2009, mereka sempat mebagikan single promosi mereka yakni Mars Penyembah Berhala dan Distopia.
Melancholic Bitch – Mars Penyembah Berhala download
Lagu-lagu di dalam album tak terdengar kampungan dan akan menyentrik diri dengan sedikit suara thunder dari beberapa lagu Balada Joni dan Susi. Tak tanggung-tanggung 12 tracks siap memanjakan kuping dengan tema tipikal yang menghidupkan suasana. Mereka menggaet Silir Pujiwati (Sinten Remen) yang berbeda khas dari Melbi dalam lagu Distopia, sedangkan Purwanto & Okky Gembus (Down For Life) menjadi teman bermain didalam lagu Noktah Pada Kerumuna. Balada Joni dan Susi ini dibawah label Dialectic Recording yang berasal dari Jogjakarta.

Senin, 23 November 2009

Dari Kedaulatan Rakyat

BALADA JONI DAN SUSI

Epos Sederhana Melancholic Bitch

23/11/2009 10:09:32

MUSIK lokal tidak pernah mati. Bisa jadi, belakangan ini sangat membosankan secara keseluruhan. Tatanannya berantakan dan mengubah wajah semena-mena. Tapi, jauh di lubuk hati paling dalam, masih ada ruang kosong untuk digubah menjadi sebuah taman bermain.
Melancholic Bitch (Melbi) kembali hadir dalam epos sederhana Balada Joni dan Susi (BJS). Album ini diluncurkan di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Kamis (19/11). Personel Melbi, Ugoran Prasad (vokal), Yosef Herman Susilo (gitar), Yennu Ariendra (gitar, synth), Teguh Hari (bass) dan Septian Dwirima (drum). Khusus untuk proyek ini, Melbi juga mengundang Richardus Ardita (bass) dan Wiryo Pierna Haris (gitar).
"Album ini bukan inspirasi mendadak, tapi datang dari nonton berita kriminal yang tidak mutu. Isi beritanya tentang orang yang dipukuli hingga mati dan seorang perempuan yang ditemukan 3 hari setelah meninggal di losmen. Losmen itu dipenuhi banyak kertas tulisan tangan, seperti diary sebelum mati. Pemilihan nama Joni dan Susi sendiri karena enak didengar. Sedangkan narasi dikembangkan untuk menangkap titik dramatik," jelas Ugoran sang penulis lirik.
Kisah ini, lanjutnya, tentang sepasang kekasih yang bersitegang dengan dunia, negara dan masyarakatnya demi mewujudkan mimpi mereka. Hingga muncul berbagai masalah. Dalam lagu ini juga digambarkan mencuri adalah sikap untuk terlihat lebih berdaya. Sedangkan menulis diary sebagai bentuk saksi.
"Nuansa musiknya sederhana, dinamika yang bising dalam menghadapi realita sehari-hari. Hadir dengan suara yang lembut, seperti terompet Madukismo dari kejauhan. Bertemu dengan logika kerja yang berbeda, sehingga membentuk metode pendekatan dalam menghasilkan musik yang eklektif," tambahnya.
BJS tidak lagi milik Melbi, tapi pendengar dapat merespons teks lagu ini untuk album mereka sendiri. (*-3)-c

Jumat, 20 November 2009

Dari Rolling Stones

Jumat, 20 November 2009 17:01 WIB    
Oleh : Soleh Solihun

Foto : Soleh Solihun
Bookmark and Share
Setelah sepuluh tahun usianya, mereka berniat untuk lebih memperbaiki manajemen.
Yennu Ariendra [electric guitar, synth, laptop], dari kelompok musik Melancholic Bitch atau Melbi hanya bisa cengengesan ketika seniman Djaduk Ferianto bertanya padanya soal album terbaru mereka, Balada Joni dan Susi di Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo, Yogyakarta, Kamis [19/10] pukul delapan malam. Hanya Ugoran Prasad [vokal, penulis lirik] yang lebih artikulatif ketika ditanya Djaduk soal konsep album itu. “Kisah Joni dan Susi biarlah jadi milik semuanya. Biar semua punya interpretasi masing-masing soal kisah itu,” kata Ugo.
Malam itu, Melbi mengadakan peluncuran album Balada Joni dan Susi. Lokasi itu dipilih setelah Djaduk menawarkan padepokannya kepada Melbi. Mereka merekam album itu di studio KUA ETNIKA. Yossy, juga sound engineer di sana. Akhirnya, Kongsi Jahat Syndicate, kolektif dari Jogja yang reputasinya dalam menggelar banyak event di Jogja sudah kesohor, menerima tawaran Djaduk dan menggelar peluncuran album Melbi di sana.
Selain Ugo dan Yennu, menurut catatan di sampul CD-nya, Melbi adalah: Teguh Hari Prasetya [studio works, 2007], Yossy Herman Susilo [electric—acoustic guitar, mix-engineer, voice], Septidan Dwirima [drum, laptop], dengan para kolaborator: Pierna Haris [guitar on stage performance], Richardus Ardita [bass, voice], dan Andy Xeno Aji [graphic, drawing]. Dan malam itu, Melbi mengajak beberapa bintang tamu untuk mengisi peluncuran album: Jamaludin Latief [Teater Garasi], Theo Christanto [Teater Garasi], Frau, Army [Crossbottom], Oky Gembuz [Mock Me Not], dan Silir seorang mantan penyanyi dangdut yang diajak bergabung oleh padepokan itu.
“Bagaimana kalian memandang manajemen band?” tanya Djaduk.
“Memang, harus diakui, selama sepuluh tahun ini, kami belum memperhatikan dengan baik soal manajemen, itu sebabnya sekarang akan kami perbaiki. Juga supaya distribusi album kami bisa tersalurkan dengan baik,” kata Ugo.
Untuk band yang sudah berumur sepuluh tahun dan pernah merilis album sebelumnya, nama Melbi memang belum sepopuler band lain dari Jogja. Album mereka sebelumnya, Anamnesis, hanya beredar terbatas dalam bentuk kaset. Di album Balada Joni dan Susi, Melbi sepertinya ingin memperbaiki itu. Mereka bekerjasama dengan Demajors demi distribusi yang lebih baik.
Peluncuran album dibuka dengan penampilan dua seniman dari Teater Garasi yang memakai baju koko dan sarung. Seorang membawa peralatan karaoke portable tipikal pengamen dan menyanyikan lagu lama milik Melbi. Seorang lagi, membawa kotak amal, tipikal peminta sumbangan di jalan-jalan. Setelah aksi “pengumpulan dana” itu, Frau jadi penampil pertama. Frau adalah proyek solo dari Lani, kibordis yang juga tergabung di band surf rock/rockabilly dari Jogja, Southern Beach Terror.
Konser hanya berjalan kurang lebih dua jam. Melbi hanya membawakan lagu-lagu dari album Balada Joni dan Susi. Bahkan permintaan encore pun tak dikabulkan. Ugo merasa, tak ada lagu lama mereka yang bisa cocok dengan lagu-lagu dari album terbaru mereka. Lagipula, Balada Joni dan Susi, adalah album konsep yang agaknya akan kacau atmosfernya jika dimasukkan lagu lain. Ugo, mengatakan ada dua album yang jadi inspirasi besar dalam pembuatan album itu: The Wall milik Pink Floyd dan Badai Pasti Berlalu.
Konser ditutup dengan sesi foto dan permintaan tanda tangan. Yossy malu-malu membubuhi tanda tangan di album yang disodorkannya.
“Masih belum terbiasa begini-begini,” katanya.
“Harus mulai dibiasain tuh!” kata seorang teman yang ada di dekatnya.

Dari MTV Trax


 



20/11/2009 | foto oleh Wahyu Nugroho
Live Report
Pentas kontemporer ala Melancholic Bitch


JOGJA memang jagonya kalau soal suguhan pertunjukan musik yang aneh. Setelah mereka mempertemukan 100 band lintas genre, lintas generasi dalam Locstock Fest [13-15 November] lalu, kali ini trax disuguhkan dengan sebuah tontonan unik yang serius, sebuah paket seni pertunjukan konseptual yang mengonjugasikan antara seni musik, teater, dan sastra yang dibuat dalam rangka peluncuran album terbaru Melancholic Bitch, bertajuk Balada Joni dan Susi.
   Jika dilihat lokasinya, sungguh diluar dugaan akan sebuah gedung pertunjukan megah ala Taman Ismail Marzuki atau Goethe Insistut. Trax diajak menempuh berkilo-kilo jalan jauh ke selatan, tepatnya tidak lain di Pendopo Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudihardjo, Desa Kembaran, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sebuah kompleks kesenian yang didalamnya terdiri dari elemen-elemen pendukung berkesenian, dari studio rekaman, ruang pentas, kantor, dsb. Pantas lah jika Dialectic Recordings [label mereka], Brains, Kua Etnika, dan Kongsi Jahat Syndicate mengambil lokasi ini. Tidak lain demi menciptakan sebuah pertunjukkan yang tidak lazim.



djaduk

Dan memang Kamis [19/11] malam itu, penonton benar-benar dibawa kepada aura acara yang tak lazim jika dibandingkan dengan pentas band-band besar nasional. Dua tribun kecil kanan kiri mengelilingi sebuah ruang kecil tempat performer. Di tengah ruangan tersebut ada kotak berbahan teralis dengan neon yang siap menyala lengkap dengan mik di dekatnya, singgasana dari sang vokalis. Sementara di kanan-kiri berhias undakan kecil, kavling dari anggota Melancholic Bicth.
    Djaduk Ferianto, anak bungsu dari Bagong Kussudiardjo, empunya Padepokan ini bertindak sebagai tuan rumah yang menyambut penonton yang datang ibarat tamu. Ia memperkenalkan masing-masing personil kolektif Melancholic Bitch, dari sang otak Ugoran Prasad [vokal], Teguh Hari Prasetya [studio works, 2007], Yossy Herman Susilo [electric—acoustic guitar, mix-engineer, voice], Septidan Dwirima [drum, laptop], dengan para kolaborator: Pierna Haris [guitar on stage performance], Richardus Ardita [bass, voice], dan Andy Xeno Aji [graphic, drawing]. Sesi tanya jawab menjadi intro sekaligus presentasi dari Djaduk atas produk dari seniman-seniman yang memang merekam seluruh karyanya di studio Kua Etnika yang terletak di kompleks ini. Sesudah sesi tanya jawab, singer songwriter perempuan bersuara lirih, Frau, nampak di belakang piano dan membuka acara ini. 



frau 

   Terlahir dengan nama  Leilani Hermiasih, namun Lani [nama pendeknya] lebih senang dipanggil Frau. Pianis berparas ayu yang mengawali karir bermusiknya sebagai kibordis band surf-punk-rockSouthern Beach Terror ini punya daya magis tersendiri malam itu. Penonton diajak mengembara dalam khayal ketika tuts jemarinya seakan bergumul mesra dengan vokalnya yang lirih ketika “Mesin Penenun Hujan” dan repertoir lainnya dimainkan.
   Usai Frau, Melancholic memulai pentasnya, satu persatu personil mulai mengisi ruang di tengah. Sang vokalis Ugo mengisi kotak teralis neon tadi sambil mengumandangkan puluhan kata puisi. Lampu perlahan dinyalakan, di belakang dram layar berhias beragam visual, musik merintih, tanda pentas dimulai. Satu persatu repertoir dari album baru ini dibawakan. Tak lupa, nama Joni dan Susi selalu disebut, sebagai benang merah yang menyatukan tiap komposisi, urat nadi dari acara ini. 



ugo 

  Waktu berpacu, beberapa kejutan diletupkan oleh Ugo & co. Seperti saat nomor “Distopia” dilantukan. Berduetnya Ugo dengan Silir, menampilkan sebuah sesi kolaborasi yang romantis. Bak tersihir, Trax punmelupakan kamera sesaat dan mencoba merespon mik yang disodorkan ketika lirik “Bersama-sama kita, bersama-sama slamanya” dilantunkan. 


Ugo dan Silir   


Di pentas itu juga, demi menyempurnakan karya yang sudah mereka buat, Melancholic Bitch mengundang serta para musisi kolabolator yang terlibat, dimulai Jamaludin Latief [Teater Garasi], Theo Christanto [Teater Garasi] yang berorasi di lagu “Mars Penyembah Berhala” Army [Crossbottom] yang beryanyi tunggal di “Nasihat yang baik”  Oky Gembuz [gitaris Mock Me Not] di “Noktah Pada Kerumunan”. Nggak hanya itu, tetabuhan rebana dari Kua Etnika pun digamitnya memenuhi ruangan pentas, menyibakkan sebuah tontonan kolaboratif yang maksimal. 


kolaborasi dengan penabuh rebana

   Lebih dari sekedar launching album, pentas malam itu adalah sebuah bukti nyata percumbuan yang hangat antara seni musik modern dengan banyak elemen seni yang menghasilkan sebuah karya kontemporer yang mumpuni.| wahyu
      

Selasa, 17 November 2009

Dari Radar Jogja

Melbi Balada Joni dan Susi

[Selasa, 17 November 2009]

“Berdua semesta kita, bersama kereta kita. Kereta mengantar kita nuju semesta berdua. Bersama-sama kita, bersama selama-lamanya, bersama-sama selamanya.” Lagu ini sederhana, cuma tentang make a wish and promises, jelas Ugo. Penjelasan singkat yang bisa merancang sebuah piritan informasi yang begitu menggoda guna membuat kalian tetap punya hasrat untuk keseluruhan Balada Joni dan Susi. Distophia bisa diunduh di http://www.myspace.com/melancholibitch


Melbi Balada Joni dan Susi

PERTANYAAN pertama, apa jadinya jika sekelompok pemikiran yang terus menerus punya keresahan berkolaborasi, lalu berkarya bersama atas nama Melancholic Bitch? Mediumnya musik, kebanyakan berbahasa ibu, bunyinya variatif. Bisa dibilang ini musik pop yang cerdas bin trengginas.
Trus, apa yang ngebuat musik itu menarik untuk kalian? Sekadar jadi teman goyang, bersenandung, ato pura-pura keliat hebat sebagai prototip musisi yang sedang memainkan alat musik bohongannya. Atau malah punya fungsi lebih dalam dari itu, sebagai alat untuk bercerita.
Jika kalian belum kenalan ama Melancholic Bitch, maka fungsi musik untuk bercerita (ato membagi cerita) adalah alasan paling sahih untuk digunakan bagi sebuah perkenalan awal. Setelah beberapa tahun absen ngasih kabar, mereka balik dengan satu cerita, Balada Joni dan Susi.
Bagi kalian yang ngerasa asing, jangan takut. Melbi –panggilan erat nan akrab mereka— udah ngebagi dua single promo album ini. Pertama, Mars Penyembah Berhala (akhir 2009). Kedua, Distopia, dirilis awal September 2009.
Dua lagu ini mengawali pertempuran panjang yang akan dialami Balada Joni dan Susi ketika dilepas sebagai suatu kesatuan utuh beberapa bulan mendatang. Sekarang, album ini masih berada di etape terakhir pengerjaan. Distopia sendiri dirasa punya kapabilitas yang cukup mumpuni untuk semakin melanjutkan gambaran awal yang digambar oleh Melbi tentang apa itu Balada Joni dan Susi.
“Dari awal, pas kami bikin lagu ini, pengennya lagu ini bisa jadi jalan masuk buat atmosfir etnografisnya si Balada Joni dan Susi, sebutlah begitu. Suasananya, bau udaranya, bunyi lingkungannya. Kota-kota satelit yang mau kosmopolit tapi ngos-ngosan gitu deh. Secara umum, suasananya kan scherzo banget. Ini seperti Indonesia gitu; panik tapi teratur. Rutin tapi histeris,” tutur Ugoran Prasad, penulis lirik utama Melbi.
Selain Ugo, Melbi juga diperkuat Yosef Herman Susilo (gitar), Yennu Ariendra (gitar, synth), Teguh Hari (bass) dan Septian Dwirima (drum). Khusus untuk proyek Balada ini mereka mengundang Richardus Ardita (bass) dan Wiryo Pierna Haris (gitar).
Keseluruhan lagu ini berhasil menyempurnakan rancangan perkenalan orang banyak dengan Balada Joni dan Susi. Di lagu ini, seperti pengakuan Ugo, mereka terdengar liar dalam perkara bebunyian. Seolah-olah, banyak teriakan yang berlomba keluar dan menonjolkan diri.
“Scherzo di bagian tengah ke akhirnya si Distopia emang buat kami penting banget. Pokoknya semua orang cerewet banget di bagian ini. Didit tuh, dia main bas bagian tengah ke belakang berasa seolah-olah sedang berhadapan yang bakal mencaci maki dia,” tambah Ugo lagi.
Scherzo yang dimaksud adalah patahan-patahan musik dalam cara-cara tertentu (bisa tidak beraturan) yang kemudian membentuk sebuah orkestrasi musik yang lebih besar skalanya.
Satu yang menarik, ada sebuah elemen menarik di sini. Melbi ngajak Silir Pujiwati dari kelompok Sinten Remen yang musiknya berbanding terbalik dengan Melbi. “Silir itu adalah dari pikiran kami yang sudah lama ingin ngajak kolaborasi teman-teman di KUA. Sebenarnya di amnesis (album penuh pertama Melbi) sudah dicoba juga. Tapi belum berhasil. Dari dulu Silir sudah bikin kesengsem suaranya. Jadi begitu ada lagu ini dan ada kebutuhan duet, langsung ditembung,” papar Ugo tentang niat lama Melbi berkolaborasi dengan Silir Pujiwati.
Dari segi lirik, Ugo –yang nulis lirik semua lagu di Balada Joni dan Susi— ambil tema tipikal. Dan tidak perlu banyak kata yang harus dirangkai menjadi satu kesatuan. Tiga kalimat sudah cukup mewakili.