Review | LIGA MUSIK NASIONAL IV: MENUJU SEMESTA

Tadinya saya pikir Benji ngga jadi nulis review ini. Ternyata jadi dan begitu dibaca isinya membuat bungah. Untuk  kali ini foto meminjam dari dokumentasi Liga Musik Nasional. Mari dibaca.
Salam,
Boit
p.s. soal urutan Limunas, ini memang limunas ke-4 karena Rajasinga Launching itu special show jadi hitungannya baru 4.

Liga Musik Nasional IV: Menuju Semesta
Lebih dari tujuh hari pasca Liga Musik Nasional Ke-4, yang hanya mempertunjukkan dua penampil saja diselenggarakan. Saya baru saja memilih untuk mengisahkan ulang, hanya agar cukup terbebas dari euforia yang melenakan. Masih sangat segar dalam ingatan ketika intro “Joni dua satu dan Susi sembilan belas..” berkumandang sembari Ugo sebagai narator (dia terlihat tua) dan Yenu (keyboardis/gitaris) memasuki panggung. Saya terkesima.

Kembali ke sekitar setengah jam sebelumnya, saya bersama beberapa kawan tiba di venue bernama IFI, yang dari wujudnya semakin mempertegas perbedaan dengan tiga seri Limunas sebelumnya. Duo dari Teman Sebangku memulai acara dengan vokalis yang bernyanyi dengan bergairah plus bonus mengkover satu lagu dari Melancholic Bitch, Debu Hologram, dengan apik. Diselingi panduan oleh MC dari Bottlesmoker, tidak lama kemudian, gambaran yang saya tulis di paragraf pertama terjadi.

Saya terkesima, sekitar empat tahun semenjak pertama mendengarkan, baru kali ini menyaksikan wujud mereka, Melancholic Bitch. Waktu yang cukup panjang untuk ukuran band lokal, dan favorit. Di antara Intro dan lagu pertama, sang narator hanya membolak-balikkan halaman sebuah buku, belum berbicara apa-apa, seantero ruangan hening, mulai merasakan kehadiran mereka. Departemental Deities And Other Verses yang bertempo lambat dihadirkan, dan dipertengahan lagu, keseluruh personil mulai mengisi posisi masing-masing. Melbi telah datang.
Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco langsung dipersembahkan dan erangan Ugo pada bagian ‘Matahari menggeliat..’ diiringi kualitas sound dan sorotan lampu-lampu yang mengawali kemegahan Menuju Semesta. Sekaligus mengawali merindingnya bulu tengkuk saya untuk kembali berulang di beberapa waktu selama dua jam berikutnya. “Joni dan Susi punya mimpi, mimpi jalan-jalan..” tukas sang narator. Kisah getir Joni dan Susi dimulai di Bulan Madu yang melaju kencang dan membuat seorang kawan mengakui matanya berkaca-kaca seketika. Diselingi On Genealogy Of Melancholia, untuk giliran mata saya yang berkaca-kaca, akibat terintimidasi untuk mengenang hal-hal yang ditimbulkan oleh analogi, “Jika aku Israel, kau Palestina’ di Tujuh Hari Menuju Semesta yang pada saat bersamaan menjadi salah satu titik tertinggi konser.
Kisah berlanjut dan memelan, “kita klise, tapi benar, ini tentang cinta”, dilanjutkan dengan The Street dan Distopia. Saya cukup penasaran dengan lagu ini usai membaca review-review terdahulu mereka tentang keseruan ketika lagu ini dibawakan bersama pesinden Silir Pujiwati (yang malam itu tidak ikut serta). Alih-alih, Melbi malah mencari volunteer dari penonton demi berduet di lagu ini. Saya sempat berpikir “wah, sembarangan banget” untuk segera tidak ambil pusing usai melihat Ugo menunjuk seorang cewek berkaos “Susi”, yang mana saya malahan tidak mendengar jelas suaranya entah karena dia begitu gugupnya atau sound yang tidak keluar sempurna, karena Ugo terlihat berkali-kali mengangkat tangan ke arah mixer. Yang jelas Distopia, seperti halnya lagu-lagu mereka yang lain, menjadi jauh lebih berenergi (pecah!) ketika dibawakan di panggung yang tepat. Apalagi pada bagian ‘disko’ nya.
“Bahkan janji tak bisa hidup selamanya, mereka janji membawa kisah mereka sampai mati”, Requiem, dilanjutkan ke “seandainya segala impian bisa diwujudkan, seandainya segala debu hologram bisa diwujudkan”, sebelum kemudian lagu mereka paling terkenal (ini tentunya asumsi saya saja), dihantarkan ke depan hadirin Limunas. Yep, Mars Penyembah Berhala, yang melegenda itu. Saya, sebagaimana mayoritas penonton, ikut berteriak melafalkan deretan lirik lugas nan ganas, sembari sang narator menuturkan orasinya dengan berapi-api, dan mengacungkan tinju ketika ia menyelesaikan kalimat “telah pepat dalam 14 inci!”
Meski tampak di barisan depan ada beberapa penonton yang terlihat khidmat berheadbang-ria, sayangnya hasrat saya untuk memprakarsai moshpit atau sekedar bodysurfing sepertinya tetap tidak mungkin terlaksana. Maka, jejingkrakkan seperti menyaksikan pertunjukan rock sudah, bergoyang pelan dan bersing-along di lagu-lagu yang ngepop sudah, apa lagi? Melbi menutup sesi pertama Menuju Semesta dengan mengajak seluruh penonton duduk, untuk kemudian Ugo duduk di tepi panggung (sambil beberapa kali kesetrum mikrofon), melantunkan Nasihat Yang Baik “ssst.. Susi sedang tidur” dan menghilang sekitar 10 menit di belakang panggung.
Selama interval 10 menit, ditayangkanlah sebuah film pendek bertemakan art kontemporer (sepertinya, sih) karya Riana Rizki dan trailer Di Balik Frekuensi. Lalu, Melbi kembali ke panggung dengan kostum rapih mereka telah berganti sekedar kaos dan jeans. Tembang-tembang dari Balada Joni dan Susi dilanjutkan, diselingi Off Her Love Letter yang menghadirkan Frau sebagai pemanis formasi sekaligus lawan sepadan bagi suara berat sang narator. Saya yang sebelumnya tidak berminat untuk mereka-reka di bagian mana Risa Saraswati akan muncul, lumayan dibuat kaget, ketika ternyata bukan Frau saja yang menemani Ugo dalam mengisahkan Joni dan Susi adalah Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa. Tidak cukup sampai di situ, saya juga dikejutkan dengan adanya salah satu lagu dari EP mereka terdahulu, Kabar Dari Tepi Atap Pencakar Langit, dengan versi yang jauh lebih menggelegar.

Beranjak sebentar dari kisah saya tentang kisah konser tentang kisah sepasang kekasih tersebut, sejak sesi pertama, saya sudah menyadari Menuju Semesta sebagai salah satu konser terbaik (lokal maupun internasional) yang pernah saya saksikan langsung. Bagaimana saya masih mengingat detil-detilnya (karena lumrahnya euforia malah mengikis kenangan saya), adalah karena saya sukses memperoleh rangkaian tiga helai kertas bernama Performance Breakdown, yang berisi setlist dan skrip pertunjukan ini (yeah). Lalu terlintas begitu saja, usai melihat penampilan mereka pada tingkatan seperti ini (yang dieksekusi maksimal), seketika saya merasa tidak ingin menyaksikan mereka di gigs yang biasa-biasa saja.

Kembali ke penghujung Mei, di dalam gedung IFI, pasca 18 lagu yang dibawakan tanpa ampun, Melbi tampak sudah keletihan, namun mereka harus tetap merampungkan Kisah Joni & Susi dengan tiga lagu lagi yang cukup menguras tenaga, Kita adalah Batu, Noktah Pada Kerumunan, dan diakhiri dengan Menara, dimana Joni mengajak Susi pergi, dan membuka lahan kebun apel seperti Tuhan, yang pada penghujungnya dimainkan dengan atmosferik diwarnai dengan lampu-lampu strobo yang memancarkan kilauan-kilauan menyilaukan sekaligus mematri kisah memilukan sepasang kekasih dalam sebuah performa yang gemilang.
Mengutip kata-kata dari mereka, kalian menggores kami dalam-dalam.
(words Benjing)