Minggu, 21 Juli 2013

Dari Koran Kompas

Melancholic Bitch: Dongeng Kelaparan dari Pusat Perbelanjaan
Minggu, 21 Juli 2013 | 11:36 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Kisah Joni dan Susi yang mabuk cinta dipentaskan di Pacific Place, Jakarta, Sabtu (13/7/2013). Romansa itu terasa lebih getir karena lirik tentang kemiskinan yang memaksa orang untuk mencuri roti dinyanyikan di pusat belanja, tempat dijajakan Hermes dan Bvlgari.

Lakon pasangan Joni dan Susi adalah rekaan sekelompok musisi asal Yogyakarta, Melancholic Bitch (Melbi). Mereka menulis cerita itu menjadi 12 lagu dalam album Balada Joni dan Susi (BJS) yang diluncurkan pada tahun 2009.

"Ketika Joni 21 dan Susi 19/hidup sedang bergegas/di reruntuh ruang kelas..." adalah sapaan pembuka di album keluaran Dialectic Records itu. Larik itu adalah perkenalan pendengar dengan tokoh sentral. Cerita pun mengalir dalam lagu-lagu berikutnya, dimulai dari saling merayu, mimpi mengelilingi dunia, hingga kemiskinan yang mendorong Joni mencuri roti. Kisah kasih mereka berakhir tragis.

Romantika dua sejoli itu awalnya penuh warna, lalu beranjak gelap. Di lapis lebih bawah lagi, ada sentilan kepada media massa yang disebut "datang lebih cepat daripada ambulans". Bisa dibilang, album itu adalah album konsep yang seluruh lagu di dalamnya merupakan satu kesatuan dengan cerita yang sambung-sinambung.

Melbi membalut semua itu dalam langgam rock yang tak terlalu keras, dibumbui bebunyian sintetis dari komputer, keyboard, dan gitar yang digesek dengan busur biola. Berbekal itu, Melbi menyajikan lakon album itu dalam acara berjudul "Joni dan Susi Go To @america" di @america, pusat kebudayaan yang dikelola Kedutaan AS, di Pacific Place, Jakarta.

Di pusat belanja itu, tersapat gerai pakaian merek wahid, seperti Hermes, Bvlgari, dan Louis Vuitton. Orang bisa juga bersantap enak atau ngupi-ngupi. Melbi tampil sesaat setelah hujan deras dan angin kencang mendera Jakarta. Saat itu, mal besar itu terasa dingin dan lengang saja.

Ugoran Prasad (vokal), Yosef Herman Susilo (gitar), Richardus Ardita (bas), serta musisi pengganti Faiz Wong (drum), dan Pulung Fajar (gitar) naik panggung setelah Jacob Bills, Public Affairs Staff US Embassy, membuka pertunjukan.

Berurutan
Pertunjukan dibuka dengan "Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Francisco", yang dipetik dari album pertama mereka, Anamnesis (2004). Ya, lirik lagu itu memang berasal dari puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul sama. Baru pada lagu kedua, "Bulan Madu", dongeng Joni dan Susi bergulir.

Untuk menjaga jalinan cerita, Melbi memainkan lagu di album BJS secara berurutan. Ada prolog yang menjembatani setiap lagu. Naskah BJS diperkaya dengan sisipan lagu lain di luar album itu. Di antara tembang "7 Hari Mencari Semesta" dan "Distopia", Melbi menyisipkan lagu "Tentang Cinta" dan "The Street" dari album pertama, serta "Elderly Woman Behind The Counter in A Small Town" milik Pearl Jam. Walau diimbuhi, jalinan kisah itu tak lantas amburadul.

Ketegangan pada pertunjukan malam itu muncul ketika "Mars Penyembah Berhala" dilantunkan. Di bagian ujung lagu, Ugo berteriak dan bergerak liar ke sana-sini. "Saudara-saudara dalam iman, letakkanlah kedua tangan saudara ke layar kaca televisi. Pejamkanlah kedua mata Saudara, lihatlah satu titik cahaya di kejauhan. Cahaya itu, Saudara, adalah semesta yang pepat dalam empat belas inci."

Di bawah panggung, penonton menggemakan seruan bagian refrein lagu itu berulang-ulang. "Siapa yang membutuhkan imajinasi/jika kita sudah punya televisi. Mendengar dan menyaksikan itu, bulu kuduk pun meremang..."

Selepas lagu itu, tensi pertunjukan menurun. Mereka mengumpulkan kembali napas yang terengah. Nuansa mencekam justru makin terasa karena dongeng memasuki babak kegelapan saat Susi demam dalam pelarian mereka. "Mereka lapar namun miskin. Joni tak gila ketika didengarnya dinding berbisik/pelan berbisik/curilah roti."

Pertunjukan berlangsung selama hampir 90 menit yang menyajikan 17 lagu. "Menara" jadi lagu pamungkas. Ugo berpamitan dengan mengatakan, Melbi dan penonton akan bertemu lagi dalam waktu dekat, atau jauh.

Eksplorasi
Sejak album Balada Joni dan Susi diluncurkan, kelompok yang terbentuk dari komunitas Forum Musik Fisipol UGM itu disiplin menjaga keutuhan skenario Joni dan Susi. Urutan lagu di pentas sama dengan urutan di album. "Baru belakangan ini saja kami berani menyisipkan lagu dari album pertama. Apalagi, kami baru saja melepas Re-Anamnesis (kemasan ulang album pertama)," kata Yosef.

Pentas itu, dan karya musik mereka, adalah muara dari eksplorasi yang menjadi roh kelompok yang terbentuk pada tahun 1999. Ugo mengakui hal itu saat berbincang sebelum pentas di Bandung, Mei lalu. "Kami tidak puas dengan logika band yang mendudukkan orang dalam posisi yang itu-itu saja. Inginnya setiap personel Melbi seperti David Byrne yang mengeksplorasi bebunyian," kata Ugo.

Dari situlah komposisi lagu-lagu Melbi bertolak. Tembang "Distopia", misalnya, disebut Ugo adalah contoh hasil pendalaman bunyi dilakukan personel Melbi. Lagu itu menyisipkan irama genit yang umum terdengar dalam lagu-lagu dangdut ala pantai utara Jawa. "Kami mencari betul bagaimana sound pantura sebenarnya," kata penulis fiksi dan teater ini.

Penampilan di Jakarta malam itu bisa jadi adalah pentas terakhir sampai berbulan kemudian. Ugo harus kembali ke AS untuk melanjutkan studi. Gitaris Yennu Ariendra juga akan mengerjakan proyek musik di Jepang dan Australia. Sementara Yosef dan Didit kembali menekuni pekerjaan sebagai teknisi suara dan desainer website. (Herlambang Jaluardi)
Sumber :
Editor :
Ati Kamil

Selasa, 16 Juli 2013

Dari Kanaltigapuluh

Saturday Night with Melancholic Bitch At @atamerica

sam_0149

Live Music Perform  emang dibutuhkan buat kita pekerja kreatif yang mungkin cuma punya waktu di akhir pekan atau setelah pulang kerja, yakkk  gigs adalah salah satu hiburan buat saya.. sudah hampir beberapa bulan ini saya tidak melihat hiburan tersebut, selain bosan dengan yang “itu-itu saja” kadang cuaca tidak mendukung untuk datang.

Setelah penampilan SORE yang saya lihat di bulan juli ini, ternyata ada goodnews tentang Melancholic Bitch yang akan main di ibukota, band legend asal Jogjakarta ini emang sangat ditunggu-tunggu kaum urban ibukota, siapa yang ingat kapan mereka terakhir tampil di ibukota ? Ah, sayapun tak ingat.

Sabtu malam dibulan puasa, dengan deras ujan di pusat kota Jakarta, “Simelbi : Joni dan susi Goto @atamerica” salah satu acara yang diadakan atamerica dan menampilkan Melancholic Bitch, seperti melepas rasa rindu untuk melihat penampilan band satu ini, sehingga kapasitas tempat yang terbatas saat itu di penuhi mereka-mereka yang memang niat untuk duduk di urutan depan, termasuk saya. Kapasitas venue sekitar 300 orang dan 200 orang untuk menonton di screen.

Mungkin saya bukan satu-satunya orang yang saat itu menerjang hujan hanya untuk menyaksikan band satu ini, acara on time , gratis dan  kapasitas terbatas . ketika MC berkata “ yaaa, ini dia simelbi!” ya, karena mungkin kalian tau kenapa simelbi? Kata bitch mungkin tidak boleh disebutkan sepanjang acara apalagi itu acara amerika hahahha, mungkin menjadi sedikit aneh tapi itu tidak mengurangi kerennya penampilan mereka.

“Saturday night with Melancholic Bitch“ sepertinya kalimat itu yang bisa menggambarkan betapa serunya acara tersebut, 1 jam lebih mereka tampil di depan penonton yang memenuhi atamerica, dengan narasi berceritanya Ugo sang vokalis . salah satu alasan saya kenapa ingin sekali datang, karena ingin melihat penampilan live mereka ,saya bukan termasuk orang yang terlalu suka dengan menilai band hanya dari kaset atau CD album saja, penampilan Live itu melengkapi betapa “absurdnya” band tersebut… yakkkk simelbi sangatlah “absurd” . entah berapa list lagu yang mereka bawakan saat itu, tapi semua yang nonton terlihat Puas termasuk saya.
Photos & text by: Shinta Dwi Destarina
Share Button
Share

Senin, 15 Juli 2013

Dari DeathrockStar

Review dari DRS

Sekitar 3 tahun lalu, Melancholic Bitch menjajali panggung ibukota di teater Salihara, Pasar Minggu yang meninggalkan memori-memori tentang balada Joni dan Susi. Dan, sabtu kemarin, berlokasi di @america, Pacific Place Ugoran Prasad (vokal), Faiz Wong (drum, synthesizer) Yosef Herman Susilo (gitar), Richardus Ardita (bass), harus beraksi tanpa kedua personilnya, Yennu Ariendra dan The Wiryo Pierna Haris—akhirnya posisi Yennu Ariendra digantikan oleh Pulung Fajar— membawakan 17 lagu dengan aksi teaterikalnya.

Diawali pidato pembuka oleh Jacob Bills (selaku perwakilan dari U.S Embassy). Ugo pun didaulat menjadi pengarah alur dengan “Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Francisco” sebagai prolog, yang kendatinya kedua tokoh ini sedang berada di Amerika.

Lalu dimulailah cerita tentang sepasang kekasih yang sedang kasmaran ini, bermimpi jalan-jalan, “Bulan Madu” mengelilingi semesta sampai titik kejengahan Susi (sebagai wanita yang berkerja dibelakang meja kasir) akan janji-janji yang terus dilontarkan Joni kepadanya. Dan saat itu juga mereka mengcover lagu Pearl Jam “Elderly Woman Behind The Counter” dilanjut “Distopia”, dimana posisi Silir digantikan oleh penonton bernama Tania yang tampil Pe-De namun kebanting dengan kharisma suara Ugo.

Pelataran @america terlihat penuh sesak, dari kalangan musisi sampai fans mereka yang berada di ibukota menyempatkan diri menembus badai yang sedang terjadi diluar sana. “Kecapekan jalan-jalan, kecapekan bikin janji ini-itu, turun dari losmennya, pencet-pencet remote control…” intro ikonik dilayangkan, tanda “Mars Penyembah Berhala” siap dinyanyikan secara koor massal. Tampil penuh atraktif memukau akan geliat gestur tubuhnya, dan terus mengulang pertanyaan reflektif semacam “Siapa yang membutuhkan imajinasi? Jika kita sudah punya televisi” dibalutan puisi yang dibacakan Ugo. Sesudah “Nasihat yang baik” melanjutkan penampilannya dengan mengcover “Candy Says” milik The Velvet Underground sebagai jembatan dari songlist lagu yang mereka bawakan.

Tapi, apa yang terjadi? Kedua tokoh yang dielu-elukan di awal paragraf tadi berakhir dengan konflik ekonomi. Susi memaksa Joni untuk mencuri sebuah Apel di supermarket melalui suara dinding-dinding yang terdengar dari kamarnya. Aksi Joni tertangkap dan Melancholic Bitch mengambil alih dengan melantunkan “Akhirnya Masuk TV”. Mengakhiri pertunjukannya membawakan “Kabar Dari Tepi Atap Pencakar Langit” dan “Menara” sebagai aksi klimaksnya. Standing applause diberikan oleh seluruh penonton pada malam itu.

Hampir satu jam setengah SiMelbi —sebuah akronim Melancholic Bitch yang diplomatis atas venue-nya— bernarasi tentang romantika kedua remaja ini, sang lelaki berumur 21, dan perempuan 19. Walaupun ngotot terhadap naskah dan memasukan lagu dari dua band yang berbeda tak mengubah benang merah yang ada. Secara keseluruhan kali ini kurang memuaskan karena kurangnya karakter distorsi dari Yennu Ariendra yang lekat dalam beberapa lagunya. 

Photos By: Haviz Maulana

Sabtu, 13 Juli 2013

dari Reza Pradipto


brengsek, melbi !


     Sabtu, hujan dari siang. Berhenti dan reda di sore, cerah. Ketemu lagi sama dia yang abis pulang kerja. Sabtu-sabtu masih kerja. Macet tapi senang selain karena udaranya cerah, hari ini Melancholic Bitch pentas di jakarta. Tapi, apa itu.. di pacific place tempatnya. Ah, sebuah megamall yang sasaran konsumennya bukan dari kita dul. Besar dan tidak bersahabat. Tapi ini Melancholic Bitch dan di jakarta, datang adalah pilihan yang utama. Melihat Ugoran Prasad yang saya punya buku cetak untuk karya naskah pementasan teater garasi yang ada dia berdaulat menulis di dalamnya. Tapi belum pernah saya baca semenjak dari sekolah menengah atas dan waktu itu saya beli dengan seharga limaribu rupiah, bekas tentu saja. Lalu kemudian dipinjam pacar saya, sampai sekarang. Saya seperti merasa melihat koneksi Tuhan. Ah..





     Dalam panggungnya Ugoran Prasad berucap "Apa akibatnya jika janji berlebihan? bosan" dia memang brengsek, Melancholic Bitch memang brengsek. Tapi, mereka sukses membuat karya yang brengsek. Saya jadi kepingin nyetel 'Balada Joni dan Susi' sehabis mereka pentas, tapi sedang dipinjam pacar.. nyetel 'Anamnesis' tapi saya ga punya, yang punya pacar saya, ah.. kurang, selalu kurang tapi pentas sudah selesai, Melancholic Bitch.

Untuk mendengarkan beberapa lagu dari Melancholic Bitch klik disini.

Kamis, 11 Juli 2013

Dari Gigsplay

Ugoran Prasad: ‘Kalaupun saya di Indonesia terus, akan tetap sama saja’

Posted 11/07/2013 by Daffa Andika in Musician

Ugoran Prasad (Foto: Marnala Eros)
Ugoran Prasad (Foto: Marnala Eros)
Untuk sebagian orang, sosoknya sering terdengar sebagai tanda tanya. Bagi yang sempat mengenyam cerita-cerita pendek atau bukunya, ketandatanyaan tersebut datang dari teks demi teks itu sendiri. Bagi yang beruntung pernah menyaksikannya bernyanyi dan bernarasi untuk sebuah kolektif Melancholic Bitch, ketandatanyaan itu mungkin datang dari ketidaksigapan menerima kenyataan bahwa ada yang mampu bercerita bukan tentang dirinya dengan begitu fasih, erat, rejan yang bahkan mampu turut menyesakkan orang lain dan kesemuanya dilakukan dengan persona yang memaksa kesadaran berheran-heran apakah dia benar-benar sedang menceritakan yang bukan tentang dirinya. 

Atau ketandatanyaan itu lahir dari perasaan cemas, ketidaktahuan dan kerelaan akan kemungkinan kesempatan mengalaminya kembali. Tentang ketidaksigapan, mungkin akan lebih menenangkan jika tahu bahwa dia memang lahir dan dekat dengan dunia teater dan seni pertunjukan. Sementara yang tentang kecemasan, patut dimaklumi karena fakta dia telah, masih, dan akan sering keluar masuk negara ini demi pendidikan akan dunia pentas yang lebih lagi. 

Beruntung bagi banyak orang ketika akhirnya dia pulang untuk beberapa saat dan kembali bernarasi bersama Melancholic Bitch setelah ratusan hari. Yogyakarta pada 5 Mei 2013 dan Bandung pada 31 Mei 2013 menjadi salahdua kesempatan mahal itu. Mungkin dan semoga saja masih ada beberapa kali lagi walau sudah pasti tidak akan banyak. Dan memang dosa rasanya jika harus banyak menuntut dan merelakan diri terus menerus dihujani ketidaksigapan-ketidaksigapan dan kecemasan-kecemasan yang sama yang mustahil berkurang dosisnya karena mereka adalah Melancholic Bitch, dan ya, dia adalah Ugoran Prasad. Saya berkesempatan mewawancarai Ugo seusai konser Menuju Semesta di Bandung akhir Mei lalu. Ini setelah konser, tapi ternyata dia masih saja membuat saya sebal karena dia bilang kalau dia masih bisa membuat yang lebih bagus dari semua yang telah dia buat selama ini.
 **
Ugoran Prasad, saya benci Anda.
Ok.

Jika ada seseorang datang dan mengatakan itu kepada Anda, apakah itu hal yang baik-baik saja?
Ya, baik-baik saja.

Kenapa?
Saya pikir justru menyenangkan karena jujur, barangkali, dan tidak penting sebagaimana saya merasa saya bukanlah seorang yang penting. Saya tidak merasa butuh disukai dan saya pikir bukan itu fungsi seniman. Yang saya pikir paling penting dari posisi seniman adalah apakah saya bisa bicara, bisa membangun komunikasi lewat karya saya, apakah karya saya bisa mengatakan sesuatu yang bisa direspon oleh orang lain dan kemudian saya bisa mendengar respon tersebut. Saya pikir justru ketegangannya, malah harusnya, Anda berkomunikasi dengan orang yang membenci Anda ataupun yang Anda benci. Dan “orang lain” menurut saya adalah sebuah tema penting dalam kesenian, di Indonesia apalagi, karena di sini ‘kan ada banyak yang diliyankan, ada banyak othering di Indonesia. Sehingga kalau Anda cuma ngomong sama orang yang Anda sukai atau yang anda mau, kita tidak akan kemana-mana. Saya pikir tugas seniman justru harusnya melampaui itu, karena segala keinginan untuk disukai atau kekhawatiran dibenci itu menurut saya bisa berbahaya.

Bagaimana jika kebencian itu berasal dari ketidakrelaan mengapa ada yang bisa menghasilkan karya sebagus karya-karya Anda?
Ya tidak apa-apa juga. Jika dalam konteks itu, saya juga membenci banyak orang. Saya benci kenapa David Wrench sedemikian bagus, kenapa Pink Floyd sedemikian bagus, saya juga benci kenapa Arian “Puppen” sedemikian bagus. Semua jika konteksnya bagaimana saya mendengarkan mereka dan bagaimana kemudian itu membantu saya mencoba mengeksplor wilayah baru dalam kesenian saya. Saya pikir hubungannya justru yang sehat begitu ya barang kali, love and hate relationship antara kita dengan yang kita dengarkan. Saya pikir justru tugasnya adalah apa yang di luar itu, apa yang setelah itu. Itu yang sebenarnya lebih saya khawatirkan. Saat misalnya ada orang yang tiba-tiba membenci saya karena merasa apa yang saya lakukan sedemikian bagus, maka saya akan mengatakan bahwa, “Nggak kok, saya mendengarkan banyak, kamu bisa lacak dari mana kami belajar, lihat lingkungan kami, bagaimana tidak ada yang tidak mungkin ketika kamu bekerja dalam logika kolektif, dalam logika komunitas, tidak ada yang tidak mungkin ketika kamu terus belajar.”

Sebagai seorang akademisi seni pertunjukan, apakah anda melihat diri Anda sendiri sebagai suatu pertunjukan?
Pada titik tertentu saya harus mengatakan bahwa saya cukup punya akses pada logika-logika dan metode-metode pertunjukan dan iya, saya menggunakan banyak sekali prinsip-prinsip teater dalam pembangunan saya. Dan memang bersama teman-teman teater kami tumbuh lebih berani, dalam pengertian bahwa teman-teman teater kan menunjukkan eksplorasi yang tidak habis-habis, jadi itu membuat kami melihat seluruh segi dari pertunjukan kami sebagai ruang pertunjukan. Bahkan masuk, berdiri, dan diam di atas panggung adalah bagian dari pertunjukan. John Cage pernah membuka pertunjukannya dengan silent selama limabelas menit. Saya owe much untuk itu. Untuk dia juga malam ini saya naik ke atas panggung dan satu menit saja silent. Jadi segi-segi dari pertunjukan tentu sangat saya kenali walau kami merasa belum maksimal betul mengeksplorasi itu. Tapi iya, kami cukup akrab dengan unsur-unsur itu.

Apakah Melancholic Bitch berangkat dari suatu keresahan-keresahan tertentu?
Bisa dikatakan bahwa sebagaimana banyak anak band, terutama yang melampaui masa Orde Baru ’98 ke atas, di titik-titik tertentu saya kira ada “semangat generasi”. Generasi paska ’98 yang sama-sama punya kegelisahan politik tertentu, punya kegelisahan sosial tertentu. Punya ketegangan antara yang individual dengan yang politik, punya ketegangan antara diri dan masyarakat, punya ketegangan antara penerimaan dan penolakan dalam taraf tertentu karena dibesarkan dari gagasan atas pemberontakan dan seterusnya. Tapi pada saat yang sama juga melahirkan paradoks. Paradoks dari angkatan ’98 itu ‘kan, “Pemberontakan demi perubahan dalam konteks perubahan.” Artinya ‘kan mereka menolak sesuatu tapi membayangkan dan menginginkan adanya penerimaan terhadap gagasan tertentu mereka. Dan ini yang saya pikir merupakan “hantu” kami. Sudah cukup lama jadi “hantu” kami. Mungkin sampai paruh pertama gerakan kami. Bisa dikatakan album Anamnesis berada dalam paruh itu.
Kami kemudian, saya pikir, cukup terbebaskan dari ketegangan-ketegangan itu karena pasti tidak ada jawabannya. Karena pada titik tertentu, ya begitulah, kami harus berdamai dengan ketegangan-ketegangan itu, itu memang sudah seperti kutukan lahir kami. Untungnya kami kemudian mampu melihat; “Oke, ada cara lain dalam mengolah karya, yang bukan dari kegelisahan individual dan keresahan personal kita.” Akhirnya kami coba masuk dan membaca lingkungan. Misalnya dalam konteks Balada Joni dan Susi kami jadi lebih eksternal; melakukan perjalanan, melakukan “dokumentasi” tertentu, jalan-jalan ke Pantura, cari tema, belajar, ngomong soal kriminalitas, ngomong soal harapan generasi muda. Ada orang-orang lain di sana yang kuat, yang melawan, yang bernegosiasi terus menerus dalam kehidupan sehari-hari di tengah ketidakmungkinan-ketidakmungkinan sosial, tapi mereka terus fighting. Dan dari sana kami mendapat inspirasi. Namun pada saat yang sama ketika kami melakukannya ternyata kami juga menemukan diri kami di sana, “Oh, ternyata gak jauh berbeda ya.” Dan kegelisahan-kegelisahan tadi, saya pikir, sekarang bisa lebih rileks, dalam artian bahwa kami jadi punya alat untuk berusaha keluar dari perasaan self-important, keluar dari kepentingan emosi kita sendiri, kami berusaha keluar dari itu semua. Dan pada titik ini yang kami bayangkan bisa kami lakukan adalah belajar.

Lalu dengan pemahaman bahwa Melancholic Bitch adalah suatu pertunjukan dengan album-albumnya sebagai narasinya, sebenarnya apa yang coba Anda berikan lewat narasi-narasi itu? Apakah memberikan jawaban atas suatu keadaan, hanya menampilkan sesuatu, atau sebenarnya justru mengajak mempertanyakan kembali apakah keadaan-keadaan tersebut memang benar-benar suatu masalah?
Saya pikir karena kami berenam, kalau saya bisa bilang saya punya preskripsi tertentu atas realitas sosial tersebut atau resep untuk mengatasinya, pasti saya omong kosong. Kalau dibilang saya cuma  sekedar menampilkan kenyataan, ya tidak, ini sudah bukan kenyataan lagi. Ini sudah representasi dan representasi dari kenyataan, sudah beberapa tingkat. Ini bukan kenyataan kok. Kalau Anda benar-benar mau lihat kenyataan ya pergilah ke luar sana, jangan ke pertunjukan. Pertunjukan itu sudah ada estetisasi, sudah ada penyangatan, ada metafora dan seterusnya.
Yang kami bayangkan cuma ruang bercakap, ruang berdiskusi. Kami banyak belajar dari para penulis. Keuntungan penulis itu ‘kan, ketika dia menulis lalu melemparkan tulisannya, dia sudah “mati”. Begitu kan yang dikatakan Barthes. Jadi artinya itu sudah merupakan tugas pembaca untuk menghidupkan karangan itu, tugas pembaca untuk mendiskusikannya. Bersama teman-temannya, bersama lingkungannya membaca dan mempelajarinya dan seterusnya. Bahkan bukan pengarang kok yang paling tau. Kadang-kadang karangan itu sendiri terus membangkitkan hal-hal baru yang bahkan si pengarangnya pun tidak pernah sadari, yang pengarangnya pun bahkan tidak pahami. Barangkali bahkan tidak diniatkan. Saya yakin dalam beberapa hal kalau ada orang yang tersentuh dengan karya kami dalam satu atau lain cara, itu sebenarnya dia tidak sedang mengatakan betapa bagusnya karya kami, tapi sedang mengatakan dalam taraf tertentu bahwa dia punya teks tertentu, melihat dalam sudut tertentu yang barang kali tidak kami lihat. Jadi saya pikir, menyukai sesuatu itu lebih banyak menunjukkan siapa Anda ketimbang apa yang Anda sukai. Nangkep gak?

Kurang.
Gini, misalnya ketika Anda menyukai handphone ini, maka itu lebih menunjukkan siapakah Anda, ketimbang definisi dari handphone ini sendiri. Anda adalah seseorang yang menyukai handphone ini.
Karena saya kan tidak bisa menyensor pikiran orang. Ketika dia mendengarkan lagu saya, apa yang ada dalam pikiran dia saya tidak tahu, dan barang kali itu lebih hebat daripada yang saya pikirkan, lebih luar biasa dari yang saya pikirkan. Itulah makanya saya pernah bilang, yang oleh Ardi Wilda dikatakan dengan terlalu ekstrim ya, fans itu menjijikan. Saya menggunakan bahasa Jawa pada saat itu, nggilani. Kata nggilani itu tidak bisa literally diterjemahkan menjijikan, menurut saya. Tapi bukan berarti dia salah. Yang saya coba katakan banyak di sana adalah saya geli dengan fans, saya jengah dengan relasi dengan fans karena saya pikir, “Nggak, kamu tuh ‘Orang Itu’.” “Kamu yang mempunyai teks yang belum tentu saya sudah pahami”, “Dan misalnya kamu bisa menyukai saya sedemikiannya, itu lebih karena apa yang kamu pikirkan dan apa yang kamu pikirkan itu barang kali yang lebih berharga daripada karya itu sendiri.”

Siapa yang Anda anggap sebagai fans?
Makanya saya tidak tahu. Saya justru tertarik untuk tahu. Saya tertarik untuk tahu apa yang orang-orang pikirkan. Dalam artian mungkin saya yang akan jadi nge-fans dengan buah pikiran-pikiran mereka. Dan karenanya saya berharap ini bisa jadi lingkungan produksi. Sebab dulu saya juga nge-fans dengan banyak orang. Saya suka Slank, yang kemudian saya niru mereka, saya belajar dari mereka, saya jadi pengen menciptakan karya sebagai bagian dari sejarah hubungan saya dengan apa yang saya dengarkan. Saya berhutang banyak dengan karya-karya mereka.

Satu hal tentang hutang. Melancholic Bitch sangat jarang tampil secara live, hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu. Jika akhirnya Melancholic Bitch hadir kembali pada suatu kesempatan, apakah itu akan menjadi sebatas “membayar hutang’” kepada semua yang telah lama menantikan?
Orang-orang akan bisa melihat sendiri apakah kami hanya sebatas membayar hutang atau tidak. Kalau lihat pertunjukan tadi, jika sekedar membayar hutang kami tidak akan– tidak tahu ya, kami merasa bahwa kami mempersiapkan pertunjukan yang sungguh-sungguh, merancangnya dengan sungguh-sungguh. Ini lebih dari sekedar itu. Betul bahwa ada elemen “kami belum pernah ke Bandung” tentu saja, tapi di luar itu kami pengen percakapannya berlangsung, percakapan antara karya ini dengan penonton. Kami ingin ada impresi tertentu yang bisa dihasilkan, pulang ada yang diobrolin di angkot, “Eh, tadi ada yang kurang enak deh waktu bla bla bla.” Dan dari obrolan-obrolan itu mungkin memercik sesuatu entah apa. Itu yang kami harapkan.

Karena kesibukan orang-orang di dalamnya, timbul banyak celah-celah interval penampilan Melancholic Bitch. Untuk Anda sendiri, sebenarnya apa yang Anda harapkan untuk terjadi di antara celah-celah itu?
Sudah terjadi sebenarnya. Karena kan sebenarnya sebagai kolektif kami mendukung kerjaan teman-teman di luar dari apa yang dianggap sebagai tradisional bahwa kalau anak band itu bikin album, manggung sebagai band, dsb. Buat kami harus lebih dari itu. Jadi proyek-proyek Yossi sebagai engineer, proyek-proyek Yennu sebagai music director itu bagian dari proyek-proyek kami yang harus kami dukung. Dan ini kelihatannya dari luar memang seperti itu ya, kami juga ya sudahlah memang kelihatan dari luar penuh interval. Tapi sebenarnya kami selalu punya agenda kolektif, agenda bersama, walaupun mungkin tidak semuanya. Seperti saya sama Yennu, Yennu sama Didit, Didit sendiri juga tergabung di Individual Life dan Shoolinen. Buat kami ini sama pentingnya. Pada titik tertentu kami sudah melihat Melancholic Bitch tidak lagi harus bekerja dengan cara yang itu, manggung terus, bikin album terus. Karena kayaknya kalaupun saya di Indonesia terus, akan tetap sama saja.
Sebagai contoh, 2008 akhir sampai 2009 akhir saya di Indonesia, kami mentas paling cuma satu-dua kali. Jadi memang sekalipun saya di Indonesia, kami tidak terlalu bisa dengan situasi-situasi orang-orang di dalamnya. Mungkin sebenarnya dari segi schedule bisa-bisa saja. Tapi sebenarnya diam-diam kami juga diuntungkan karena kami sendiri tidak laku. Bukan kami terus menolak banyak tawaran, kadang-kadang memang ada tawaran masuk pas kami tidak bisa. Tapi bukan setelah itu ada sepuluh tawaran kami tolak semua tiap tahun, tidak seekstrim itu. Saya pikir bahkan, matematikanya yang kita tolak dan kita terima itu setahun selalu rata. Misalkan kita main lima kali, mungkin ada lima juga kesempatan yang kita tidak bisa.

Interval dan keabsenan-keabsenan itu juga merupakan unsur penting di dalam seni pertunjukan. Tapi bagaimana sebenarnya makna keabsenan itu sendiri bagi Anda?
Keuntungannya kemudian adalah ketika kami berada pada titik di mana kami mentas jadi lebih besar tanggung jawabnya. Jadi ketika kami mengiyakan pertunjukan, situasinya jadi kami harus main sebaik mungkin. Jadi lebih tegang. Karena kami tahu kesempatan untuk itu tuh tidak banyak.
Misalnya gini, sekarang main di Bandung, terus “Yuk cari event ke Jakarta sekalian main di pub atau apa”. Setelah kami latihan, ternyata enggak mungkin, energi kami akan habis untuk Bandung. Memang banyak teman-teman band yang bisa hari ini main di Bandung besok di Jakarta besoknya di mana. Kami tidak bisa. Nanti “hilang”, nanti jadi lain, kasian nanti yang di tempat berikutnya kalau tidak seintensif tempat sebelumnya. Tidak fair buat mereka. Ya mohon maaf buat yang tidak bisa nonton, tapi daripada kami main tapi mengecewakan. Kira-kira seperti itu. Jadi maknanya adalah membuat seolah-olah setiap panggung resikonya jadi besar. Dan kami harus menghitung betul supaya kami bisa bertanggung jawab.

Melipir ke Balada Joni dan Susi. Kisah mereka lahir berdasarkan keadaan-keadaan dan realitas yang ada pada saat mereka ditulis waktu itu. Jika saja mereka akhirnya tidak mati, melihat situasi dan keadaan hari ini, apakah menurut Anda mereka masih bisa bertahan hidup?
Mungkin tidak juga, tapi mungkin iya, tapi mungkin tidak. Karena bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah bahwa sepotong dari cerita perjalanan mereka saat itu sepertinya penting untuk diceritakan. Bahwa mereka bersama-sama atau tidak sekarang itu adalah hal lain.

Seberapa penting keterkaitan-keterkaitan narasi untuk Melancholic Bitch atau Anda sendiri?
Mungkin sekarang-sekarang ini memang lagi iseng bermain itu, iseng bermain frame. Mencoba bikin pertunjukan yang kalau misalnya kita main 21 lagu tuh frame-nya jelas lagu per lagu. Karena sebenarnya saya tidak bisa chit chat kan. Saya tidak tahu harus ngomong apa di antara lagu. Dan untuk mengatasi itu kita jadi banyak belajar macem-macem. Tapi ternyata ketemu, “Eh ternyata kalau kita bikin frame dan kita main berdasarkan frame tertentu itu bisa membebaskan”. Jadi “Ini bukan aku, kok.” Kalo chit chat kan kayak seolah-olah jadi tanggung jawab– itu makanya jadi ada istilah frontman kan, saya tidak suka itu. Nah kalau seperti ini kan jadi, “Oh ini narator”, cuma peran. Kalaufrontman kan kayaknya tanggung jawabnya gede banget. Di satu sisi ini jadi memungkinkan kami memaket suatu pertunjukan dengan utuh sebagai, kalau bisa, bahan diskusi, bahan obrolan, bahan resepsi, bahan pikiran buat teman-teman yang menonton. Dan pada saat yang sama ini membuat kami jadi tidak terlalu kami. Ini bukan tentang kami. Ini bukan tentang individu-individu Melancholic Bitch, bukan tentang seberapa bagus suara “gue”, seberapa keren “gue” main gitar, bukan tentang itu. Tapi tentang apa yang kami melakukan untuk mendukung narasi kita, apa yang kami lakukan untuk membuat pertunjukan itu, diskusi itu, menjadi lebih kuat.
Bukan berarti setelah itu cara-cara yang lain tidak cukup ya. Tapi saya pikir saya senang dengan generasi pelaku musik sekarang ini karena banyak yang memulai “ini bukan tentang gue, ini tentang yang gue omongin”. Coba liat Efek Rumah Kaca, gede-gede semua soal yang mereka bicarakan. Dan itu membuat orang mikir, membuat orang ngobrol.

Di liner notes EP Lagu-Lagu Yang Tidak Bisa Dipercaya, tertulis bahwa lagu-lagu dalam EP tersebut menjadi b-sides karena dianggap terlalu pasif. Apakah lagu-lagu Melancholic Bitch diharuskan selalu aktif?
Terlalu pasif pada jamannya. Jadi paska album pertama kami bikin sekumpulan lagu yang kami bingung mau diapain dan secara konseptual teman-teman juga merasa galau yang “itu”. Galau yang individual, yang terlalu self-centric, bisa kebawa ke sana, bisa keseret ke sana, bisa keenakan, jadi safe zone, misalnya. Jadi kita butuh keluar dulu dari sana. Bukan karena apa-apa, itu tetap bisa oke-oke aja, ada band kayak Blur ya oke-oke aja, ada Radiohead juga oke-oke aja, tidak ada masalah sebenarnya. Tapi kami merasa situasinya jadi negatif di antara kami sendiri. Jadi kayak tidak bisa kemana-mana dengan lagu-lagu itu. Kalau harus selalu aktif? Tidak juga, tapi jangan terlalu pasif lah. Jangan misalnya bikin lagu tapi, “ini lagu ngomong apa sih”. Dan ketika kami sekarang telah berjarak dengan itu, kami dapat melihat apa yang sedang dibicarakan, bisa dipelajari dengan lebih tenang. Jadi pada titik lagu-lagu dulu itu kami bikin tapi kami tidak suka.

Kalau Anda bukan seorang personil Melancholic Bitch, kira-kira akankah sekarang Anda suka dengan band ini?
Tidak tahu, tapi saya pernah nonton Melancholic Bitch sekali yang saya tidak ikut main dan, “Ya…oke, tapi aku bisa bikin lebih bagus.”