Ada
hal-hal yang rasanya seperti mimpi. Saat kemarin menyetir pulang ke
Jakarta, sendirian dalam mobil dan bablas di tol Cipularang, rasanya
juga seperti itu. Semacam ada yang mengambang, dan selewat-selewat
gambar dari tadi malamnya datang. Seperti mimpi, tapi kau ingat ada yang
menyerukan namamu lalu mikrofon disodorkan padamu di ujung lagu
"Distopia". Kau ingat dengkulmu menempel dinding panggung, lenganmu yang
berkeringat menempel dengan lengan orang lain yang berkeringat, lampu
panggung menerobos asap buatan, emosi yang menjalari lantai panggung dan
sampai di lantai penonton, dan memorimu tentang masing-masing lagu yang
ambyar di depan matamu begitu tiap lagu itu dibawakan secara langsung.
Melancholic Bitch tidak pernah tidak serius dalam pertunjukannya. Mereka bermain dengan intens, dan selalu ada sesuatu yang kemudian menjapit hatimu, tidak lepas-lepas. Malam itu mereka menjahit narasi dua album mereka, Anamnesis/Re-Anamnesis (A, 2005/2013) dengan Balada Joni dan Susi (BJS, 2009). Misalnya, dari "Tujuh Hari Menuju Semesta" (BJS) yang berisi tentang sumpah Joni pada Susi berlanjut pada sebuah pertanyaan. "Ini semua tentang apa?" kata Susi. Dijawab oleh Joni, "Tentang Cinta" (A). Susi terpingkal-pingkal, "Kamu klise." Joni menjawab lagi, "Kita klise, tapi benar."
Sedikit kilas balik, Joni dan Susi adalah pasangan yang penuh kasih tapi rupanya hidup (nasib?) kurang mengasihi mereka, sehingga jalan mereka tidak terlalu mulus. BJS bercerita tentang itu, dari awal album sampai akhir. Cerita yang sama dibongkar lagi di atas panggung auditorium IFI, Bandung, 31 Mei kemarin, dengan lakon tambahan dari Anamnesis.
Di antara lagu, vokalis Ugoran menuturkan pengantar menuju lagu yang akan dibawakan, yang sudah seperti karya sastra sendiri saking bagusnya. Misalnya, "Kisah Joni dan Susi dimulai di suatu pagi yang biasa saja, dengan bau udara yang biasa saja, warna langit yang biasa saja. Tapi dari yang biasa-biasa saja itu, entah bagaimana mereka bersepakat untuk bersama-sama melarikan diri." Ada juga ini, "Sebagaimana layaknya pasangan kekasih, mereka berbuat kesalahan. Kesalahan itu....harapan yang dystopian." Atau, "Janji tinggal janji ketika dunia menampar mereka siang itu."
Dan permainan Melbi pada malam itu, kalau kata Shakespeare, hari yang indah di musim panas pun tak pantas bersanding dengannya. (Mbaknya pasti dari Prancis ini, le bay.) Saya pernah menulis bahwa ketika secara langsung mendengar dan menyaksikan Melbi, emosi mereka seolah beratus kali lipat dari apa yang ada di album. Apa yang sudah kita dengar di BJS dan Anamnesis datang kembali menghantam kita, membuat perasaan membengkak. Dan itu terjadi pula kemarin.
Permainan Melbi yang rapat dan mencekam membuat kita susah memalingkan muka dari panggung. "Mars Penyembah Berhala" membuat peluh mengalir deras dan nyanyian penonton bergelora sampai mentok ke langit-langit auditorium. "Distopia" yang semarak membuat suasana jadi mesra, apalagi mereka mengajak salah seorang penonton mengisi posisi Silir Pujiwati yang aslinya berduet dengan Ugoran. "Nasihat yang Baik" pelan-pelan menyeruduk hati, dinyanyikan Ugoran sambil duduk dan disaksikan penonton yang juga duduk. "Off Her Love Letter" dan "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa" diperkuat dengan vokalis Frau dan Sarasvati.
Menuju akhir pertunjukan, suhunya semakin tinggi dan menekan. BJS berkisah bahwa cerita Joni dan Susi masuk televisi, tapi untuk alasan yang salah. Rasa marah dan protes pada negara, pada pemerintah, pada polisi, pada gerombolan yang terlanjur menghakimi, digurat di lagu-lagu penghujung: "Akhirnya Masup Tipi", "Kita Adalah Batu" dan "Noktah dalam Kerumunan". Apa dan siapa saja yang ada di atas panggung malam itu semakin meledak-ledak, mereka bermain musik seperti meradang. Sengit, eksplosif, dan berat rasanya untuk tidak ikut lenyap di situ.
Menyaksikan Melbi biasanya juga berarti mengalami respons penggemar lain yang lumayan macam-macam. Di lagu "Apel Adam" yang beberapa bagiannya diisi dengan monolog vokalis, saya sempat kaget setengah mati saat seseorang persis di belakang saya dengan fasih (dan dengan cukup dramatis pula) menuturkan kata demi katanya. Bahkan sebelum vokalisnya ngomong.
Sebelum konser mulai, saya duduk di sebelah seorang mas-mas yang pembawaannya tampak lumayan rikuh. Wajahnya beberapa kali terlihat kencang, dan ia bertepuk tangan dengan gugup saat Teman Sebangku main sebagai pembuka konser. Tapi pada satu titik ketika Melbi sudah main dan sampai di bagian tengah "Bulan Madu" yang meletup-letup, saya melihat ke belakang sejenak dan tersentak karena ada yang melompat dengan tingginya, paling tinggi di antara yang lain. Dia mas-mas yang tadi itu. Matanya hampir terpejam, kepalanya menengadah ke atas, rasa bahagia merambati wajahnya.
Ada hal-hal yang rasanya seperti mimpi, kadang saking bagusnya. Melancholic Bitch malam itu: Ugoran, gitaris Yossy & Yennu (juga merangkap keyboard), bassist Didit dan drummer Faiz, menyampaikan salah satu penampilan terbaik mereka. Perasaan kagum pada mereka membiak lagi dengan cepat, dan seperti mas tadi, saya bisa merasakan wajah saya malam itu juga dirambati bahagia.
Melancholic Bitch tidak pernah tidak serius dalam pertunjukannya. Mereka bermain dengan intens, dan selalu ada sesuatu yang kemudian menjapit hatimu, tidak lepas-lepas. Malam itu mereka menjahit narasi dua album mereka, Anamnesis/Re-Anamnesis (A, 2005/2013) dengan Balada Joni dan Susi (BJS, 2009). Misalnya, dari "Tujuh Hari Menuju Semesta" (BJS) yang berisi tentang sumpah Joni pada Susi berlanjut pada sebuah pertanyaan. "Ini semua tentang apa?" kata Susi. Dijawab oleh Joni, "Tentang Cinta" (A). Susi terpingkal-pingkal, "Kamu klise." Joni menjawab lagi, "Kita klise, tapi benar."
Sedikit kilas balik, Joni dan Susi adalah pasangan yang penuh kasih tapi rupanya hidup (nasib?) kurang mengasihi mereka, sehingga jalan mereka tidak terlalu mulus. BJS bercerita tentang itu, dari awal album sampai akhir. Cerita yang sama dibongkar lagi di atas panggung auditorium IFI, Bandung, 31 Mei kemarin, dengan lakon tambahan dari Anamnesis.
Di antara lagu, vokalis Ugoran menuturkan pengantar menuju lagu yang akan dibawakan, yang sudah seperti karya sastra sendiri saking bagusnya. Misalnya, "Kisah Joni dan Susi dimulai di suatu pagi yang biasa saja, dengan bau udara yang biasa saja, warna langit yang biasa saja. Tapi dari yang biasa-biasa saja itu, entah bagaimana mereka bersepakat untuk bersama-sama melarikan diri." Ada juga ini, "Sebagaimana layaknya pasangan kekasih, mereka berbuat kesalahan. Kesalahan itu....harapan yang dystopian." Atau, "Janji tinggal janji ketika dunia menampar mereka siang itu."
Dan permainan Melbi pada malam itu, kalau kata Shakespeare, hari yang indah di musim panas pun tak pantas bersanding dengannya. (Mbaknya pasti dari Prancis ini, le bay.) Saya pernah menulis bahwa ketika secara langsung mendengar dan menyaksikan Melbi, emosi mereka seolah beratus kali lipat dari apa yang ada di album. Apa yang sudah kita dengar di BJS dan Anamnesis datang kembali menghantam kita, membuat perasaan membengkak. Dan itu terjadi pula kemarin.
Permainan Melbi yang rapat dan mencekam membuat kita susah memalingkan muka dari panggung. "Mars Penyembah Berhala" membuat peluh mengalir deras dan nyanyian penonton bergelora sampai mentok ke langit-langit auditorium. "Distopia" yang semarak membuat suasana jadi mesra, apalagi mereka mengajak salah seorang penonton mengisi posisi Silir Pujiwati yang aslinya berduet dengan Ugoran. "Nasihat yang Baik" pelan-pelan menyeruduk hati, dinyanyikan Ugoran sambil duduk dan disaksikan penonton yang juga duduk. "Off Her Love Letter" dan "Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa" diperkuat dengan vokalis Frau dan Sarasvati.
Menuju akhir pertunjukan, suhunya semakin tinggi dan menekan. BJS berkisah bahwa cerita Joni dan Susi masuk televisi, tapi untuk alasan yang salah. Rasa marah dan protes pada negara, pada pemerintah, pada polisi, pada gerombolan yang terlanjur menghakimi, digurat di lagu-lagu penghujung: "Akhirnya Masup Tipi", "Kita Adalah Batu" dan "Noktah dalam Kerumunan". Apa dan siapa saja yang ada di atas panggung malam itu semakin meledak-ledak, mereka bermain musik seperti meradang. Sengit, eksplosif, dan berat rasanya untuk tidak ikut lenyap di situ.
Menyaksikan Melbi biasanya juga berarti mengalami respons penggemar lain yang lumayan macam-macam. Di lagu "Apel Adam" yang beberapa bagiannya diisi dengan monolog vokalis, saya sempat kaget setengah mati saat seseorang persis di belakang saya dengan fasih (dan dengan cukup dramatis pula) menuturkan kata demi katanya. Bahkan sebelum vokalisnya ngomong.
Sebelum konser mulai, saya duduk di sebelah seorang mas-mas yang pembawaannya tampak lumayan rikuh. Wajahnya beberapa kali terlihat kencang, dan ia bertepuk tangan dengan gugup saat Teman Sebangku main sebagai pembuka konser. Tapi pada satu titik ketika Melbi sudah main dan sampai di bagian tengah "Bulan Madu" yang meletup-letup, saya melihat ke belakang sejenak dan tersentak karena ada yang melompat dengan tingginya, paling tinggi di antara yang lain. Dia mas-mas yang tadi itu. Matanya hampir terpejam, kepalanya menengadah ke atas, rasa bahagia merambati wajahnya.
Ada hal-hal yang rasanya seperti mimpi, kadang saking bagusnya. Melancholic Bitch malam itu: Ugoran, gitaris Yossy & Yennu (juga merangkap keyboard), bassist Didit dan drummer Faiz, menyampaikan salah satu penampilan terbaik mereka. Perasaan kagum pada mereka membiak lagi dengan cepat, dan seperti mas tadi, saya bisa merasakan wajah saya malam itu juga dirambati bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar