Seandainya perkataan Soseki Natsume di buku “Tower
Of London” tentang betapa kita jangan sampai mendatangi satu tempat
khusus lebih dari sekali, karena hanya akan merusak memori kita di
tempat tersebut saya turuti, maka saya sendiri tidak akan datang lagi ke
konser melancholic bitch seumur hidup.
Seandainya saya orang baik, yang tidak tega
mendengar kenyataan tentang Joni yang mati dipukuli karena mencuri roti,
dan Susi yang mati dicekik busung lapar berulang-ulang. Saya tidak akan
pernah lagi datang ke konser melancholic bitch.
Tapi saya tidak akan menuruti perintah Soseki, dan saya bukanlah orang baik.
Di satu sore, di sudut kota bandung, tepatnya di
Institut Francais Indonesia, terdapat kerumunan orang. Dan saya adalah
bagian dari kerumunan itu, yang datang, mengorbankan waktunya untuk
mendengar cerita tragis tentang orang pinggiran yang mati dikhianati
nasib dan dibunuh jaman.
Hari itu, melancholic bitch bersedia mengisahkan
tragedi joni dan susi pada manusia-manusia yang ingin mendengar. Setelah
tiga belas tahun, mereka akhirnya sudi juga datang ke tempat yang
dipenuhi corat-coret tembok dan geng motor ini.
Terlambatnya acara mulai tidak menghadirkan keluh
dan amarah, terlambat satu jam tidak ada apa-apanya dibanding penantian
selama bertahun-tahun. Sekitar pukul delapan, pintu Amphitheater dibuka.
Saya sendiri langsung mengincar posisi di depan panggung. Acara dibuka
oleh Teman Sebangku, yang dengan manisnya berhasil mengcover lagu “Debu
Hologram”nya melancholic bitch.
Lalu panggung menjadi gelap, penonton berdiri dan
merapat ke depan, bersama-sama menceritakan intro dari Balada Joni dan
Susi. Lalu sang pendongeng, Ugoran Prasad, masuk. Disusul oleh Yennu
Ariendra yang memainkan keyboard. Sang pendongeng membacakan beberapa
bait puisi dari Departmental Deities and Other Verses, A General Summary
karya Rudyard Kipling, sementara Yosef, Richardus, Wiryo dan Faiz
muncul.
Lagu kedua mereka, Kartu Pos dari Jembatan Golden
Gate di San Fransisco diambil dari puisi Sapardi Djoko Damono, di susul
dengan lagu Bulan Madu. Disini, suara saya sudah habis, bersama-sama
menceritakan kepedihan Joni dan Susi yang ingin berdayung sampan di
kanal-kanal Venesia.
Disusul oleh 7 Hari menuju semesta yang
menceritakan ikrar Joni dan Susi sesudah melarikan diri, dan tawa susi
akan ke-klise-an Joni di lagu Tentang Cinta. Mereka lalu berlari,
mengikuti jalan, berlari mengikuti jalan bersama lagu “The Street”, lalu
melbi menarik salah satu pendengar untuk berkisah bersama mereka di
lagu “Distopia”.
Di lagu “Requiem” Joni dan Susi mengulang kembali
ikrar mereka jika mereka mati. Kemudian Ugo dkk mulai membawa pendengar
ke barisan tragedi. Susi dan Joni lapar, mereka mencakari tembok dan
perut mereka. Menggigiti kuku. Mencakari tembok dan menggigiti kuku
hingga kenyataan mereka menjadi kisah untuk lagu “Debu Hologram”.
Sial, sungguh sial. Nasib yang sial dan jahat,
membawa jari lemas mereka menekan remote dari sebuah kotak terjahat di
dunia. Dan penonton dan pendongeng mengutuk kotak itu, dan stasiun-nya
yang bergambar elang dan bernomor satu. Dan kami berteriak, menyanyikan
“Mars Penyembah Berhala”, dan kenyataan pahit bahwa siapa yang masih
membutuhkan imajinasi jika kita sudah punya televisi.
Dan Susi kelelahan, Joni dengan baiknya menyuruh
Susi tidur, seperti melbi yang menyuruh pendengar beristirahat sepuluh
menit dengan lagu “Nasihat yang Baik.”
Di saat itu saya dihadapi dilema, haruskah saya
duduk dan membunuh euforia, keluar untuk kehilangan tempat di depan
panggung, atau tetap berdiri dan dicap sebagai orang tidak sabaran. Dan
dengan kaki gemetar, akhirnya saya duduk.
Setelah sepuluh menit yang saya harap tidak akan
pernah berakhir, pendongeng masuk, menceritakan Joni yang lari ke
supermarket, untuk mencuri roti bagi Susi yang kelaparan. Ia dibujuk
oleh dinding-dinding yang berpropaganda. Lalu seorang gadis manis masuk,
duduk di atas keyboard. Frau telah datang, bersama-sama berkisah
tentang betapa roti yang dicuri oleh Joni tidak jauh berbeda dengan apel
yang dimakan Adam, dan menjatuhkan ia dari surga. Ia ditangkap,
dipukuli sampai mati. Tidak ada ambulans, ambulans berubah menjadi
stasiun tv yang tidak akan berhenti sampai seluruh jiwa di muka bumi
telah membusuk di lambungnya yang membuncit.
Lalu pendongeng menceritakan cinta Joni dan Susi di
“Off Her Love Letter”. Dan Frau memainkan tuts-tuts di keyboardnya,
sambil menyanyikan “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar
Angkasa.” Di tengah lagu, muncul lagi sesosok wanita, Risa Saraswati.
Bersama-sama mereka bernyanyi di lagu terakhir Frau dan Risa hari itu.
Ah, kotak jahat itu mengisahkan kisah Joni dalam
lima belas detik. “Akhirnya Masup Tipi.” Kisah tentang Joni yang mati
dipukuli, Susi yang digerogoti busung lapar, dan pemerintah yang tidak
pernah bisa mengeja.
Lalu apa ? Susi mati, Joni dipukuli, dan kita semua
yang menonton hanya akan membaca berita berjalan yang berdurasi lima
detik, dan pemberitaan busuk yang memiliki nyawa sepanjang lima belas
detik, mengubah tragedi Joni dan Susi menjadi statistik, “Kita Adalah
Batu.”
Pendongeng berpesan, bahwa Joni dan Susi dan kami
semua yang hadir, termasuk pendongeng, bukan hanya, dan tidak akan
pernah menjadi sebatas Noktah pada Kerumunan.
Lalu kisah tragis Joni dan Susi diakhiri dengan
lagu Menara, tentang Joni dan Susi yang membuka ladang Apel, lalu
mendirikan menara yang tinggi, mungkin mereka ingin menuntut Tuhan atas
nasib mereka.
Dan begitulah, cerita berakhir. Lampu
bernyala, setlist diperebutkan. Lalu saya mencari pianis yang biasa
memanjakan telinga saya dikala lampu-lampu jalan mewarnai malam untuk
sebuah foto. Dan bertemu langsung dengan salah seorang dari tim
pendongeng yang menjadi dorongan saya untuk menulis.
Hari Jumat, tanggal 31 Mei menjadi sejarah. Sebuah
legenda membagi kisahnya pada kami yang sudah mulai muak dengan kotanya
sendiri. Saya sendiri sering mendengar album terkonsep, tapi baru kali
ini saya menonton konser yang terkonsep sedemikian rupa,dengan
narasi-narasi yang menghanyutkan, dan ugoran prasad yang mencoba
memunculkan kata-kata di udara sesak auditorium, sehingga merubah konser
menjadi semacam story-telling atau entah apa itu namanya, dan membuat
seisi tubuh konser memiliki arti, bukan hanya sekedar pelepas rindu.
Lalu kami, pendengar ditinggalkan dengan sebuah
pertanyaan, “Jahatkah kami jika kami ingin mendengar lagi kisah tragis
Joni dan Susi ?” Mungkin iya, tapi itulah kenyataannya, karena jika kita
menutup mata dari kisah itu, kita lebih jahat lagi. Mungkin Susi
harusnya mengajari kita untuk mengeja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar