Sabtu, 01 Juni 2013

Dari RizkyMFahreza


Seandainya perkataan Soseki Natsume di buku “Tower Of London” tentang betapa kita jangan sampai mendatangi satu tempat khusus lebih dari sekali, karena hanya akan merusak memori kita di tempat tersebut saya turuti, maka saya sendiri tidak akan datang lagi ke konser melancholic bitch seumur hidup.
Seandainya saya orang baik, yang tidak tega mendengar kenyataan tentang Joni yang mati dipukuli karena mencuri roti, dan Susi yang mati dicekik busung lapar berulang-ulang. Saya tidak akan pernah lagi datang ke konser melancholic bitch.
Tapi saya tidak akan menuruti perintah Soseki, dan saya bukanlah orang baik.
Di satu sore, di sudut kota bandung, tepatnya di Institut Francais Indonesia, terdapat kerumunan orang. Dan saya adalah bagian dari kerumunan itu, yang datang, mengorbankan waktunya untuk mendengar cerita tragis tentang orang pinggiran yang mati dikhianati nasib dan dibunuh jaman.
Hari itu, melancholic bitch bersedia mengisahkan tragedi joni dan susi pada manusia-manusia yang ingin mendengar. Setelah tiga belas tahun, mereka akhirnya sudi juga datang ke tempat yang dipenuhi corat-coret tembok dan geng motor ini.
Terlambatnya acara mulai tidak menghadirkan keluh dan amarah, terlambat satu jam tidak ada apa-apanya dibanding penantian selama bertahun-tahun. Sekitar pukul delapan, pintu Amphitheater dibuka. Saya sendiri langsung mengincar posisi di depan panggung. Acara dibuka oleh Teman Sebangku, yang dengan manisnya berhasil mengcover lagu “Debu Hologram”nya melancholic bitch.
Lalu panggung menjadi gelap, penonton berdiri dan merapat ke depan, bersama-sama menceritakan intro dari Balada Joni dan Susi. Lalu sang pendongeng, Ugoran Prasad, masuk. Disusul oleh Yennu Ariendra yang memainkan keyboard. Sang pendongeng membacakan beberapa bait puisi dari Departmental Deities and Other Verses, A General Summary karya Rudyard Kipling, sementara Yosef, Richardus, Wiryo dan Faiz muncul.
Lagu kedua mereka, Kartu Pos dari Jembatan Golden Gate di San Fransisco diambil dari puisi Sapardi Djoko Damono, di susul dengan lagu Bulan Madu. Disini, suara saya sudah habis, bersama-sama menceritakan kepedihan Joni dan Susi yang ingin berdayung sampan di kanal-kanal Venesia.
Disusul oleh 7 Hari menuju semesta yang menceritakan ikrar Joni dan Susi sesudah melarikan diri, dan tawa susi akan ke-klise-an Joni di lagu Tentang Cinta. Mereka lalu berlari, mengikuti jalan, berlari mengikuti jalan bersama lagu “The Street”, lalu melbi menarik salah satu pendengar untuk berkisah bersama mereka di lagu “Distopia”.
Di lagu “Requiem” Joni dan Susi mengulang kembali ikrar mereka jika mereka mati. Kemudian Ugo dkk mulai membawa pendengar ke barisan tragedi. Susi dan Joni lapar, mereka mencakari tembok dan perut mereka. Menggigiti kuku. Mencakari tembok dan menggigiti kuku hingga kenyataan mereka menjadi kisah untuk lagu “Debu Hologram”.

Sial, sungguh sial. Nasib yang sial dan jahat, membawa jari lemas mereka menekan remote dari sebuah kotak terjahat di dunia. Dan penonton dan pendongeng mengutuk kotak itu, dan stasiun-nya yang bergambar elang dan bernomor satu. Dan kami berteriak, menyanyikan “Mars Penyembah Berhala”, dan kenyataan pahit bahwa siapa yang masih membutuhkan imajinasi jika kita sudah punya televisi.
Dan Susi kelelahan, Joni dengan baiknya menyuruh Susi tidur, seperti melbi yang menyuruh pendengar beristirahat sepuluh menit dengan lagu “Nasihat yang Baik.”
Di saat itu saya dihadapi dilema, haruskah saya duduk dan membunuh euforia, keluar untuk kehilangan tempat di depan panggung, atau tetap berdiri dan dicap sebagai orang tidak sabaran. Dan dengan kaki gemetar, akhirnya saya duduk.
Setelah sepuluh menit yang saya harap tidak akan pernah berakhir, pendongeng masuk, menceritakan Joni yang lari ke supermarket, untuk mencuri roti bagi Susi yang kelaparan. Ia dibujuk oleh dinding-dinding yang berpropaganda. Lalu seorang gadis manis masuk, duduk di atas keyboard. Frau telah datang, bersama-sama berkisah tentang betapa roti yang dicuri oleh Joni tidak jauh berbeda dengan apel yang dimakan Adam, dan menjatuhkan ia dari surga. Ia ditangkap, dipukuli sampai mati. Tidak ada ambulans, ambulans berubah menjadi stasiun tv yang tidak akan berhenti sampai seluruh jiwa di muka bumi telah membusuk di lambungnya yang membuncit.
Lalu pendongeng menceritakan cinta Joni dan Susi di “Off Her Love Letter”. Dan Frau memainkan tuts-tuts di keyboardnya, sambil menyanyikan “Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa.” Di tengah lagu, muncul lagi sesosok wanita, Risa Saraswati. Bersama-sama mereka bernyanyi di lagu terakhir Frau dan Risa hari itu.
Ah, kotak jahat itu mengisahkan kisah Joni dalam lima belas detik. “Akhirnya Masup Tipi.” Kisah tentang Joni yang mati dipukuli, Susi yang digerogoti busung lapar, dan pemerintah yang tidak pernah bisa mengeja.
Lalu apa ? Susi mati, Joni dipukuli, dan kita semua yang menonton hanya akan membaca berita berjalan yang berdurasi lima detik, dan pemberitaan busuk yang memiliki nyawa sepanjang lima belas detik, mengubah tragedi Joni dan Susi menjadi statistik, “Kita Adalah Batu.”
Pendongeng berpesan, bahwa Joni dan Susi dan kami semua yang hadir, termasuk pendongeng, bukan hanya, dan tidak akan pernah menjadi sebatas Noktah pada Kerumunan.
Lalu kisah tragis Joni dan Susi diakhiri dengan lagu Menara, tentang Joni dan Susi yang membuka ladang Apel, lalu mendirikan menara yang tinggi, mungkin mereka ingin menuntut Tuhan atas nasib mereka.
Dan begitulah, cerita berakhir.  Lampu bernyala, setlist diperebutkan. Lalu saya mencari pianis yang biasa memanjakan telinga saya dikala lampu-lampu jalan mewarnai malam untuk sebuah foto. Dan bertemu langsung dengan salah seorang dari tim pendongeng yang menjadi dorongan saya untuk menulis.
Hari Jumat, tanggal 31 Mei menjadi sejarah. Sebuah legenda membagi kisahnya pada kami yang sudah mulai muak dengan kotanya sendiri. Saya sendiri sering mendengar album terkonsep, tapi baru kali ini saya menonton konser yang terkonsep sedemikian rupa,dengan narasi-narasi yang menghanyutkan, dan ugoran prasad yang mencoba memunculkan kata-kata di udara sesak auditorium, sehingga merubah konser menjadi semacam story-telling atau entah apa itu namanya, dan membuat seisi tubuh konser memiliki arti, bukan hanya sekedar pelepas rindu.
Lalu kami, pendengar ditinggalkan dengan sebuah pertanyaan, “Jahatkah kami jika kami ingin mendengar lagi kisah tragis Joni dan Susi ?” Mungkin iya, tapi itulah kenyataannya, karena jika kita menutup mata dari kisah itu, kita lebih jahat lagi. Mungkin Susi harusnya mengajari kita untuk mengeja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar