Herlambang Jaluardi
Polisi dan ormas, sama-sama berseragam, merangsek ke kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta di bilangan Menteng, Sabtu (16/9/2017). Mereka menggagalkan pertemuan para penyintas peristiwa 1965. Dalihnya klasik: acara itu tak berijin. Bah!
Komunisme yang telah lama diluluhlantakkan—kini jadi dongeng di belahan dunia mana pun—masih menghantui negara rupanya. Padahal dulunya mereka juga yang memburu habis ideologi itu, partai dan orang-orang yang diseret-seret terlibat jadi hitungan statistik belaka.
Perihal benar dan salah tak lagi perlu diterangkan. Toh yang benar bisa dianggap salah, dan yang salah jadi benar. Tergantung propagandanya. Tergantung siapa (pemerintahan) yang melantangkannya.
Alia Swastika mengutip penjelasan Profesor Matteo Stocchetti perihal propaganda. Katanya, propaganda diperlukan setiap rezim pemerintahan. Tujuannya tak melulu untuk mengubah cara pikir masyarakat, tapi juga menginspirasi perubahan komunal, perubahan yang dikerjakan bersama-sama.
Maka rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto mendaraskan propaganda bahaya komunis pada awal kekuasaannya. Siapa pun yang terlibat kegiatan Partai Komunis Indonesia dianggap nista, tak layak hidup, tak pantas membela diri. Tuduhan pun tersebar layaknya cumbuan minyak tanah pada api. Orang-orang yang lahir sebelum 1965 gusar bukan kepalang; siapa saja bisa terkena tuduhan membabi-buta itu.
Teror itu tak berhenti pada mereka. Anak-anak mereka kena imbasnya pula. Mereka dipaksa menonton film manipulatif tentang pembantaian “orang-orang komunis”. Sejak 1980-an sampai Orde Baru tumbang, film itu diputar setiap tahun di televisi, di ruang-ruang keluarga. Sekolah kadang mewajibkan muridnya menonton.
Biasanya, keesokan harinya, kami anak-anak yang masih berseragam putih-merah itu membicarakan film horor sarat adegan penyiksaan itu di sekolah. “Darah itu merah, Jenderal!” adalah kalimat yang sering kami tirukan. Beberapa bocah-bocah berlomba-lomba menjadi Kapten Pierre Tendean yang mati melindungi atasannya, Jenderal AH Nasution. Ia muda, gagah, dan heroik.
Ah, lugunya kami kala itu. Cuci otak mereka, lewat film, berhasil.
Pengalaman bersinggungan dengan film itu juga mengendap di benak Ugoran Prasad, penulis lirik di kolektif musik Melancholic Bitch, selanjutnya disebut Melbi. Ugo dan semua kolaborator di Melbi lahir pada masa Orde Baru.
Kursi kursi bioskop penuh kutu
Naik dari bangku ke dalam saku
lalu menyelinap ke buku-buku
Lalu menggeliat menjadi hantu
Darah itu merah dipancar terang benderang ke layar lebar
Perempuan liar jangan dibiarkan main main pisau lipat
Naik dari bangku ke dalam saku
lalu menyelinap ke buku-buku
Lalu menggeliat menjadi hantu
Darah itu merah dipancar terang benderang ke layar lebar
Perempuan liar jangan dibiarkan main main pisau lipat
Itu adalah bait kesatu dari lagu “Bioskop, Pisau Lipat”, lagu pertama yang mereka sebarkan dari sepuluh lainnya di album baru NKKBS Bagian Pertama. Nuansanya cenderung mencekam walau musiknya berlanggam pop. “Pisau lipat” terdengar menyeramkan. Bait itu dilanjutkan dengan larik “kami pakai bendera sebagai seragam ketika digelandang ke bioskop jam sembilan”.
Dalam wawancara dengan Vice, Ugo membenarkan bahwa lagu itu adalah bangunan ulang dari pengalamannya “dipaksa” menonton film Pengkhianatan G30S/PKI ketika masih bocah.
Album penuh ketiga itu mereka luncurkan pada Sabtu (9/9/2017) silam. Tentu saja lagu itu mereka mainkan pula. Pertunjukkannya bagus, terlihat lancar hingga selesai. Sialnya, sepekan setelah lagu itu berkumandang di panggung untuk kali pertama, aparat negara masih menunjukkan bahwa propaganda itu masih berlaku. Propaganda bahaya komunis masih meneror warga, meski rezim telah berganti.
Keluarga
Penggalan “kisah bioskop” itu adalah satu cukilan dari narasi besar album. Sebelas lagu dnegan durasi total 47 menit ini berbicara tentang keluarga, dan hal-hal yang terkandung di dalamnya. Ugo sebagai penulis narasinya, mengambil segi norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS).
NKKBS itu adalah program konstruksi keluarga yang dilancarkan pemerintah Orde Baru, sejak pertengahan dekade 1970-an, sebagai penjabaran dari konsep keluarga berencana. “Dua anak cukup” adalah bentuk kampanye NKKBS, yang ujungnya mendengungkan pemakaian alat kontrasepsi. Urusan kawin-mawin disusupi negara.
Tujuan program itu bisa jadi mulia: demi kehidupan keluarga yang lebih sejahtera. Tapi pelaksanaannya tak semudah berucap. Urusan moral tak selesai hanya dengan menyarungkan kondom, atau memaksa perempuan pasang spiral. Coba simak lirik di lagu “Normal, Moral” ini:
“Ada guru Pendidikan Moral Pancasila terus menghantui sepanjang hidupmu,
sebab kau tak peduli saat dia dulu mati bunuh diri
setelah hutang menggunung, kalah judi”
Anak, yang katanya sebaiknya dua saja itu, kelak ketika besar juga dikisahkan menimbulkan riak bagi keluarga. Mereka merantau, pergi dari rumah. Program NKKBS tidak mengajarkan bagaimana sebaiknya orang tua menyikapi anaknya yang tak kunjung pulang. Anak juga bisa jadi tidak tahu harus pulang ke mana.
Pada lagu “Aspal, Dukun”, Melbi bernyanyi, “Sulung bermimpi ke tempat tinggi dan lupa jalan pulang. Bungsu anti kitab suci dan alim ulama. Paman cemas dengan tanda-tanda terutama pelanggan warung pindah agama waralaba.”
Sialan.
Demi “pertunjukkan NKKBS” itu aku pulang setelah lebih dari delapan belas bulan tak menginjakkan kaki di rumah, sok-sokan merantau. Sok-sokan mengatur alur hidup sendiri.
Tempat pulang itu sudah tentu berubah. Aku pakai jemputan yang kupanggil lewat aplikasi di ponsel. Ada lokasi parkir baru di stasiun. Ada kedai Starbucks di Jalan Kaliurang. Ada aspal mulus membelah sawah. Ada kanal televisi kabel di ruang tengah. Ada pendingin udara di kamar tidur. Ada keponakan yang menempati kamar lamaku.
Ada yang tetap: foto keluarga ala diorama NKKBS masih terpajang. Ada juga tempe garit hangat dan sambal bawang di meja.
“Desember diusahakan pulang lagi ya, le…,” pinta Bapak.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar