Kepada VICE, Ugoran Prasad—vokalis band legendaris Yogya ini —menjelaskan persoalan KB, tumbuh besar di bawah teror Orde Baru, dan penyebab album ketiga mereka butuh waktu penggarapan delapan tahun.
Sep 14 2017, 1:26siang
Foto-foto dari arsip band. Diunggah seizin Melancholic Bitch.
Setelah
delapan tahun tak terdengar kabarnya, band asal Yogyakarta, Melancholic
Bitch, tanpa banyak aba-aba merilis album penuh ketiga NKKBS Bagian Pertama yang berisi 11 lagu pada 9 September lalu. Setelah Balada Joni dan Susi muncul
pada 2009, saya terpukau. Rilisan Melancholic Bitch terasa sangat
segar, sebab mereka adalah salah satu band Indonesia yang masih punya
nyali mengelaborasi gagasan besar untuk musiknya.
Saat mendengar Melbi, julukan band ini yang diberikan oleh fans, merilis album ketiga, saya tak sabar menantikannya. Bukan perkara musik saja, tapi karena saya penasaran seperti apa cerita di balik pembuatan albumnya kali ini. NKKBS Bagian Pertama rupanya membahas keresahan Melbi terhadap kontrol pemerintah dalam urusan terkecil—keluarga—hingga represi Orde Baru yang meneror batin para personel Melancholic Bitch yang kini tak bisa dibilang berusia remaja lagi. Sehari setelah pesta peluncuran albumnya tagar NKKBS Bagian Pertama sempat menjadi trending topic di Twitter selama empat jam.
Saya berbincang-bincang dengan vokalis Melbi sekaligus sastrawan, Ugoran Prasad, demi menyelami bermacam aspek dari konsep yang ingin mereka usung di album baru. Pria kelahiran Tanjungkarang Lampung, 6 Oktober 1978 ini adalah simbol Melbi itu sendiri. Selain lirik, dia pula yang menggodok konsep narasi utama dari album mereka. Ugo belakangan sering berpindah-pindah negara, seringkali resah, dan terus berusaha menantang diri sendiri untuk melampaui pencapaian artistik di masa lalu.
Kepada VICE, Ugo menjelaskan kenapa mereka tertarik membahas konsep keluarga kecil bahagia, bonus demografi, undang-undang anti-kontrasepsi, serta alasan Melancholic Bitch tak pernah peduli dengan review bagus atau jelek di website atau majalah musik.
VICE Indonesia: Album ini kalian sebut bagian pertama, apa nanti bakal dibikin semacam trilogi atau tetralogi? Kenapa butuh waktu pengerjaan delapan tahun?
Ugoran Prasad: Kami sih belum tahu akan bikin berapa banyak. Bagian pertama ini adalah semacam proses dengan banyak kolaborator. Di album selanjutnya nanti kita udah kebayang sih, pengin ngajak teman-teman lain buat kerja bareng, jalan-jalan, ngobrol-ngobrol. Sebenarnya di tengah-tengah waktu kemaren ada beberapa proyek di Melancholic Bitch, tapi yang paling menuntut untuk diselesaikan ya album NKKBS Bagian Pertama ini. Proyek lain enggak terlaluurgent. Album ini udah jalan beberapa waktu lalu, kami udah bikin demo, para kolaborator juga cepet banget langsung menggubah banyak hal, bereksperimen bareng dan terus berlanjut.
Dalam Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), seolah-olah Rezim Suharto dulu bisa menjamin keluarga akan bahagia asal menuruti aturan pemerintah. Apakah itu keresahan yang membuatmu mengangkat tema ini?
Problem yang kami rasakan itu bukan pada konsep NKKBS-nya. Benar atau salah itu bukan persoalan. Tapi yang saya rasakan adalah presentasi konsep itu dalam lanskap politik dulu dan sekarang. NKKBS itu sudah menjadi semacam ingatan kolektif yang tertanam. Saya juga pengin bikin keluarga kecil. Namun di belakang itu pemerintah masih saja melakukan kontrol moral, politik dan sosial, belum lagi bias ideologi dan politik.
Bahagia itu apakah bisa diukur? Seperti apa keluarga bahagia untuk seorang Ugo?
Gagasan kebahagiaan itulah letak soalnya. Semua berhak punya mimpi untuk bahagia. Sekarang secara eksplisit pemerintah seolah-olah bisa mengatur kebahagiaan keluarga, makanya ada norma-norma keluarga. Keluarga hendak dijadikan agen perubahan. Ketika negara menstabilisasi peran keluarga lengkap dengan segala infrastrukturnya sampai level paling bawah seperti posyandu dan babinkamtibmas, di situ ada semacam gagasan sosial soal apa yang tabu dan tidak. Dulu mungkin pemerintah memakai cara-cara militer buat mengatur itu semua, tapi di era reformasi sekarang kami justru cemas, bagaimana pemerintah secara implisit beroperasi di sekolah dan keluarga?
Lantas apakah jargon 'banyak anak banyak rezeki' enggak relevan lagi ya?
Saya pribadi mikirnya ini persoalan problematis, secara ekologi enggak memungkinkan apalagi dari segi sumber daya alam. Perkembangbiakan manusia bisa berbahaya kalau enggak dikontrol. Tapi itu pilihan sih. Saya enggak melarang, mereka punya alasan sendiri.
Dari Twitter banyak netizen (sebenernya siapa sih netizen itu?) banyak yang komplain kok cuma main di Yogyakarta aja, kenapa enggak ada tur
Ya karena kendala waktu juga. Tur itu gampang lah, kita sih pasrah aja. Nanti kalau ada kebutuhan tur ya tinggal jalan aja. Saya kebetulan [sedang mukim] di Sidney tapi bisa lah bolak-balik ke Indonesia.
Dua tahun lalu DPR dan pemerintah menggodok revisi KUHP. Ada pasal yang bakal mengkriminalisasi siapa pun yang memamerkan kondom. Apa gagasan ini justru anti terhadap ide keluarga berencana?
Saya lebih melihat logika kontrolnya. Jangan sampai kayak soal kriminalisasi hijab di Perancis. Gampangnya apa orang harus pakai hijab karena tuntutan norma sosial? Enggak kan. Melarang pamer kondom itu bentuk opresi, seolah-olah negara itu adalah orang tua yang menganggap warga sebagai anak yang bodoh.
Menurutmu, bisa ga kita punya konsep keluarga bahagia?
Enggak bisa lah ada konsep gituan. Kalau ada konsep diri yang ideal, gimana kita memaknainya? Kalau di Indonesia mungkin harus punya rumah, mobil, anak. Konsep bisa dibangun. Ideal itu yang gimana sih? Itu kan tergantung kondisi dan situasi.
Ada lirik 'Perempuan liar jangan dibiar/ ibu-ibu liar jangan diberikan pisau lipat' di lagu 'Bioskop, Pisau Lipat' single utama NKKBS. Itu cuma akrobat kata-kata, atau memang ada makna tertentu?
Awalnya saya khawatir soal impresi teks itu, tapi setelah ngobrol dengan Intan Paramadhita (novelis) saya lanjut aja. Ini soal demonizing gerakan perempuan di Indonesia. Kayak di film Pengkhianatan G30SPKI. Gerakan perempuan digambarkan sebagai monster. Di film itu secara harfiah ada adegan perempuan menari dengan liar. Itu impresi masa kecil yang melekat sampai sekarang. Maka saya bikin perempuan jangan dibiarkan main pisau lipat. Padahal di film itu harusnya perempuan memegang silet, tapi enggak tau yang melekat itu pisau lipat. Saya jadi harus belajar soal sejarah gerakan perempuan.
Lantas kenapa kamu menulis lirik 'digelandang ke bioskop jam 9' di lagu yang sama?
Itu bagian dari memori masa kecil menonton film G30SPKI, dulu pas SD kelas 3 atau 4 anak-anak wajib menonton film itu di bioskop. Saya ingat temen-temen perempuan pada menjerit-jerit. Itu dari awal adegannya kan sudah serem, ada rombongan menyerang masjid atau gereja gitu. Kita itu dibikin trauma oleh negara, kita tidak tahu efeknya. Secara psikologis negara harus bertanggung jawab.
Ngomongin soal propaganda Orde Baru apa masih relevan di Abad 21?
Saya enggak tahu. Saya juga enggak mau terlalu romantis. Yang jelas saya pengin ngomongin soal keluarga. Kalau soal relevansi, kita selalu bertaruh. Sejarah yang kita lihat itu parsial, kita cuma melihat fragmen-fragmennya. Bohong kalau ada orang bilang melihat sejarah secara utuh. Salah satu yang bikin kami teguh untuk mengambil isu ini karena kami melihat masih banyak orang membicarakannya. Saya tidak butuh menjadi orisinal, saya cuma ingin mengambil bagian dalam percakapan atau diskursus.
Kamu lebih suka dianggap penulis atau musisi?
Enggak penting. Saya itu amatir. Salahkan Asrul Sani yang bikin arti amatir jadi meleset. Amatir artinya kan mencintai, saya pengin mencintai sesuatu.
Saya beberapa kali nyinyir sama band dan nulis topik kontroversial soal musik. Menurutmu gimana sih kalau ada media yang nulis jelek-jelek soal Melancholic Bitch?
Mau nulis jelek atau bagus enggak masalah. Polaritas bagus dan jelek itu enggak penting. Menyukai sesuatu itu bisa jadi malah merasa bersalah. Ada aspek yang tidak bisa dijelaskan kenapa kita suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Saya lebih suka ketika sesuatu itu mendorong obrolan, bukan kompetisi. Band-band sekarang lebih sibuk kompetisi kayak ikut Indonesian Idol. Itu cuma politik seni. Enggak bikin kaya pemaknaan, malah memiskinkan. Kalau suka silakan, kalau enggak ya udah.
Saat mendengar Melbi, julukan band ini yang diberikan oleh fans, merilis album ketiga, saya tak sabar menantikannya. Bukan perkara musik saja, tapi karena saya penasaran seperti apa cerita di balik pembuatan albumnya kali ini. NKKBS Bagian Pertama rupanya membahas keresahan Melbi terhadap kontrol pemerintah dalam urusan terkecil—keluarga—hingga represi Orde Baru yang meneror batin para personel Melancholic Bitch yang kini tak bisa dibilang berusia remaja lagi. Sehari setelah pesta peluncuran albumnya tagar NKKBS Bagian Pertama sempat menjadi trending topic di Twitter selama empat jam.
Saya berbincang-bincang dengan vokalis Melbi sekaligus sastrawan, Ugoran Prasad, demi menyelami bermacam aspek dari konsep yang ingin mereka usung di album baru. Pria kelahiran Tanjungkarang Lampung, 6 Oktober 1978 ini adalah simbol Melbi itu sendiri. Selain lirik, dia pula yang menggodok konsep narasi utama dari album mereka. Ugo belakangan sering berpindah-pindah negara, seringkali resah, dan terus berusaha menantang diri sendiri untuk melampaui pencapaian artistik di masa lalu.
Kepada VICE, Ugo menjelaskan kenapa mereka tertarik membahas konsep keluarga kecil bahagia, bonus demografi, undang-undang anti-kontrasepsi, serta alasan Melancholic Bitch tak pernah peduli dengan review bagus atau jelek di website atau majalah musik.
VICE Indonesia: Album ini kalian sebut bagian pertama, apa nanti bakal dibikin semacam trilogi atau tetralogi? Kenapa butuh waktu pengerjaan delapan tahun?
Ugoran Prasad: Kami sih belum tahu akan bikin berapa banyak. Bagian pertama ini adalah semacam proses dengan banyak kolaborator. Di album selanjutnya nanti kita udah kebayang sih, pengin ngajak teman-teman lain buat kerja bareng, jalan-jalan, ngobrol-ngobrol. Sebenarnya di tengah-tengah waktu kemaren ada beberapa proyek di Melancholic Bitch, tapi yang paling menuntut untuk diselesaikan ya album NKKBS Bagian Pertama ini. Proyek lain enggak terlaluurgent. Album ini udah jalan beberapa waktu lalu, kami udah bikin demo, para kolaborator juga cepet banget langsung menggubah banyak hal, bereksperimen bareng dan terus berlanjut.
Dalam Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), seolah-olah Rezim Suharto dulu bisa menjamin keluarga akan bahagia asal menuruti aturan pemerintah. Apakah itu keresahan yang membuatmu mengangkat tema ini?
Problem yang kami rasakan itu bukan pada konsep NKKBS-nya. Benar atau salah itu bukan persoalan. Tapi yang saya rasakan adalah presentasi konsep itu dalam lanskap politik dulu dan sekarang. NKKBS itu sudah menjadi semacam ingatan kolektif yang tertanam. Saya juga pengin bikin keluarga kecil. Namun di belakang itu pemerintah masih saja melakukan kontrol moral, politik dan sosial, belum lagi bias ideologi dan politik.
Bahagia itu apakah bisa diukur? Seperti apa keluarga bahagia untuk seorang Ugo?
Gagasan kebahagiaan itulah letak soalnya. Semua berhak punya mimpi untuk bahagia. Sekarang secara eksplisit pemerintah seolah-olah bisa mengatur kebahagiaan keluarga, makanya ada norma-norma keluarga. Keluarga hendak dijadikan agen perubahan. Ketika negara menstabilisasi peran keluarga lengkap dengan segala infrastrukturnya sampai level paling bawah seperti posyandu dan babinkamtibmas, di situ ada semacam gagasan sosial soal apa yang tabu dan tidak. Dulu mungkin pemerintah memakai cara-cara militer buat mengatur itu semua, tapi di era reformasi sekarang kami justru cemas, bagaimana pemerintah secara implisit beroperasi di sekolah dan keluarga?
Lantas apakah jargon 'banyak anak banyak rezeki' enggak relevan lagi ya?
Saya pribadi mikirnya ini persoalan problematis, secara ekologi enggak memungkinkan apalagi dari segi sumber daya alam. Perkembangbiakan manusia bisa berbahaya kalau enggak dikontrol. Tapi itu pilihan sih. Saya enggak melarang, mereka punya alasan sendiri.
Dari Twitter banyak netizen (sebenernya siapa sih netizen itu?) banyak yang komplain kok cuma main di Yogyakarta aja, kenapa enggak ada tur
Ya karena kendala waktu juga. Tur itu gampang lah, kita sih pasrah aja. Nanti kalau ada kebutuhan tur ya tinggal jalan aja. Saya kebetulan [sedang mukim] di Sidney tapi bisa lah bolak-balik ke Indonesia.
Dua tahun lalu DPR dan pemerintah menggodok revisi KUHP. Ada pasal yang bakal mengkriminalisasi siapa pun yang memamerkan kondom. Apa gagasan ini justru anti terhadap ide keluarga berencana?
Saya lebih melihat logika kontrolnya. Jangan sampai kayak soal kriminalisasi hijab di Perancis. Gampangnya apa orang harus pakai hijab karena tuntutan norma sosial? Enggak kan. Melarang pamer kondom itu bentuk opresi, seolah-olah negara itu adalah orang tua yang menganggap warga sebagai anak yang bodoh.
Enggak bisa lah ada konsep gituan. Kalau ada konsep diri yang ideal, gimana kita memaknainya? Kalau di Indonesia mungkin harus punya rumah, mobil, anak. Konsep bisa dibangun. Ideal itu yang gimana sih? Itu kan tergantung kondisi dan situasi.
Ada lirik 'Perempuan liar jangan dibiar/ ibu-ibu liar jangan diberikan pisau lipat' di lagu 'Bioskop, Pisau Lipat' single utama NKKBS. Itu cuma akrobat kata-kata, atau memang ada makna tertentu?
Awalnya saya khawatir soal impresi teks itu, tapi setelah ngobrol dengan Intan Paramadhita (novelis) saya lanjut aja. Ini soal demonizing gerakan perempuan di Indonesia. Kayak di film Pengkhianatan G30SPKI. Gerakan perempuan digambarkan sebagai monster. Di film itu secara harfiah ada adegan perempuan menari dengan liar. Itu impresi masa kecil yang melekat sampai sekarang. Maka saya bikin perempuan jangan dibiarkan main pisau lipat. Padahal di film itu harusnya perempuan memegang silet, tapi enggak tau yang melekat itu pisau lipat. Saya jadi harus belajar soal sejarah gerakan perempuan.
Lantas kenapa kamu menulis lirik 'digelandang ke bioskop jam 9' di lagu yang sama?
Itu bagian dari memori masa kecil menonton film G30SPKI, dulu pas SD kelas 3 atau 4 anak-anak wajib menonton film itu di bioskop. Saya ingat temen-temen perempuan pada menjerit-jerit. Itu dari awal adegannya kan sudah serem, ada rombongan menyerang masjid atau gereja gitu. Kita itu dibikin trauma oleh negara, kita tidak tahu efeknya. Secara psikologis negara harus bertanggung jawab.
Ngomongin soal propaganda Orde Baru apa masih relevan di Abad 21?
Saya enggak tahu. Saya juga enggak mau terlalu romantis. Yang jelas saya pengin ngomongin soal keluarga. Kalau soal relevansi, kita selalu bertaruh. Sejarah yang kita lihat itu parsial, kita cuma melihat fragmen-fragmennya. Bohong kalau ada orang bilang melihat sejarah secara utuh. Salah satu yang bikin kami teguh untuk mengambil isu ini karena kami melihat masih banyak orang membicarakannya. Saya tidak butuh menjadi orisinal, saya cuma ingin mengambil bagian dalam percakapan atau diskursus.
Kamu lebih suka dianggap penulis atau musisi?
Enggak penting. Saya itu amatir. Salahkan Asrul Sani yang bikin arti amatir jadi meleset. Amatir artinya kan mencintai, saya pengin mencintai sesuatu.
Saya beberapa kali nyinyir sama band dan nulis topik kontroversial soal musik. Menurutmu gimana sih kalau ada media yang nulis jelek-jelek soal Melancholic Bitch?
Mau nulis jelek atau bagus enggak masalah. Polaritas bagus dan jelek itu enggak penting. Menyukai sesuatu itu bisa jadi malah merasa bersalah. Ada aspek yang tidak bisa dijelaskan kenapa kita suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Saya lebih suka ketika sesuatu itu mendorong obrolan, bukan kompetisi. Band-band sekarang lebih sibuk kompetisi kayak ikut Indonesian Idol. Itu cuma politik seni. Enggak bikin kaya pemaknaan, malah memiskinkan. Kalau suka silakan, kalau enggak ya udah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar