Kitab Ajaran Keluarga Para Jalang Melankolis
Ada sebuah shelter bus Trans Jogja di ujung selatan
kawasan Malioboro, berdiri berhadap-hadapan dengan Taman Pintar. Pada hari-hari
yang riuh, akhir pekan yang panjang, shelter
itu akan penuh sesak dengan calon penumpang yang hendak beranjak ke ragam
penjuru angin Jogjakarta. Antrean bisa mengular hingga ke tangga landai yang
ujungnya menyatu ke permukaan trotoar. Beberapa menit sekali, bus Trans Jogja
akan singgah mengangkut penumpang.
Jika bus-bus
yang datang dari timur telah sama penuhnya dengan isi shelter, maka antrean panjang itu harus bersabar sekali lagi. Hanya
satu dua akan terangkut. Sisanya terpaksa melengos beberapa kali. Menunggu bus
yang datang belakangan.
Lalu bus
yang lebih lengang tiba. Penumpang naik satu per satu, dan udara di shelter sempit kembali melegakan.
Dalam sejumlah
lawatan ke Jogja, saya beberapa kali menumpang Trans Jogja dari shelter di depan Taman Pintar itu.
Biasanya setelah seharian mengeluyur sendirian di Malioboro dari ujung ke ujung.
Perjalanan mengelayap umumnya akan saya akhiri di pasar buku di belakang Taman
Pintar, mencomot beberapa buku untuk di bawa pulang. Berjalan kaki dari pasar
menuju shelter memakan waktu kurang
dari 3 menit.
Namun pada
kunjungan ke Jogja di bulan Januari 2014, situasinya berubah sedikit berbeda. Menunggu
bus datang di shelter yang sama terasa
nelangsa detik demi detik. Kala itu saya memilih bersandar di salah satu sisi
pintu penaikan-penurunan penumpang yang hampir tak pernah tertutup. Beruntungnya,
halte pada hari-hari itu cukup lengang. Cuaca Jogja tak begitu panas, bahkan
cenderung abu-abu. Mendung.
Mata
saya
tak lepas dari kendaraan yang mencoba membelah jalanan sekencang
mungkin, sebelum hujan benar-benar turun. Tak ada yang mau terjebak
hujan di jalanan.
Mata saya tak lepas, namun pikiran saya sedang tidak ada di sana. Tidak
di
jalanan itu, tidak di dalam shelter. Tidak
sekalipun mengekor sepeda motor yang berlalu. Saya memang terserang sakit jiwa
tingkat pertama waktu itu. Suasana di sekitar shelter yang sesungguhnya baik-baik saja berubah menjadi serba
sentimentil.
Lalu hujan
akhirnya benar-benar turun.
Pada saat
itu, sayup-sayup intro “Departemental Ditties
and Other Verses” mulai terdengar. Lalu sealbum penuh “Re-Anamnesis”, milik
Melancholic Bitch (Melbi). “We are very
slightly change…”
Sejak saat
itu, segala tentang Melbi menjadi serba melekat pada suasana shalter busway di selatan Malioboro itu.
Pada sendunya yang remang-remang, sebelum dindahkan ke dalam ragam situasi yang
lain. Eksistensi fisikal shelter yang
tiga dimensi barangkali telah samar-samar, namun saya menyimpannya sebagai
sebuah kategori perasaan tersendiri.
Lagu-lagu
Melbi diramu untuk mengiyakan kegelisahan a
la shelter itu. Memperbincangkan cinta dengan cara dan sudut pandang tak
jamak. Makna literer shelter sebagai
tudung perlindungan dimaknai ulang sebagai cukup ruang personal untuk
memahami kegelisahan. Menciptakan rasa aman yang hadir dari penerimaan dan
usaha untuk mengerti.
Lalu
pada
putaran lagu-lagu Melbi yang kedua, saya mulai menyimak liriknya dengan
saksama. Setiap katanya seolah dijahit berdasarkan riset puluhan tahun
atas
kebudayaan manusia. Setiap katanya dipilih secara hati-hati sebagai
sajak, sebelum ditimpali dengan bebunyian dari instrumen yang kaya. Di
dalam musiknya saya temukan instalasi cermin untuk sebuah refleksi.
Pada putaran
ketiga dan selanjutnya, yang terjadi adalah adiksi menahun.
Sebagaimana
terhadap banyak band favorit, saya diam-diam mulai menyimpan asa untuk
menyaksikan band ini secara langsung, hadap ber hadapan. Masalahnya, Melbi
sendiri bukanlah band yang mudah ditemui. Sebagaimana lagu-lagunya mengubah
sebuah shelter Trans Jogja menjadi imaji tak terjelaskan yang melulu
kontekstual, eksistensi band ini pun hampir sama abstraknya.
Konon sejak
merilis “Balada Joni dan Susi” -album penuh kedua mereka- pada tahun 2009,
penampilan live Melbi dapat dihitung
dengan jari sebelah tangan. Personelnya lebih banyak berkutat dengan urusan
masing-masing. Salah satunya melanjutkan studi ke luar negeri, yang lain
berkeliling Indonesia sebagai sound
engineer. Mite tentang Melbi diperbincangkan kasak-kusuk, sementara
bandnya, sebagaimana istilah yang dipergunakan banyak media, memasuki fase
hidup segan mati tak mau.
Namun pada
suatu hari, tanpa gerhana atau meteorit, laman media sosial mereka mendadak
genit kembali dan sibuk bercuit-cuit. Melbi menggoda penggemarnya dengan
isyarat kelahiran sebuah proyek baru. Lalu tanggal konser pada permulaan
September segera ditetapkan. Yang membahagiakan dua kali lipat, konser tersebut
sekaligus menjadi ajang peluncuran album mutakhir mereka setelah 8 tahun, NKKBS
Bagian Pertama.
::
Saya tiba di
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM 15 menit kurang pukul 7
malam. 12 jam sebelumnya, saya masih menunggu kereta api di stasiun Senen.
Pintu arena
pertunjukan masih tertutup sekenanya. Selain para penjaga pintu, aktivitas
panitia hanya tampak di booth penukaran
dan pembelian tiket. Sementara orang-orang yang menunggu menyemut hingga ke
halaman parkir. Saya memilih merebahkan diri di salah satu pojok yang lengang
dekat pintu masuk. Ketika pukul 7 terlampaui, belum ada tanda-tanda pintu akan
dibuka. Saya melanjutkan apa yang telah saya lakukan sejak pertama kali tiba;
mengamati detil-detil album baru Melbi di tangan saya.
Nomor-nomor
di dalam NKKBS Bagian Pertama dijuduli dengan cara yang ganjil. Umumnya terdiri
atas dua kata atau frasa, dengan dipisahkan koma di tengahnya. “Normal, Moral”,
“Dapur, NKK-BKK”, “Aspal, Dukun”, “Selat, Malaka”, semisal. Satu-satunya lagu
dengan judul yang memenuhi unsur sebuah kalimat normal tersisa di akhir album,
“Lagu untuk Resepsi Pernikahan”. Saya menebak-nebak alasannya. Jika
mengingat-ingat kebiasaan artistik Melbi, cara penulisan ini barangkali adalah
sebuah detil metaforis yang tak lepas dari tema umum album itu sendiri.
Lamunan saya
buyar ketika para penjaga pintu mulai sahut menyahut menyilakan orang-orang
untuk masuk ke gedung. Saya bergabung ke dalam antrean masuk.
Malam itu,
Interior PKKH dibalut dengan kain hitam sepenuhnya. Kami harus melalui koridor,
sebelum kain hitam panjang itu menemui ujungnya. Di sisi dalam telah berdiri sebuah panggung
besar dengan instalasi patung yang terbungkus terpal, dililit berutas tambang.
Sayup-sayup diperdengarkan lagu mars Keluarga Berencana (KB) lewat pengeras
suara. Sementara di latar panggung diproyeksikan potongan gambar dari proyek
seni rupa “Indonesian Family Potrait
Series” karya Akiq AW. Syahdan, NKKBS Bagian Pertama terinspirasi dari
serangkaian intalasi ini.
Tepat pukul
8, Nadya Hatta yang mengisi seluruh bagian keyboard
dalam album ini naik ke panggung. Ia mulai memainkan sejumlah nada, sebelum
vokalis Melbi yang kesohor itu menyusul naik. Dari kerongkongannya yang penuh
asap sigaret, mulai berdengung lirik yang segera saya kenali.
“We are very slightly change / From a semi
apes who range / India’s prehistoric clay / India prehistoric clay //”
Departemental Ditties didapuk
sebagai intro konser. Saya menyeru sendiri dengan haru tertahan mengiringi Ugo
bernyanyi. Pada nada terakhir, konser berlanjut dengan resital seluruh isi
album NKKBS Bagian Pertama, dari awal hingga lagu terakhirnya.
::
Mendengarkan
NKKBS Bagian Pertama ibarat membaca sebuah laporan penelitian sosial
komprehensif mengenai struktur sosial masyarakat Indonesia sejak merdeka. Di dalamnya, Orde
Baru ditempatkan berdiri di tengah-tengah, membagi titi mangsa sejarah
kebangsaan diantara pendahulu dan setelahnya.
Konteks NKKBS Bagian Pertama rasanya telah dimulai jauh semenjak bulan-bulan jelang
kemerdekaan. Pada sebuah perdebatan di BPUPKI, Prof. Soepomo mengajukan sebuah
konsep kontroversial mengenai bentuk negara yang hendaknya dianut Indonesia
kelak. Ia menyebut dengan malu-malu Jepang dan Jerman, dua negara yang notabene
mengawali kekacauan Perang Dunia II, sebagai sumber inspirasinya. Malu-malu,
karena sebelum terlalu jauh dituding mencomot gagasan fasis, Soepomo buru-buru
berkilah bahwa konsep yang ia bawa tak sepenuhnya sebangun dengan idelogi itu.
Yang hendak ditekankannya adalah betapa negara haruslah mencakup segala tanpa
terkecuali di dalam sistem yang meniru dinamika keluarga. Pemerintah
menjalankan lakon sebagai seorang ayah.
Salah satu
konsekuensinya, konstitusi Indonesia kelak tak perlu memuat klausul-klausul
mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Selain dituding kelewat liberal dan
kebarat-baratan, perlindungan HAM sudah menjadi wewenang intrinsik pemerintah, tanggung
jawab moral struktural, sehingga tak perlu diucapkan secara formal di dalam
perundang-undangan. Beruntung di dalam forum yang sama bermukim sosok Hatta dan
Yamin. Ide ini, pada akhirnya, tak benar-benar diterapkan secara utuh.
Namun
kerangka pengaman yang didirikan para pendiri bangsa dari bahaya laten
integralisme itu rupanya tak benar-benar kuat. Mudah ditebak, karena hanya
berwujud satu pasal di dalam UUD 1945. Kekuasaan tokoh-tokoh revolusi 1945
berakhir pada tahun 1966, beberapa bulan setelah peristiwa kontroversial G30S.
MPR sebagai lembaga tertinggi negara pada waktu itu mengalihkan mandat
pemerintahan dari tangan Soekarno kepada Soeharto, sang pahlawan G30S. Orde
Baru berdiri di atas remah-remah rezim sebelumnya.
Di tangan
Soeharto, konsep integralistik akhirnya menemukan dimensi praktikal. Di
dalam monograf bertajuk “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam
Politik”, Saya Sasaki Shiraishi menggambarkan bagaimana sang Jendral berusaha memapankan
posisinya sebagai bapak bangsa. Warga negara diperlakukan sebagai anak yang
harus senantiasa manut terhadap standar moralitas rezim. Slogan Tut Wuri Handayani diwacanakan ulang
sedemikian rupa dalam relasi kuasa a la militer,
sehingga kepatuhan setiap orang menjadi tak bersyarat. Segala bentuk
penyimpangan sudah sepantasnya dihukum sebagai bentuk kasih sayang. Pemahaman ini
belakangan melegitimasi tindakan represif Orde Baru atas ekspresi yang
bertentangan dengan haluan politik rezim, atau apa-apa yang dinilai dapat
mengganggu stabilitas.
Dan negara
yang dijalankan dengan prinsip kekeluargaan membawa konsekuensi lain. Di dalam
sebuah keluarga, batas-batas antara privasi anggotanya hampir-hampir samar.
Keluarga adalah oikos itu sendiri,
muasal pranata rumah tangga yang paling asali. Dengan demikian di dalam negara
kekeluargaan, pemisahan antara yang privat dan yang publik berusaha dihilangkan.
Negara perlu menyerobot dan mengontrol ruang-ruang paling pribadi warga
negaranya dalam kedudukannya sebagai pemimpin pranata keluarga. Mereka perlu tahu siapa gadis yang dibawa anak
laki-lakinya ke dalam kamar, dan pada pukul berapa mereka bersenggama. Negara
harus tau masakan apa yang di masak ibu hari ini. Negara perlu mengetahui
berapa anakmu, dan kalau perlu, mengatur jumlahnya.
Konsep
keluarga ideal pada akhirnya menjadi wacana dominan dalam sentrum politik
Indonesia, dan semakin mapan di era Orde Baru. Melalui beragam kanal, ia
menelusup sebagai doktrin yang menjamah sub-sub kesadaran manusia Indonesia.
Sekalipun tatanan Orde Baru telah berakhir hampir 20 tahun silam, gaungnya
tetap terasa hingga hari ini. Bagi mereka yang lahir dan bertumbuh sebelum ’98,
kesadaran itu barangkali masih utuh. Namun bagi generasi yang lebih muda,
pengetahuan sadar mengenai daya rusak Orde Baru hanya dapat dikenali melalui
informasi pihak kedua, ketiga.
Narasi besar
album NKKBS Bagian Pertama kemudian menjadi peretas bagi gap ingatan antar
generasi itu. Fokus utamanya memang tentang pembacaan kritis atas konsep
keluarga a la Orde Baru. Namun
apabila ditimbang-timbang, NKKBS justru telah beranjak kepada sebuah epos yang
hampir lengkap mengenai percobaan rekayasa sosial yang berusaha ditutupi rezim
dengan gincu pembangunan. Kadang-kadang tekstual, namun lebih banyak disampaiakn
dengan majas dan lelucon gelap, dingin.
Sejak track
pertama, saya dibawa kepada banyak tinanda tandingan atas diksi-diksi yang
kerap digunakan Orde Baru di dalam demagoginya. Kita tahu, kata “hantu” selama
Orde Baru terpersonifikasi di dalam propaganda anti Komunisme, agar ideologi
yang disebut belakangan terus-terusan hadir sebagai musuh bersama. Melbi mengajukan
“Bioskop, Pisau Lipat” sebagai single pertama album NKKBS. Sebuah balada
tentang memakai “bendera sebagai seragam,” ketika “digelandang ke bioskop jam 9”.
“Bioskop, Pisau Lipat” dirancang untuk lebih mudah dicerna dan dinyanyika ulang,
dan dengan demikian, membangkitkan sebuah trauma kolektif masa sekolah dasar.
Pendekatan hantu
Orwellian a la Orde Baru tidak hanya berkutat
pada wacana anti komunisme. Ia meraba jauh ke sela selangkangan, ke atas tubuh
perempuan. Di dalam “Normal, Moral”, pelekatan gaib sang “hantu” dialihkan pada
subyek guru Pendidikan Moral Pancasila yang hadir di “ranjang tempat kau
bercumbu,” dan “tidak senang mendapati istrimu tak lagi perawan.” Sang guru
adalah wakil dari big brother yang mengonstruksikan
alam bawah sadar manusia Indonesia dengan gagasan tentang keperawanan sebagai
prasyarat ideal seorang wanita lajang.
Ajaibnya,
beberapa hari setelah album ini dirilis, seorang hakim mengusulkan tes
keperawanan sebagai prasayarat pernikahan. Apabila seorang perempuan gagal
melaluinya, negara dapat mengambil tindakan preventif dan represif. Novum maha tolol ini diklaimnya dapat
menekan tingkat perceraian, sehingga laki-laki tak perlu rugi menikahi wanita
yang tak lagi perawan. Si hakim adalah dokumentasi aktual dari generasi yang merawat
nilai-nilai yang tengah dicemooh Melbi. Saya terpukau dan hampir-hampir mengira
bahwa Ugoran Prasad dan kolektifnya memang merupakan sekumpulan nabi.
Keberlanjutan
wacana politis Orde Baru dalam situasi kekinian dapat dibaca di lagu lain. Nomor
“666,6” dinyanyikan sebagai kritik gamblang terhadap rendahnya literasi dan
kemahiran saintifik masyarakat Indonesia, dibanding penguasaan mereka terhadap
kitab suci. Kecenderungan yang muncul belakangan di kalangan orang beriman justru
skeptisisme atas perkembangan ilmu. Perdebatan tidak perlu mengenai bentuk bumi
kembali mengemuka ke ruang publik setelah ratusan tahun. Lagu tersebut dijuduli
dengan epigram jumlah ayat Al Quran, seolah-olah menunjukkan adanya pemahaman
yang terbalik tentang relasi agama dan akal sehat.
Yang berbahaya,
kemalasan membaca itu berbanding lurus dengan syahwat untuk memaksakan moralitas
agama sebagai standar retribusi hukum. Lelaku masyarakat dinilai berdasarkan “apa
yang surga, apa yang neraka.” Artinya, peran agama semakin di dorong untuk
masuk ke urusan polis secara utuh.
Apa yang
terjadi hari ini barangkali adalah buah dari pergeseran konstituensi Orde Baru
pada dekade terakhir rezim. Sejak 1965, Angkatan Darat (AD) menjadi lengan
politis utama Soeharto. AD membantunya membangun fundamen-fundamen dasar
pemerintahan, dimulai dari elemen-elemen
prinsipil hingga ke dalam praktik birokrasi. Namun di akhir ’80-an, sang
jendral memutuskan memperbaiki hubungan dengan kaum islamis yang selama ini
dipecundanginya.
Robert Hefner
di dalam “Civil Islam” menyebut, rekonsiliasi ini bermula oleh keputusan
Soeharto untuk menunaikan ibadah haji. Haji notabene adalah rukun agama yang
memiliki kuasa labeling penting dalam
pergaulan sosial masyarakat Indonesia. Dapat diartikan, sang jendral berusaha
meminimalisasi citra sekular dan kejawen yang selama ini dia tunjukkan, dengan
meraih status sosial tertentu. Soeharto kemudian menyokong pendirian
pranata-pranata sosial berbau keislaman, sekalipun tidak mengiyakan seluruh
tuntutannya, termasuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di akhir
kekuasaan Orde Baru, ketika huru-hara krisis ekonomi mulai terjadi, militer
diam-diam membentuk unit-unit kombatan sipil di bawah naungan program Pamswakarsa.
Komposisinya terdiri atas beragam latar belakang ideologi dan sosial, termasuk
kaum islamis. Pada hari ini, ketika mereka yang menklaim bernafas Pancasila
tampak kekurangan ekspos kamera, kolektif yang disebut belakangan justru
semakin berkembang dalam kecepatan yang mengkhawatirkan, serta aspirasi politik
yang vulgar; membentuk tatanan sipil berdasarkan “apa yang surga, apa yang
neraka.”
Selain
kekayaan wacananya, NKKBS Bagian Pertama juga melangkah lebih jauh dalam
ekplorasi musikalitas. Dua album pendahulunya dihidangkan dengan rona yang
lebih gelap, meminjam unsur-unsur psychedelic
dan post-punk ’80-an. Di dalam NKKBS, Melbi melakukan pengayaan dengan musik rock
yang lebih segar dan bergerigi. “Aspal, Dukun” mengocok gitar dan melengking
dengan sentuhan rockabilia, sehingga terdengar menyenangkan untuk didengarkan sembari
berkendara di jalan raya. Kebetulan, lagunya bertutur tentang franchise toko serba ada yang berkembang
biak mengikuti pertumbuhan aspal. Masuk ke pelosok-pelosok, hingga dituding
sebagai “jimat orang kota.”
Dengarkan
pula nomor penutup “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” yang menggelikan. Struktur nadanya
memang memenuhi kriteria ideal lagu pengiring pengantin, namun liriknya membawa
pesan yang jomplang. Ia mencerca praktik resepsi pernikahan hari ini yang gemerlap,
namun menyisakan utang. “Cinta…” ujarnya “diseret paksa” sehingga pelaminan
dapat terisi oleh pasangan yang berbahagia. “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” menjadi
bab akhir bagi NKKBS Bagian Pertama dengan simpulan yang cenderung melankolis atas
institusi keluarga.
::
11 lagu di
dalam NKKBS Bagian Pertama purna dibawakan Melbi dalam 46 menit. Enam orang di
atas panggung memohon undur diri. Namun pertunjukan belum selesai. 10 menit
berselang, para personel Melbi kembali ke atas panggung dengan kaki-kaki yang
lebih segar.
Jika pada
sesi pertama penonton lebih banyak tergagu, sesi kedua konser NKKBS ibarat
pelukan panjang pelepas rindu para penggemar Melbi. Sungguh hangat dan karib.
Sebuah intro
panjang digaungkan, menemani salam-salam Ugo kepada mereka yang menunggunya.
Berturut lelagu penting mulai dinyanyikan dari kerongkongannya yang masih penuh
asap. “Akhirnya Masup Tipi”, “Tentang Cinta”, “7 Hari Menuju Semesta”, “Mars
Penyembah Berhala”, “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Ruang Angkasa”, “The
Street”, “Menara” hingga “Nasihat yang Baik”. Sepanjang set kedua, gedung PKKH riuh
dan penuh oleh paduan suara dadakan para penonton.
Saya sendiri
terus bernyanyi kesetanan seperti orang-orang yang lupa jalan pulang. Diam-diam,
NKKBS mengganti imaji tentang shelter Trans
Jogja di selatan Malioboro. Yang tersisa dari sana adalah refleksi yang
menerus, sementara kegusarannya menguap ke udara. Meluruh sepenuhnya dengan
lampu sorot warna-warni dan keringat beterbangan. Saya melompat dengan beringas
ke kanan dan ke kiri, ke depan ke belakang, setengah lupa bahwa di sekitar saya
masih ada orang lain. Mengacungkan lengan di “Mars Penyembah Berhala”,
berteriak-teriak semaunya. Merekam “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Ruang
Angkasa” untuk pacar yang batal turut serta karena acara keluarga mendadak. Sang
terang, bagaimanapun, harus tetap merasakan secuil atmosfer NKKBS.
Saya bersikap
seolah konser malam ini adalah konser terakhir Melbi dalam beberapa tahun. Atau
seolah akan menunggu lama kembali untuk NKKBS Bagian Kedua.
Namun pada
akhirnya, Melbi buru-buru menepis ketakutan ini. Konon, tidak akan ada lagi
penantian hingga 7 tahun atau lebih. “Kita akan segera bertemu kembali,” tegas
Ugo sebelum mengajak Melbi berpamitan yang sebenar-benarnya. (*)