Joni & Susi Dalam Kisah lain (Potret
Cerita Rekaan)
Joni menyapa
kita begitu heroik pada album BJS milik melancholic bitch, pemuda itu rela
menjadi apa yang masyarakat gariskan untuk nasibnya – memasupkannya dalam
televisi 14 inci – laksana pariah yang dipertontonkan, padahal sesungguhnya ia
hanya melaksanakan nubuat dalam pelarian
cinta mereka yang tak ingin sedikitpun melibatkan polisi. Joni ingin memberikan
roti atau apel pada saat Susi demam dan terbaring gemetar. Joni mencintai Susi.
Susi mencintai Joni.
Jakarta, November 2014.
Joni setelah
Pelarian
Waktu mengantar seseorang untuk meninggalkan masa
lalu tapi biasanya melankoli dan segala cuaca cukup ampuh membawa sejumput
riak-riak ingatan pada yang lalu. Mungkin kisah atau cinta. Begitupula bagi
seorang Joni, lepas masa kurungan karena kedapatan mencuri Apel, ia kini
menjalani hidup susah payah, term
sebagai orang kurungan menghambat dirinya mencari pekerjaan. Apalagi ini
Jakarta kota megapolitan yang kejamnya beratus kali lipat dari makian guru
ngajinya sewaktu kecil.
Joni di pinggiran Jakarta harus bertempur setiap
menit bahkan detiknya, ia harus berlomba dengan sekumpulan kawan pangkalannya
yang lain. Tamatan SMA itu dengan urat mengencang berteriak pada calon sewa
yang lalu lalang lewat di depannya. “stasiunn mass?!...”, “kantor, kantor
paaak?!!”, “mbaa, pasar mbaa....” Joni menawarkan destinasi yang mungkin
orang-orang itu ingin tuju. Dari atas motor ia memperlihatkan gestur pemasaran
jasanya yang serius, dengan tangan yang teracung-acung pada mereka.
Masa silam membawa Joni ke hidup yang sekarang,
sejatinya begitulah hari-hari Joni lewati. Perpisahannya dengan sang gadis
menohok dirinya, ia KO mendapati Susi tak ada menjenguknya dalam tembok derita.
Kesedihan yang menghempaskan segala harapannya, pelarian dengan sang gadis
baginya merupakan kisah masterpiece dalam hidupnya, tapi kemana ia? Dimana
dirinya? Tidak kah rajam-rajam hukuman telah ia tebus untuk apel yang telah
dicuri di supermarket, kala sang gadis demam dan terbaring gemetar.
Ada cacat dalam hidup Joni. Persis korban stigma
1965, sesuatu yang tiba-tiba menempel seumur hidup, mantan napi. Dan Joni
bukanlah pejabat-pejabat lokal yang meski telah mendapat stempel napi dan
menjalani masa kurungan tetap menerima tawaran bisnis usaha atau proyek penuh
laba. Namun yang lebih menyakitkan dan kerap melebamkan hatinya adalah
kehilangan sang gadis.
“Kita memandang jauh seperti ada yang tertinggal
Seperti sesuatu diam-diam berharap yang kekal
Selesai dan menghilang
Selesai dan menghilang
Yang menghilang menjauhlah.”*
Seperti sesuatu diam-diam berharap yang kekal
Selesai dan menghilang
Selesai dan menghilang
Yang menghilang menjauhlah.”*
Susi Usai
Pelarian
Mimpi telah selesai, seseorang telah dibangunkan
dengan tiba-tiba, Susi tergagap-gagap. Keindahan masa lalu kekal dalam ingatan.
Ia tak menyangka semuanya berakhir. Pria itu tak didapatinya kembali setelah
meminta izin pergi meninggalkannya terbaring di sebuah emperan toko beralas
koran malam itu. Badannya demam dan gemetar, wajahnya pasi, bibirnya memucat.
Hanya sayup-sayup ia mendengar suara, “ada maling-ada maling...”, “ada orang
dipukuli...” di ambang sadarnya ia terus mengingat pria yang begitu ia cintai.
Perasaannya begitu tak enak. Perutnya mual kepalanya pening.
Susi telah melawati serangkaian peristiwa, pelarian
itu membekas di benaknya, merajah sepenggal nama di hatinya. Ia tak tahu harus
mencari kemana pria itu, dan sumpah mati ia ingin sekali bertemu. Entah di
perempatan jalan, di toko, mall, rumah ibadah, warung makan, dimanapun ia ingin
bertemu. Kerinduan yang ia terus alami sepanjang waktu. Pria yang telah
menawarinya kebahagiaan dan ia merengkuhnya. Pertanyaan yang belum ia temukan jawabnya,
kemana ia pergi? Dan kenapa tak kembali?
Pagi itu Susi telah bersiap, ia akan berangkat
bekerja, Susi menjadi pegawai toko di sebuah mall di pusat Jakarta. Domisilinya
berpindah, paska ditemukan pingsan oleh orang-orang di emperan toko di tengah Kota,
ia dan keluarganya harus pindah mencari tempat bernaung yang baru. Tunggakan
kontrakan menghempaskan mereka dari hunian yang lama. Mereka mencari kontrakan
baru, meninggalkan segala impian masa lalu yang telah dibawa pria itu.
Adakah yang pernah merasakan sakit karena
ditinggalkan? Seperti apakah nyeri itu? Bergelung-gelung di hati sepanjang
waktu. Kegelisahan yang memanjang, menggerogoti hati dan pikiran. Susi merasa
ditinggalkan, oleh harapan, gadis muda itu kini sering kehilangan keceriaan,
ada yang membeku pada sisi dalam dirinya. Di ruang toko pagi itu tiba-tiba Susi
merasa ac terlalu dingin.
“Kita berdiri
gemetar, seperti di lorong kosong
Seperti
sepotong batu langit terbakar jadi debu
Kita di cekal
mimpi, seperti tidak di sini
Seperti
segenggam luka baru kaca rapuh renta.”*
Catatan:
tulisan ini sepenuhnya dibangun penulis dengan mengarang, apa yang mungkin
menjadi tidak semestinya dan kurang berkenan atas ide aselinya di album
BJS-Melbi, penulis mohon dibukakan pintu maaf selebar-lebarnya.
*lirik lagu melancholic bitch, Kabar dari Tepi Atap
Pencakar Langit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar