O ya, karena tulisannya panjang, di bagi dua postingan ya.. :)
Tulisan Melbi
From : reski okky
To : me
Permisi, Maaf mengganggu,
saya okky,
salam
kenal sebelumnya, sudah lama saya menyimak blog kotak gelas, dan
menemukan banyak tulisan bagus tentang melbi, sebuah blog yang
didedikasikan untuk mereka yang menggemari grup ini dalam skala yang
tidak main-main. saya pun pernah memberanikan diri menulis tentang
mereka. meski saya tidak tau juga tulisan ini bagus atau tidak. benar
atau salah. saya hanya ingin berbagi kesukaan pada melbi dengan mereka
yang sama-sama menyukainya. berikut saya lampirkan tulisan saya,
sebelumnya tulisan ini pernah saya muat di kanal keroyokan dengan
beberapa teman: mengebiriwaktu.tk.
terima kasih untuk perhatiannya, salam.
okky
*********
Menghidupi Narasi-Narasi
Yang Tidak Sekedar
Sepengalaman
saya, sesungguhnya saya hampir tidak pernah terinspirasi oleh keindahan kasih
kinasih di sekitar saya, semuanya sudah terasa hambar, saya merenung dan
berfikir mengapa hal seindah cinta kini bisa hadir begitu banal di permukaan,
mungkin saya yang salah dalam mengantisipasi semangat zaman, atau saya telah dikalahkan. Semangat zaman
berlari begitu cepat dan saya terseok-seok mengejarnya, saya mendapati
sekeliling saya, dimana segalanya begitu terstandarisasi - dalam mengemas cinta dan mengumbarnya, lagu-lagu
yang tidak puitis, film-film yang stagnan dan sinetron-sinetron yang ajaib.
Beruntung
saya terselamatkan, menemukan katarsis,
saya yang babak belur dipukuli zaman menemukan oase, obat penyembuh dan seketika
ada embun yang bermunculan di kerongkongan saya, lirik-lirik gelap yang puitis,
semangat cinta yang begitu rock n roll namun romantis segera membekap alam atas
dan bawah sadar saya. Pernyataan-pernyataan cinta semacam inilah yang sesungguhnya
saya nantikan dalam hidup saya, ia begitu jujur dan polos, mengumbar realitas
sepenuhnya dan bukan sesuatu yang semu. Saya menemukan keberadaan saya pada
band ini, ada sesuatu yang dalam pada tubuh Melancholic Bitch, ya band itu, sesuatu
yang ketika saya tenggelam masuk ke dalamnya, bisa dipastikan saya begitu sulit
keluar, melainkan terus terhempas semakin dalam, dan dalam. Saya menikmati
kedalaman isi yang dipaparkan Melancholic Bitch.
Melancholic
Bitch adalah band asal Yogyakarta yang terbentuk di akhir tahun 90an.
Beranggotakan Yosef herman Susilo (Electric-Acoustic Guitar, Mix-Engineer),
Ugoran Prasad (Voice, Lyric), Yennu Ariendra (Electric Guitar, Synth, Laptop),
Septian Dwirima (Percussion, Laptop); The Wiryo Pierna Haris (guitar), Richardus
Ardita (bass,voice). Collaborating artist for Menuju Semesta: Faiz Wong (Drum
and Synth0 dan Anton W.A (Sound Enggineer) seperti yang tertera di laman
kotakgelas.blogspot.com, sebuah blog yang diperuntukan bagi banyak orang untuk
saling berbagi (melalui tulisan) tentang Melancholic Bitch.
Lagu-Lagu Cinta yang Tidak Begitu
Saya bisa
mengambil beberapa lagu dari Melanchoic Bitch, agar lebih terstruktur, baiknya
saya akan membuka dari album pertama mereka, ‘Anamnesis’ yang rilis di tahun
2004, perkenalan personal saya dengan album ini agak terlambat, yaitu kala
Melbi (Melancholic Bitch) sedang hangat-hangatnya merilis album keduanya
‘Balada Joni dan Susi’, track-track Anamnesis yang dibiarkan gratis di laman
last.fm mereka saya donlot satu persatu, setelah sebelumnya seorang teman
memberikan lagu-lagu dari ‘ live at
ndalem Joyokusuman’ dalam format mp.3.
Pada album
Anamnesis, Melancholic Bitch menjabarkan beberapa larik cinta di luar kaidah
yang ada, setidaknya bagi saya personal, lagu-lagu seperti, ‘tentang cinta’, ‘off
her love letter’, ‘sepasang kekasih yang bercinta di luar angkasa’, juga ‘my
feeling for you now’, mengajarkan saya bahwa ada lagu cinta jenis lain yang tidak
selamanya glamor dan mengumbar pernyataan cinta yang permukaan; ‘aku cinta
kamu, sayang kamu, segalanya kamu, lebih baik mati tanpamu’, ia mendobrak
penulisan lagu cinta dengan lirik seperti,
“wake up, don’t you hide now. sometime this
morning someone, takes you on the run. breathe up all you can somehow, sometime
this morning someone will take you run. takes you run. takes you on the run,
you can. (somebody someone to feel you, to heal you, somebody someone to kill
you, ever and ever.)” atau seperti “kita
adalah sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa seperti takkan
pernah pulang (yang menghilang) kau membias di udara dan terhempaskan cahaya.
Seperti takkan pernah pulang, ketuk langkahmu menarilah di jauh permukaan.”
Sangat monumental, lirik-lirik ini membuat saya berfikir bahwa lagu cinta
sebenarnya bisa dibahasakan dengan begitu puitis dan melenakan, bukan
membosankan seperti yang kebanyakan kita lihat di tipi.
Resistensi Dilahirkan dari Kisah Cinta
Di album
keduanya Melbi, ‘Balada Joni dan Susi’ musik mereka disajikan lebih dahsyat
lagi, Melbi membuat album konsep yang bercerita dari lagu pertama hingga lagu terakhir, kisah perjalanan cinta Joni
dan Susi.
Syahdan,
“Ketika Joni dua satu
dan susi sembilan belas,
hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas
kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas,
dingin dan cemas.
Namaku Joni,
namamu Susi.
Namamu Joni,
namaku Susi.”
hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas
kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas,
dingin dan cemas.
Namaku Joni,
namamu Susi.
Namamu Joni,
namaku Susi.”
Melbi
mengawali abum mereka dengan outro begitu, sebuah larik dan musik yang begitu menyentuh,
memaparkan dua orang kekasih yang hidup di zaman yang serba cepat namun tak
hangat. Modernisasi dimulai dan sisi-sisi kemanusiaan perlahan mulai
ditinggalkan, ada resistensi yang dijabarkan.
Pertama
mendengarkan album ini, cd-nya tak bosan saya putar di player saya, terlebih
saya berkesempatan menyaksikan penampilan mereka di Salihara, juga menyusul ke
Mitos Melankolia, di at america dan Menuju Semesta di IFI bandung, putaran cd
itu mengantarkan saya mengunjungi mereka bermain secara live.
Joni dan
Susi yang kasmaran di album itu lantas menyatakan ingin berbulan madu, mereka
yang berangkat dari keterbatasan materi rupanya ingin juga bermimpi mencicipi
hidup sebagai orang kelas atas.
“Pejamkan mata kita di
atas kapal di kanal Venesia.
Jangan bergerak terlalu kencang
Kau terlalu kencang
Terlalu kencang, lalui nepal, tanpa sempat singgah di oslo dan budapest. Kencang tanpa sempat nanking, tanpa sempat rio, tanpa sempat lima, tanpa sempat, kencang tinggalkan capetown.
Rentangkan kedua tangan, jangan hilang keseimbangan.”
Jangan bergerak terlalu kencang
Kau terlalu kencang
Terlalu kencang, lalui nepal, tanpa sempat singgah di oslo dan budapest. Kencang tanpa sempat nanking, tanpa sempat rio, tanpa sempat lima, tanpa sempat, kencang tinggalkan capetown.
Rentangkan kedua tangan, jangan hilang keseimbangan.”
Ikatan cinta
mereka – seperti juga perasaan saya yang berdebar-debar mengikutinya – semakin
kuat, mereka dengan ketidakstabilan usia muda, memproklamirkan cinta mereka,
“Katakanlah jika aku
Israel kau Palestina; jika aku Amerika, kau seluruh
dunia; jika aku miskin kau negara; jika aku mati kau kematian lainnya”.
Pada lagu
itu bukan hanya musiknya yang begitu menghentak bersemangat, tapi liriknya
begitu kuat, bagaimana mereka membuat metafor pasang-pasangan dalam skala yang
luas, menyasar konflik timur tengah, yang seolah jika Joni Palestina maka Susi
adalah Israel, jika Joni Amerika maka
Susi adalah seluruh dunia yang terdikotomi secara otomatis, jika Joni Miskin
maka Susi adalah Negara (negara yang ikut “memelihara” kemiskinan). Ada gugatan
yang disampaikan.
Joni dan
Susi ingin melakukan semuanya berdua, memupuk harapan berdua, dan mengisi dunia
mereka berdua. Pada semesta mereka ingin selama-lamanya berdua. Begitulah cinta
membawa mereka. Melancholic bitch begitu apik dan piawai mengemas perjalanan
mereka, musik yang mereka besut pun begitu rancak, energik sampai irama dangdut
remix pinggiran.
Resistensi
kembali dilakukan Melbi dalam Balada Joni dan Susi lewat lagu ‘Mars Penyembah
Berhala’, mereka mengkampanyekan imajinasi yang tidak hidup dari budaya
masyarakat kita yang nyandu menonton televisi, hingga daya jelajah otak kita
untuk melakukan hal kreatif menjadi mandeg karena diserap tayangan televisi,
siaran yang hanya bermodal rating dan pemasaran iklan. Siaran yang oh mendidik?
Budaya pasif konsumtif kita begitu memprihatinkan, sampai-sampai segalanya ada
di tivi dan identitas kita dibentuk oleh televisi.
Pada
akhirnya kisah Cinta Joni dan Susi adalah kisah cinta yang mengharukan sekaligus
mengkhawatirkan karena realitas yang diangkat berdasar dari kondisi sosial masyarakat
kita, kala pelarian mereka ternyata menempuh kemiskinan dan lapar mendera, tak
ada cara lain yang harus diupayakan Joni selain mencuri, ini betul romantis
karena Joni melakukannya untuk Susi atas nama cinta, Susi yang demam dan
terbaring gemetar, Joni yang tak berputus asa.
Joni yang lantas dicekal pundaknya, dibanting punggungnya ke aspal,
dihantamkan hukuman Tuhan di wajahnya, Joni yang memperjuangkan dirinya untuk
bisa menahan rasa sakit dan lapar Susi dengan sepotong roti atau sebuah apel.
Tapi Supermarket dan orang-orang lantas memerangkapnya. Joni pun akhirnya masuk televisi, sebagai
pesakitan ia kukuhkan cintanya yang nyata, sementara itu, “Di jalan tertulis
jejak luka, pemerintah tak bisa membacanya. Susi ajarkanlah pada mereka
bagaimana caranya mengeja.” Pemerintah alpa, selalu bolos masuk pelajaran
membaca Susi, dari hari ke hari, semakin alpa, persis hari ini saat di beberapa
titik daerah terjadi pergolakan, gesekan antara pemodal yang dibeking aparatur
negara melawan warga, perampasan tanah rakyat di Rembang-Karawang adalah yang
paling mutakhir dan ya akan sangat mungkin ditemui kisah cinta Joni dan Susi di
sekeliling kita.
Gramsci menuturkan bahwa perjuangan melawan
ketidakadilan kapitalisme dan menuju jalan pembebasan bukan hanya milik buruh
dan partai pelopor, lewat intelektual organik, siapapun bisa join memposisikan
dirinya dalam barisan perjuangan. Guru, wartawan, dokter, siapapun, juga
seniman dan lain sebagainya. Sementara
itu hari ini kita seringnya lupa, bahwa hidup yang semakin hari dijalani
sebenarnya menyimpan ancaman yang laten, kesibukan kerja harian dan hedonisme
akhir pekan membutakan alam bawah sadar kita bahwa dunia berjalan dengan tidak baik-baik
saja, tapi siapa yang masih akan perduli?
Hidup yang Harus Dijalani Meski Sendiri
Dalam hidup tak
selamanya apa yang kita mau bisa kita dapatkan dengan mudahnya, seringnya kita
harus berusaha, alim ulama menganjurkan untuk berdoa, sehingga ikhtiar dan doa
menggenapi apa yang kita inginkan. Tapi ketika ikhtiar dan doa sudah kita
lakukan sebaik-baiknya, namun asa belum juga sampai, bagaimana harus
menyikapinya? Saya kembali diingatkan bahwa hal itu betul akan –pernah - mungkin
terjadi pada kondisi psikologi kita, Melbi sepertinya menuangkan realitas hidup
semacam ini dalam Debu Hologram, “yang kau inginkan tak kan kau dapatkan;
takkah kau merasa didera mual? Tak kah kau merasa di dera muak? Lepas segala
yang kau inginkan; lepas segala yang kau dapatkan” hidup yang akan sangat mungkin kita habiskan
hanya untuk bermimpi dan kita perlahan enggan, enggan bermimpi, kita ingin
sekedar sendiri, karena di luar segala telah riuh dan kita ingin sunyi.
Sendiri. Hidup menawarkan realitas yang tidak semuanya bisa diukur. Dan kita
ingin bebas. Ikhlas.
Hidup pun
terus berlanjut, hidup yang kita jalani sejak usia dini, meski orang tua, guru,
dan para bijak telah mengingatkan prihal ini dan itu, toh
pengalaman-pengalaman juga yang membuat
kita memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Pengalaman kita yang
bersendiri. Kita mengalami hal-hal yang semu, menyakitkan, luka, pahit getir,
seolah-olah kita dipaksa menjadi batu - kebal
dan menyimpan perasaan-perasaan itu
dalam tubuh kita sendiri. Melbi menuangkannya dalam Kita Adalah Batu,
“di luar hidup sialmu,
di luar sisi tubuhmu; di luar yang kausentuh, di luar hanya sepi, membisu. di
luar kisah sedihmu; di luar sesak napasmu; di luar yang kau buru; di luar igau
mimpi burukmu
bernapas di celah waktu dan ruang yang mencekikmu: kita adalah batu
setiap awal musim kita siapkan segelas rasa sakit dan kehilangan
;kita siapkan semangkuk rasa perih dengan kebencian
;kita kan terjaga selamanya.”
bernapas di celah waktu dan ruang yang mencekikmu: kita adalah batu
setiap awal musim kita siapkan segelas rasa sakit dan kehilangan
;kita siapkan semangkuk rasa perih dengan kebencian
;kita kan terjaga selamanya.”
Adakah
kemudian kita betul telah menjalani hidup yang lengkap? Saya pikir iya, kita
sudah menjalani hidup yang lengkap, diri kita menerima segala yang hadir dalam
kehidupan ini melalui proses, meski bersendiri, dan itu adalah waktu saat kita
berkontemplasi. Lalu menuangkan lagi segala apa yang sudah ‘diterima’ dalam
pemikiran baru atau sebagai daya kreatif. [rsk]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar