The Future Folk Interview: Melancholic Bitch
Oleh: Felix Dass
Nama Melancholic Bitch duduk tenang bersemayam di dalam diri. Ia tidak pernah pergi. Kendati sulit ditemui secara langsung. Alam semesta membelah kehidupan masing-masing personil intinya; Ugoran Prasad menghabiskan beberapa tahun belakang di Coventry, New York dan kini Sydney. Yennu Ariendra berkeliling dunia memainkan banyak proyek berkesenian berbasis suara; bisa ditemui kadang di Imogiri, Saitama atau Darwin. Sementara Yosef Herman Susilo sibuk berkeliling Jawa mengawal banyak kegiatan tata suara, sesekali ia ada di Magelang, kadang di pelosok Probolinggo. Mereka bergerak, melupakan waktu.
Fakta seperti itu, membuat penggemar model saya, harus meredam hasrat. Supaya tidak kecewa dan cinta pada karya mereka terus hidup. Cinta itu perlu dibela, jadi melepaskannya dari figur tiga orang yang tidak bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain itu, merupakan sebuah upaya keras yang harus dilakukan. Sejauh ini, berhasil.
Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali berharap bisa menyaksikan mereka bermain lagi di atas panggung bersama-sama.
Di kuartal terakhir 2016 yang lalu kami bertemu di pementasan Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi di Jakarta. Karya teater itu dipentaskan oleh Teater Garasi, rumah dari tiga orang personil Melancholic Bitch ini. Mereka duduk satu meja. Tentu saja, digoda habis-habisan sama beberapa orang yang kebetulan ada di sekitar adegan itu.
Tiba-tiba, Yossy –panggilan akrab Yosef Herman Susilo— berseloroh, “Kami akan kumpul kembali. Tahun depan.” Itu seperti petir di siang bolong yang cerah. Lalu, secara bersemangat dua orang lainnya membahas pernyataan itu.
Di akhir tahun, mereka mulai berproses secara kolektif di Jogjakarta. Ugoran Prasad tinggal lama di Indonesia, beberapa bulan setidaknya. Mereka duduk bersama menggarap sesuatu. Melancholic Bitch sedang bersiap kembali ke arena tahun 2017.
Di pertengahan bulan Januari lalu, saya berbincang bersama Ugo dan Yennu Ariendra di Teater Garasi. Yossy absen karena harus ke Malang. Semuanya disusun mendadak, sehingga kami hanya ngobrol ngalor-ngidul tanpa ekspektasi apa-apa.
Mungkin, memang seperti itu kita harus menyikapi Melancholic Bitch dan seluruh proses di dalamnya. Selamat membaca upaya mereka untuk menyembunyikan proses yang sedang berlangsung di bawah ini. (*)
Sekarang lagi ngapain sih kalian?
Ugoran Prasad (UP): Lagi workshop.
Kenapa memutuskan untuk berkumpul kembali dan ngobrol tentang musik?
UP: Kami nggak pernah benar-benar bubar. Cuma ya ada macem-macem. Logikanya kan band ini sudah jadi pertemanan. Misalnya, kemarin kami dalam suasana yang sangat nyaman bagi orang-orangnya untuk punya proyek masing-masing. Dan itu kita saling membantu sebisa mungkin. Kayak aku sama Yennu misalnya. Dia ngajak aku bikin Jalan Emas. Tahun berapa itu aku pulang, dua ribu berapa?
Yennu Ariendra (YA): 2013.
UP: Oh, itu 2013 ya? Ya aku pulang. Aku ngebantuin dia bikin Jalan Emas sedikit-sedikit. Aku harus pergi pas dia mementaskan karya itu. Ya tinggal diterusin saja sama Yennu. Ada banyak yang dia lakukan dan aku membantu dari jauh. Sebisa mungkin, kalau ngobrol ya ngobrol. Yossy juga punya urusannya sendiri. Gara-gara dia sound engineer dan sound desainer, dia selalu kerja sama Teater Garasi. Kita selalu ketemu dan banyak ngomongin kerjaan. Jadi, ya sebenarnya memang banyak kegiatan bersamanya. Kami juga pernah workshop juga sebagai Melancholic Bitch. Tahun berapa itu?
YA: Udah lama banget itu.
UP: 2013 juga kayaknya ya? Itu yang terakhir kita bisa workshop intens. Ya kebutuhan untuk melanjutkannya, terhenti karena berbagai alasan. Merasa nggak cukup matang atau hasil workshopnya nggak terlalu memuaskan. Yang begitu-gitu. Jadi, memang fase yang kita ambil adalah fase yang kita sepakati bersama. Kalau mulai lagi ya sudah, jadi atau tidaknya nggak pernah tahu. Yang penting kerja bersama lagi, duduk bareng, nongkrong bareng. Jadi nggak pernah dalam lima tahun ini kami benar-benar tidak berhubungan.
YA: Kita lumayan sering kerja bertigalah (bersama Yossy) dalam beberapa proyek.
Termasuk kemarin pementasan Teater Garasi itu? Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi?
UP: Yossy jadi sound designernya. Aku menulis. Yennu music designernya. Tapi, karena itu kerjanya dalam kerangka Teater Garasi, scoopnya lebih lebar lagi. Kita selalu menyempatkan untuk kerja bareng dalam waktu yang memungkinkan karena ya aku kan ada di tempat lain. Tapi kadang-kadang suka mikir juga, “Eh, 2013 tuh udah lama banget ya?”. Selalu gitu.
Basi ya jadinya?
UP: Iya.
YA: Tapi nggak terasa toh? Karena kita selalu kerja bareng di level individual.
UP: Lalu sadar, “Eh, udah lama banget ya kita workshop yang Melbi? Nyoba lagi yuk.”
Jadi sebenarnya, Melancholic Bitch itu jadi satu bagian dari proses kalian sebagai individu untuk bekerja beriringan? Atau memang perlu dikhususkan?
UP: Iya.
Atau harus, “Eh kita sudah waktunya nih untuk kembali.” Apa begitu?
UP: Ya gimana ya, mungkin kali begitu.
YA: Kalau kita terakhir itu, bahasa yang paling sederhana kayak pokja (kelompok kerja). Kayak anak zaman sekarang, menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar. Ya Teater Garasi itu. Ada pokja Risky Summerbee and the Honeythief, ada pokja Melancholic Bitch. Ada masa-masanya harus kerja. Kalau sudah tiba waktunya, ya kerja. Namanya juga kelompok kerja di dalam lingkungan yang lebih luas. Jadi, kita workshop di sini, sehabis seharian rapat Teater Garasi.
Proses workshopnya sebenarnya ngapain sih? Yang biasa terjadi gimana, proses kerjanya karena kan kebanyakan hanya kalian bertiga yang lebih banyak berandil ya?
UP: Nggak juga sih. Lebih karena belakangan ini gampangnya ya kami bertiga ini. Persoalan koordinasi. Kayak Wiryo (Pierna Harris –ed) ada di Jakarta. Didit (Richardus Ardita –ed) akan datang setelah ini. Ada proses ganti-gantiannya. Karena ada penjadwalan juga di level workshop ini. Kadang kami butuh kuping yang segar. Kalau ada inti yang bekerja dan yang lainnya mendengarkan itu pasti beda pengalamannya. Mereka jauh lebih bisa obyektif dan dingin.
Yang segar?
UP: Iya. Yang ini sampah, itu sampah, itu juga sampah. Mereka yang bilang. Jadi, ya buat lagi. Kita percaya dengan mekanisme itu, satu sama lain percaya dengan metode yang begit kayaknya. Terus apalagi tadi pertanyaannya?
Cara kerjanya?
UP: Iya, itu cara kerjanya. Sekarang mungkin kami menemukan concern bersama atau mengundang orang. Lalu kita menemukan sesuatu yang bisa sama-sama dibela secara teks atau kata sandi. Itu juga jadi jawaban yang susah karena misalnya, Yennu punya proyek macam-macam. Misalnya, Menara Ingatan sama Asa Rahmana dan Silir Pujiwati. Di kelompok itu, dia jadi komposer. Sebagai komposer, ia memilih rekan kerjanya yang lain, kolaboratornya juga lain. Pilihan itu bisa aku bela. Karena di level personal, aku suka sama gagasannya. Aku bisa membela. Jadi, walaupun kita tidak terlibat main musik di sana, aku bisa ngebelain gagasan yang sedang dia telusuri.
YA: Kadang-kadang ada pertimbangan kayak melempar umpan bikin sebuah ide. Lalu muncul pemikiran, “Oh, ini belum waktunya digarap nih, si Melbi. Ya sudah, ini digarap di Teater Garasi saja.” Misalnya seperti itu. Jadi kayak aku juga punya pertimbangan aku punya sebuah ide, kayaknya nggak mesti di Melancholic Bitch. Di Belkastrelka (bandnya yang lain –ed) juga nggak mungkin. Di Teater Garasi mungkin bisa. Hal-hal yang kayak begitu. Atau sekalian, aku kerja dengan kelompok yang lain, bisa seperti itu.
UP: Medianya memungkinkan sekarang. Ada teater, atau Yennu sekarang terlibat di scoring film (ia mengerjakan scoring film Istirahatlah Kata-Kata –ed). Aku juga bisa menulis sendiri. Ada yang kadang berkaitan, atau yang kadang malah nggak dijadiin. Belum bisa juga semuanya jadi musik. Kadang, “Ah, ini masih terlalu cerewet atau masih belum bisa diturunkan dalam bentuk yang lebih konkrit untuk band.” Ukurannya susah memang. Kadang-kadang kami mengikuti intuisinya, tapi kayaknya emang belum saatnya untuk Melancholic Bitch.
Tapi proses ini dibiarkan liar tanpa tahu kapan akan kemana?
YA: Nggak sebenarnya. Kalau yang sekarang ini, sudah kita niatkan. “Kayaknya yang ini cocok nih untuk Melbi. Yuk kita kerjakan.” Jadi, kita sudah mengobrol dulu dari awal.
UP: Tengah-tengahlah ngobrolnya. Lewat Skype.
YA: Aku sudah bilang kalau punya ide gini, gitu.
Wih, kalian menggunakan Skype juga untuk berkomunikasi satu sama lain?
YA: Iya, kami menimbang apakah ini bisa ke Melancholic Bitch atau tidak.
UP: Tidak bisa intens prosesnya ya karena itu tadi. Kita mengikuti sampai arah tertentu, masih berpijak pada jadwal yang memungkinkan untuk masing-masing orang. Kepengennya dalam waktu dekat ke depan ada momen workshop yang lebih intens. Kalau sekarang, masih mencari form, baru mulai. Jadi santai banget. Ya ada target, tapi kadang-kadang itu juga dengan gampang dikalahkan dengan dinamika temuan-temuan kita sendiri juga. Kadang-kadang kita ngetake, ada gagasan yang harus dibelain. Misalnya, kami menemukan satu apalah, tesis misalnya. Atau isu bersama. Atau tema bersama yang kita coba, bisa jadi mental. “Ah, nggak gini harusnya.” Atau aku berdua sama Yennu mencoba. Gampang basi juga.
YA: Gampang basi, gampang sakit tangannya karena kelamaan nggak megang gitar.
UP: Yang terakhir ini kayaknya cukup. Kayaknya ada alasan yang aku belum bisa ngomong jauh, ini menyatukan kami untuk ngomongin sekarang.
Jadi, yang sekarang sudah lebih real?
UP: It’s about time. Ya nggak terlalu abstrak lagi. Dekat dengan situasi kita. Tetap, kecenderung hasil akhirnya akan menjadi abstrak tapi buat kita sendiri dekat. At least dekat stage dan age-nya.
Stage sama age ternyata pengaruh ya?
UP: Oh iya.
Tapi, kalau dipikir-pikir, jeda rekaman kalian itu lama juga ya. Rekaman Live at Ndalem Joyokusuman itu 2004 ya atau 2003?
UP: Ya sekitaranlah. Tahun berapa sih?
Lalu Anamnesis 2008?
UP: Nggak, 2005.
Kemudian Balada Joni dan Susi itu 2009? Lama juga ya? Sudah delapan tahun yang lalu itu album. Emang materi mentalnya segitu banyak sampai makan waktu selama ini?
UP: Banyak banget. Sesudah Balada Joni dan Susi itu kita langsung kerja sebenarnya. Sesudah Anamnesis kita juga langsung kerja. Ada gagasan yang mental waktu itu. Sesudah Balada Joni dan Susi juga ada gagasan yang mental. Tapi itu lebih rileks, karena kesepakatan kita sebagai sekawanan teman-teman itu jauh lebih gampang terartikulasi dengan banyak cara. Aku bisa nemenin Yennu ketika dia buat musik teater. Musiknya dia juga memberi inspirasi aku untuk nulis. Aku tetap kerja di saat bersamaan. Yossy kan juga dekat. Melihat teman-teman yang ada di dalam komunitas ini tumbuh juga menyenangkan. Melihat Risky Summerbee and the Honeythief bekerja itu menyenangkan. Melihat Belkastrelka bekerja juga menyenangkan. Jadi kayak nggak ada keharusan bagaimana band bekerja. Nggak terlalu jadi ukuran kita bahwa setiap tahun harus buat album. Ini tuh lebih rileks.
Ngomong-ngomong Balada Joni dan Susi, kayaknya paska album itu, nggak ada lagi deh band Indonesia yang bikin satu album penuh tapi nyambung ceritanya.
UP: Masa sih nggak ada?
Nggak ada kayaknya bener. Karya kalian itu kan jadinya unik karena tren produksi juga berubah. Membuat album rasanya tidak lagi dipikirkan seserius itu ternyata, orang bisa rilis single digital saja dan jadi kemana-mana segala macam. Nah, buat yang sekarang ini pendekatan Balada Joni dan Susi untuk Melancholic Bitch nggak bakal diulangi dong? Atau mungkin diulang?
UP: Nggak tahu.
Masih belum tahu? Pola kerjanya deh. Apa nemu aja seiring jalannya waktu?
YA: Nggak tahu. Kadang-kadang gini, kita tuh kan kalau mau kerja kreatif ada yang namanya ekspansi ya. Karena sudah pernah melakukan sesuatu, kadang-kadang ya bisa melebar atau justru tidak di kali berikutnya. Atau justru malah pematangan. Umpamanya ya, bisa aja kita cuma matengin Balada Joni dan Susi. Begitu pula dengan cara kerjanya. Cara kerjanya ditata ulang, bisa saja seperti itu. Atau kita mau melebar mencari eksplorasi yang lain. Maksudnya, kita selalu ada pilihan itu. Waktu kita mencari yang sekarang, proyeksinya diubah. Tapi mungkin ada juga benarnya dan kelemahannya. Kita sedang mencoba keduanya dan kita belum tahu sampai sekarang mau gimana.
UP: Soal konsep, misalnya. Lebih luweslah. Kalau Balada Joni dan Susi nggak. Dari awal kayak kesambet setan. “Yuk bikin album,” kata anak-anak. Gue bilang, “Gue nggak mau. Maunya bikin begini.” Abis itu terus aja dan itu memang dibutuhkan kayaknya. Karena kita pada waktu itu nggak tahu apa yang bisa dilakukan sama band ini.
YA: Belum pernah dipush soalnya.
UP: Iya, salah satunya itu. Anamnesis itu memuaskan tapi proyeknya terlalu lama tanpa pagar. Kita melakukan itu lama banget, tiga atau empat tahun. Dengan berbagai demo yang gagal, itu ada koreksi sebagaimana band yang lain. Habis itu mencoba lagi masuk ke album kedua, dengan logika Anamnesis. “Sudah dua tahun nih, bikin lagi yuk,” waktu itu mikirnya gitu. Kami tidak menemukan rasa nyaman dengan jamming. Sehabis itu gue datang dengan konsep Balada Joni dan Susi itu. Pas jadi, anak-anak bilang, “Ini naskah apaan sih?” Tetap menjadi seru karena itu bentuk baru dan mereka harus membaca 20-30 halaman yang nggak jelas puisi atau bukan, lirik atau bukan. Kadang-kadang malah gue cuma ngasih paragraf yang menimbulkan pertanyaan, “Ini gimana maininnya?”
YA: Ada sedikit resistensi waktu itu.
UP: Ah, banyak banget. Aku juga ikut resisten sebenarnya, walaupun kemudian jadi senang. Punya ikatan dengan proses yang tiba-tiba negosiasi. Ini nggak bisa di sini, harusnya diletakan di bagian sebelumnya, dinamikanya nggak jalan, wah itu kan kemana-mana. Drama. Tapi begitu melewatkan itu, kita jadi tahu semua satu sama lain.
Menemukan batasan baru ya?
UP: Iya, kan gitu. Terus jadi tiba-tiba kalau aku punya konsep apa-apa gitu, mereka nanya, “Apa bedanya nih sama Balada Joni dan Susi?” Gitu jadinya, terus yang lain jadi sombong, “Masa gitu doang, Go?” Haha.
Tapi ya, Balada Joni dan Susi kan setelah dipretelin dan dijalanin jadi bisa dipisah-pisah lagunya. Mereka berdiri sendiri. Pengalaman menonton di panggung dan mendengarkan karyanya secara utuh jadi beda.
UP: Betul. Nah, itu dinamika yang lain. Jadi kita ditolong dengan keuntungan biasa bekerja di kelompok teater. Cara kita mendekati Balada Joni dan Susi sebagai album ya sebagai teks, musik itu bagian dari teks. Ketika harus dipentaskan, ya dia harus dimainkan dengan logika pementasan, pemanggungan gitu. Jadi, tiba-tiba ada kemungkinan yang harus, bagaimana jika dimasukkan materi Anamnesis di tengah-tengahnya? Ada banyak yang ngomong. Kayaknya termasuk elo deh. Ada hikmahnya kan? Tantangan baru yang kemudian muncul: Gimana dengan frame Balada Joni dan Susi selanjutnya?
Ya, ketika kalian jadi pengamen ditanggap main, mau nggak mau kan harus mencampur lagu dong? Nggak bisa sepenuhnya memainkan Balada Joni dan Susi.
UP: Iya. Nah itu muncul eksperimen akhirnya. Kami harus membuat repertoir yang bisa keluar masuk dengan album yang lama dan baru. Kalau tadi Yennu bilang, itu level permainan yang lebih mematangkan barangnya. Ternyata sesudah album keluar, kami masih punya momentum yang harus dijalani sebagai band.
Itu pelajaran pentingnya ya?
UP: Iya. Dan kita cukup lama seneng nyangkut sama permainan itu.
Tapi, delapan tahun setelah dirilis, kalian berdua melihat Balada Joni dan Susi itu pencapaian yang seperti apa sih?
UP: Angel. (Susah –ed). Kita nggak pernah ya terus duduk bersama dan ngomong, “Kita tuh mencapai apa ya?”
Ya sudah, saya ajak mikir sekarang.
YA: Mungkin kemudian gini, nggak tahu ini mungkin berhubungan dengan pribadi ya. Umpamanya lima tahun yang lalu ditanya, “Kamu mau jadi apa sih?” Ada tatapan, misalnya aku ditanya dengan pertanyaan itu tadi. Sebenarnya setelah itu, kita kayak sama-sama melihat visi orang lain sebagai individual. “Oh, arahmu ke sana, arahku ke sini.” Kayak logika bikin film yang mengundang aktor-aktor hebat saja. Mereka kan nggak tahu tuh, ekplorasinya seperti apa, masing-masing punya visi sendiri sebagai aktor. Kemudian kita masing-masing membagi apa yang sudah pernah kita temui. Selama delapan tahun ini juga begitu, kita ngecek pada kemana aja ya sebagai individu. Apa saja yang sudah dijalani. Dari situ jadi bisa menakar, ekspektasinya harus kemana. Artinya jadi lebih paham, kita bisa langsung ke titik tertentu sekarang. Sudah tahu ukurannya. Ketika berpisah dan jalan masing-masing, saling ngecek, “Oh, kamu sudah sampai sana. Ngapain aja kemarin?” Bisa bikin kayak gini, kayak gitu. Nah, kita dibantu oleh ekspansi yang dimulai dari lima tahun ketika pertanyaan itu dilontarkan.
Ok. Berarti sekarang ini yang terlibat di Melancholic Bitch ini masih orang-orang yang sama?
UP: Kemarin kita ketemuan terakhir sebelum natal masih begitu. Komposisi itu masih sama. Sebelumnya ada yang nggak bisa. Wiryo akan pindah ke New Zealand, kita lagi nyari jalanlah. Karena dia yang gitaris beneran sebenarnya, kalau yang lain sudah lebih ke arah lain.
YA: Ada dia ya aku bisa excuse sebenarnya. Bisa diganti ketika main live. Haha.
Di level personal, ketika berkumpul gitu, rindu nggak sih sama proses ngeband?
UP: Ya dibawa santai aja. Cenderung kayak gitu sih. Tapi karena ketemu di tempat lain, ada alasan lain jadinya. Kayak aku masih ketemu Yennu.
YA: Kita masih ngeband dalam frame yang berbeda. Masih berbagi proyek. Terakhir Yang Fana kan ya? Aku masih sama Yossy. Kemarin aku sempat buat materi, lalu harus ke Jepang. Ya aku kontak Yossy, suruh dia beresin sedikit-sedikit. Sebelum pergi aku ambil lagi ke dia. Itu rasanya kayak ngeband.
UP: Kita masih berkomunikasi kayak ngeband. Ya, kita ngobrol terus.
Tapi itu kan sebenarnya karena tadi yang kalian bilang, kalian itu bagian dari suatu sirkus yang lebih besar. Si Melancholic Bitch ini kan satu channel saja.
UP: Nggak sengaja juga sih. Tapi kami kan bagian dari sejarah musik di Jogja.
Iya, itu yang bahaya. Tanggung jawab publik asu.
UP: Haha. Tapi itu benar, bahwa kami dibesarkan dengan cara pikir yang seperti begitu. Misalnya Melancholic Bitch datang dari aku sama Yossy. Kami punya proyek di dalam sebuah rencana besar ketika bikin Performance Fucktory dulu sama Juki (Marzuki Mohammad, Kill the DJ), Jompet (Jompet Kuswidananto, Teater Garasi) dan Ari Wulu. Jadi kebiasaan kalau cara kita menempatkan diri itu selalu di tengah lingkungan kreatif yang lebih besar. Kita merasa didukung oleh lingkungan itu, inspired sama lingkungan itu dan sama-sama kalau bisa punya kontribusi balik. Terbiasa berada di tengah ketegangan kreatif model begitu. Bekerja dalam lintas disiplin, lintas medium. Ngeband proses yang sama, hanya assignmentnya beda aja. Ini membuat band ini terus ada, karena ada chemistry yang lain levelnya. Hampir kayak pertemuan keluarga. Kita lebih sering makan-makan daripada ngomongin musik dan itu rutin. Lebih rutin daripada masuk studio. Karena ada titik-titik tertentu masing-masing orang punya disiplin masing-masing yang terlalu obscure untuk dibagi ke yang lain. Itu kayaknya juga jadi energi bagus, sebagaimana aku percaya; Kalau orang intens melakukan sesuatu itu pasti punya feedback ke lingkungan yang lebih besar. Musuhnya kadang kita terlalu nyaman, jadi sibuk makan-makan doang. Kebanyakan nggak kerjanya.
YA: Tapi aku paham yang kamu maksud itu. Itu kejadian sama bandku sebelum ini. Itu spiritnya dulu band-bandan. Joy Division banget, sampai yang kayak gitu. Auranya sangat-sangat band. Tapi kemudian aku disibukkan sama hal-hal yang sifatnya individual, tuntutan-tuntutan baru. Jadinya hilang hasrat ngebandnya.
UP: Haha. Spirit asli band-bandan.
YA: Kamukan dulu ada spirit asli band-bandan kan?
UP: Mungkin pas jaman di Bandung ya?
YA: Yossy juga pernah kayaknya. Jelek banget bandnya itu. Haha.
UP: Di kita nggak bisa kayak gitu. Kayak waktu bikin lagu, yang cerewet duluan itu Juki. Terus teman-teman kami juga sibuk berkomentar. Kita punya produser yang banyak kayaknya. Sampai waktu itu gue nggak tahu nyusun lagu untuk Anamnesis, dikasih ke Ogleng (Yudi Ahmad Tajudin, Teater Garasi –ed). Dia kan yang bikin susunan lagu akhirnya. Semua orang bilang, “Lah, sutradara teater apa urusannya nentuin daftar lagu?” Kami balas, “Nah, justru itu, karena nggak ada alasannya maka jadilah Anamnesis.”
Berarti, bisa dibilang Melancholic Bitch sebenarnya bukan entitas musik?
UP: Kami percaya kami adalah entitas musik, tapi bukan band barangkali. Bukan band karena kita tahu kita terlalu gede kepala, terlalu keras kepala untuk jadi band.
Saya tertarik sama proses musikalnya sekarang. Tadi kamu bilang masing-masing individu punya cerita yang lebih dalam. Profesinya juga kemana-mana, Yennu bilang tadi sudah lama tidak menyentuh gitar. Yossy juga.
UP: Sekarang pakai tombol. Semua orang pakai software.
Tapi pas berproses untuk rekaman kan, koridornya kan mau tidak mau Melancholic Bitch harus menggunakan instrumen musik yang konvensional. Kalian update nggak sih dengan kondisi musik sekarang?
UP: Nggak update.
YA: Hahaha. Ya updatelah.
UP: Yennu mungkin harus karena dia komposer. Yossy update barangkali karena sound designer, dia keliling terus kan? Ya kalau aku nggak update sih kayaknya. Itu-itu saja sih. Aku kan bukan musisi beneran.
YA: Dia sekarang sudah bisa main gitar dengan lebih bagus loh.
UP: Itu kan karena kebanyakan sendirian.
YA: Gitar akustiknya bagus. Berarti aku bisa nggak main.
UP: Itu bikin ekspektasi berlebihan. Bahaya itu.
YA: Tapi gini, mungkin aku juga nggak setuju kalau yang namanya semakin ke sini kita semakin meninggalkan nilai-nilai sebenarnya. Ada kok nilai-nilai tentang disiplin. Kita dulu ngoyo banget, semenjak Anamnesis, misalnya. Aku itu sebenarnya training gitar dan lumayan ngoyo.
UP: Biasa, orang Jawa Timur, Banyuwangi.
YA: Aku pikir nggak bisa tuh, entah etosnya atau caranya, tapi itu nggak bisa hilang ketika mau mulai lagi. Karena aku lebih curiga sama hal-hal yang gampang. Kalau gampang sih, kita bikin band reunian aja. Lebih ke sana. Tapi untuk album ini, ketika mulai, aku bilang sama diriku, “Ah, mungkin udah saatnya aku belajar lagi.” Karena terakhir kali perform di panggung itu berat bagi aku, berat banget.
Beratnya kenapa?
YA: Fisik.
UP: Harus training lagi dia.
Sebenarnya jadi penampil di panggung dalam bentuk band menyenangkan nggak sih?
UP: Ya menyenangkan. Kita harus mencari kausa memang jadinya. Beberapa tahun kan aku hanya berdua sama Yossy. Dan kayaknya dia tahan sama aku, kadang terpaksa menerima tawaran. Padahal susah tuh logikanya masuk, “Kenapa ya harus main di sini? Apa alasannya?” Sekarang jadi lebih sederhana karena aku nggak ada di Indonesia. Kalau ada di Indonesia, ya ok-ok aja kalau main. Selain itu, semenjak Balada Joni dan Susi, penampilan live jadi menyenangkan. Karena aku merasa ia diambil alih, ceritanya diambil alih. Kalau kita mendengarkan feedback orang, tiba-tiba itu jadi cerita mereka. Ada orang-orang yang bisa terkait dengan ceritanya. Lalu mereka nulis email soal bagaimana dia menghubungkan diri dengan cerita itu. Jadi hubungannya juga menyenangkan. Karena itu, bisa jadi di saat yang bersamaan, gue nggak sedalam itu memahaminya. Termasuk persoalan tahu apa tidak apa yang gue omongin. Akhirnya gue bisa humble sama respon orang atas penafsiran ulang itu. Itu menyenangkan, iya kan? Tiba-tiba gue merasa hanya menjadi medium dari satu cerita yang sepenuhnya bukan cerita gue juga. Kayak gitu-gitulah.
Gemanya besar ya jadinya Balada Joni dan Susi untuk orang banyak?
UP: Nggak tahu dengan apa yang dimaksud besar dalam pengertian orang itu. Tapi yang ada inilah, itulah, mungkin jumlahnya nggak sampai ribuan. Bahkan ratusan saja barangkali nggak ada. Ya, ukurannya dari apa yang tertulis ya, apa yang gue baca, yang bisa gue intip. Tapi yang ada, seberapun responnya, ada sepuluh, lima belas, itu nyebelin kan? Jadi gue lagi sibuk mau ujian, tiba-tiba ada orang-orang kayak Iit (Iit Sukmiati, salah satu pemilik Omuniuum yang merupakan penggemar berat sekaligus salah satu teman terdekat Melancholic Bitch –ed) yang ngasih tahu kalau ada orang nulis. “Gila, ini tahun berapa sih?” tanya gue dalam hati. Beberapa anak SMA. Itu kan diriis tahun2009 dan sekarang 2017. Sudah lewat beberapa generasi anak SMA kan? Yang dulu SMA mungkin sudah kawin atau punya anak. Ini tiba-tiba ada anak SMA yang lain.
Padahal, di masanya Balada Joni dan Susi nggak relevan untuk anak SMA kan ya?
UP: Nggak sama sekali. Barangkali lebih ke anak kuliahan. Termasuk gue. Hahaha. Keberadaan yang kayak tadi itu kadang-kadang pas ketika gue sedang dalam momen tertentu yang mengingatkan bahwa gue pernah buat Balada Joni dan Susi.
Emang pernah terlupakan?
UP: Ya nggak. Cumakan dia punya hidupnya sendiri yang kadang-kadang gue nggak bisa terus menerus merawat kehidupan itu. Sama kayak misalnya gue punya novel. Biar dia punya kehidupan sendiri gitu. Ya, itu hubungan antara yang punya karya sama karyanya. Kalau terlalu akrab kan jadi romantis ya? Nyebelin jadinya, habis itu kayaknya karya tersebut penting banget. Padahal mah, barangkali harusnya biasa-biasa saja.
Lah, kalau misalnya ada orang datang ke kalian dan bilang, “Mas Ugo, Mas Yennu, Balada Joni dan Susi itu penting banget untuk hidup saya.” Ngeresponnya gimana?
UP: Nggak tahu ya. Kalau buat gue, itu kayak gue juga sebagai fans sama apa gitu. Kayaknya pernah deh gue ngomong sedikit, apa yang kita suka itu kadang-kadang ngomong lebih banyak tentang siapa kita dari pada obyeknya sendiri. Jadi, dalam taraf tertentu, pertemuan itu sudah menjadi pertemuan antara pembaca, pendengar kisah itu. Gue kadang sudah nggak ikut-ikut dalam relasi itu.
Nah, terus kalau ditanyain sama orang kapan ngumpul lagi, bosan nggak sebenarnya? Atau capek?
UP: Ya lumayan. Pertama, kalau dulu sebel. Karena sebenarnya kita kumpul terus. Kerja terus kok. Punya produksi terus kok. Emang nggak melihat Belkastrelka? Dalam tahap tertentu, aku merasa Belkastrelka itu sebagai teman mengobrol. Walaupun dia nggak ngajak, nggak cerita apa-apa. Pas musiknya jadi, aku jadi bisa ngobrol sama dia. Ada yang bisa aku lakukan dalam konteks bermusik. Jadi, kalau ada pertanyaan itu, nyebelin tapi juga jadi paham. Pada tahap tertentu sudah tua, ya pasrah juga. Dan paham karena kita kan tetap ada. Band sebagai entitas musik itu kan baru ya, dalam lansekap musik dunia yang ratusan, ribuan tahun ini. Baru abad 20-an lah ada. Tapi dalam saat yang sama, kita masih memegang itu sebagai salah satu cara menakar dan cara ukur yang bisa digenggam tentang bagaimana kita berpikir tentang musik selain yang solo-solo itu, misalnya. Kalau band, ya harus gitu. Dan kita mengikuti band dengan cara yang sama, “Oh, ini reuni. Blur reuni.” Cara kita mikir gitu kan? Yang aku rasakan, dengan lansekap medan produksi yang sekarang, jangan-jangan sudah nggak pas kok. Dan harus pindah ke medan produksi yang lain. Model produksi yang lain juga.
YA: Aku juga mikir untuk yang baru-baru ini kan sebenarnya banyak intensitas musik yang seperti band, padahal komunitas. Keberadaan additional musician itu apa coba? Apa nggak komunitas jadinya?
UP: Iya, kayak gitu banget kan?
YA: Sudah banyak yang meninggalkan identitas band. Kayak Efterklang, misalnya. Aku mikir, “Ini band sebenarnya anggotanya berapa sih? Kok ganti-ganti mulu?”
Proyeknya sudah terbuka untuk banyak orang ya?
UP: Dan itu nggak akan matang di angkatan ini, aku rasa. Itu akan matang di sepuluh atau lima belas tahun lagi. Generasi yang di depan itu, mikirnya lebih cair, semua lebih gampang bertukar-tukar. Di teater kejadiannya sama. Struktur produksi kesenian itu kan nggak mungkin lagi sama dengan sepuluh dan dua puluh tahun yang lalu. Realitas-realitasnya berubah dan kita percaya banget dengan tegangan yang kreatif antara pelaku seni dengan realitas produksinya. Tapi kamu juga harus merespon itu dan pasti akan menciptakan entitas-entitas dengan logika yang berbeda. Band itu pernah revolusioner banget loh. Sekarang masih? Kayaknya nggak deh.
Dengan pola pikir yang seperti ini, jadinya juga membuka banyak kemungkinan baru ya? Bisa menekan ekspektasi orang-orang yang terlibat? Bahwa kalian memang melakukan sesuatu yang perlu penyesuaian dengan keadaan?
YA: Ya kita punya tegangan itulah. Kayak di album Balada Joni dan Susi waktu awal. Ada dari kita yang berpikir, “Oh, ini ngeband. Ini nggak bisa ngeband.” Nggak bisa kan kita harus main live seminggu sekali minimal dalam setahun? Pasti tegangan itu ada. Waktu itu aku lupa gimana kita ngobrolnya. Tapi, ya Melancholic Bitch itu segini aja. Kalau mau yang lain, ya silakan dikejar. Karena mungkin sekali aku pengennya gini, tapi nggak mungkin di Melancholic Bitch. Ya sudah, aku cari jalan lain. Mungkin begitu, tapi sementara ini nggak ada orang yang kemudian bergabung dengan band lain atau menciptakan band baru.
UP: Betul. Dan kita punya banyak band sebetulnya. Mudah-mudahan itu bukan karena pengaruh buruk Melancholic Bitch.
Mungkin ada yang salah dalam proses internal kalian? Haha. Tapi proses-proses begini dibiarkan liar tapi lebih teratur dari yang sebelumnya ya?
UP: Mungkin iya.
Karena kalian sebagai Melancholic Bitch juga tidak bisa menjawab target-target pribadi kapan ya kan? Saya benci sih bertanya tentang kapan. Kebanyakan musisi itu tukang bohong kalau bicara tentang janji-janji kapan kelar karyanya.
UP: Kita punya tanggal. Kita punya komitmen-komitmen. Tapi ya itu, logika-logika produksi tetap sesuatu yang harus dihitung. Yang begitu harus dipelajari karena logika produksi membuat kita punya komitmen yang lebih, jadi harus ada produser. Harus punya janji dengan sound designer, sound engineer. Yossy nggak mungkin mengerjakan ini sendiri, terlalu dekat untuknya. Gendel sih yang akan mengerjakan (Anton Gendel –ed).
YA: Kita harus punya studio sendiri.
UP: Sudah ngomong sama Gendel. Ya sudah ada komitmen dengan dia untuk kita mau kerja lagi. Tanggalnya sudah ada, karena semua orang punya kesibukan masing-masing. Akan ada pelanggaran dari komitmen. Akan ada yang dimarahi, kemungkinan aku.
Kok defensif? Haha.
UP: Mereka juga sudah tahu. Kalau kapan itu ya cara mengukurnya bukan end pointnya. Tapi kapan kita masuk studio. Kapan kumpul seluruh band untuk ngomongin komposisi. Kapan batas improvisasi pertama selesai dan kita jamming bikin komposisi dasar. Tanggal-tanggal itu ada. Tapi belum ada tanggal untuk kapan albumnya keluar.
YA: Itu susah. Karena kita juga akan curiga.
UP: Mungkin setelah proses panjang ini, akhirnya cuma satu lagu.
YA: Aku juga bilang gitu. Sanggup kok dengan keadaan sekarang. Tapi ya, nggak apa. Ini kan masih awal tahun. Ya kita awali dulu. Kita akan punya ukuran setelah ini. Setelah bikin-bikin dan ketemuan ini. Ada ukuran yang lebih pasti setelah ini.
UP: Misalnya tahapan workshop ini akan berakhir bulan Februari ini. Setelah itu akan ada lebih banyak yang lebih jelas untuk kami. Termasuk juga bahwa wawancara ini ternyata omong kosong dan kita nggak kemana-mana.
YA: Jadi kita nggak menghasilkan album ternyata nanti.
Loh, saya juga sudah siap dengan kemungkinan itu ketika mengajak kalian ngobrol. Jadi artefak sejarah kan?
UP: Berarti kamu mewawancarai kematian satu proyek lagi. Bagus itu.
YA: Mungkin nanti kamu melihat Yossy yang tiba-tiba nanti punya solo album. Haha.
Tapi pada dasarnya ini maju dari proses sebelumnya?
UP: Iya dan jadinya ada banyak opsi. Minimal di aku. Nggak tahu sama yang lain. Aku yakin dengan proyeknya, sama opsi yang kita punya. Kemana kita jalan sejauh ini. Untuk yang kali ini, aku merasa sekarang kayak ada beberapa jalur; bukan berarti aku selalu benar ya, aku pernah salah. Setidaknya ada satu yang bisa aku pegang. Sebelumnya nggak gini. Sebelumnya kita taruh semuanya di satu keranjang. Ibaratnya telur, kalau sudah bau semuanya, mau buat apa? Sekarang tidak begitu. Kalau yang ini, kayaknya punya alasan dan dalam setahun belakangan ini ada situasinya. Ada situasi eksternal yang memaksa kita mikir, itu membuat ini semua kayaknya harus dituangkan dengan medium Melancholic Bitch. Bukan medium yang lain. Eskalasinya sudah ada.
Jalannya sudah terarah ke sana ya?
UP: Iya, semacam kayaknya harus menggunakan medium yang ini lagi. Sekali lagi, aku pernah salah sebelumnya. Jadi mungkin saja salah sekali lagi. (*)
*) Foto tema Melancholic Bitch diambil oleh Adi Adriandi di Padepokan Bagong Kussudiarja, November 2011.
*) Foto Ugoran Prasad dan Yennu Ariendra diambil oleh Felix Dass di Teater Garasi, Januari 2017.
Nama Melancholic Bitch duduk tenang bersemayam di dalam diri. Ia tidak pernah pergi. Kendati sulit ditemui secara langsung. Alam semesta membelah kehidupan masing-masing personil intinya; Ugoran Prasad menghabiskan beberapa tahun belakang di Coventry, New York dan kini Sydney. Yennu Ariendra berkeliling dunia memainkan banyak proyek berkesenian berbasis suara; bisa ditemui kadang di Imogiri, Saitama atau Darwin. Sementara Yosef Herman Susilo sibuk berkeliling Jawa mengawal banyak kegiatan tata suara, sesekali ia ada di Magelang, kadang di pelosok Probolinggo. Mereka bergerak, melupakan waktu.
Fakta seperti itu, membuat penggemar model saya, harus meredam hasrat. Supaya tidak kecewa dan cinta pada karya mereka terus hidup. Cinta itu perlu dibela, jadi melepaskannya dari figur tiga orang yang tidak bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain itu, merupakan sebuah upaya keras yang harus dilakukan. Sejauh ini, berhasil.
Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali berharap bisa menyaksikan mereka bermain lagi di atas panggung bersama-sama.
Di kuartal terakhir 2016 yang lalu kami bertemu di pementasan Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi di Jakarta. Karya teater itu dipentaskan oleh Teater Garasi, rumah dari tiga orang personil Melancholic Bitch ini. Mereka duduk satu meja. Tentu saja, digoda habis-habisan sama beberapa orang yang kebetulan ada di sekitar adegan itu.
Tiba-tiba, Yossy –panggilan akrab Yosef Herman Susilo— berseloroh, “Kami akan kumpul kembali. Tahun depan.” Itu seperti petir di siang bolong yang cerah. Lalu, secara bersemangat dua orang lainnya membahas pernyataan itu.
Di akhir tahun, mereka mulai berproses secara kolektif di Jogjakarta. Ugoran Prasad tinggal lama di Indonesia, beberapa bulan setidaknya. Mereka duduk bersama menggarap sesuatu. Melancholic Bitch sedang bersiap kembali ke arena tahun 2017.
Di pertengahan bulan Januari lalu, saya berbincang bersama Ugo dan Yennu Ariendra di Teater Garasi. Yossy absen karena harus ke Malang. Semuanya disusun mendadak, sehingga kami hanya ngobrol ngalor-ngidul tanpa ekspektasi apa-apa.
Mungkin, memang seperti itu kita harus menyikapi Melancholic Bitch dan seluruh proses di dalamnya. Selamat membaca upaya mereka untuk menyembunyikan proses yang sedang berlangsung di bawah ini. (*)
Ugoran Prasad (UP): Lagi workshop.
Kenapa memutuskan untuk berkumpul kembali dan ngobrol tentang musik?
UP: Kami nggak pernah benar-benar bubar. Cuma ya ada macem-macem. Logikanya kan band ini sudah jadi pertemanan. Misalnya, kemarin kami dalam suasana yang sangat nyaman bagi orang-orangnya untuk punya proyek masing-masing. Dan itu kita saling membantu sebisa mungkin. Kayak aku sama Yennu misalnya. Dia ngajak aku bikin Jalan Emas. Tahun berapa itu aku pulang, dua ribu berapa?
Yennu Ariendra (YA): 2013.
UP: Oh, itu 2013 ya? Ya aku pulang. Aku ngebantuin dia bikin Jalan Emas sedikit-sedikit. Aku harus pergi pas dia mementaskan karya itu. Ya tinggal diterusin saja sama Yennu. Ada banyak yang dia lakukan dan aku membantu dari jauh. Sebisa mungkin, kalau ngobrol ya ngobrol. Yossy juga punya urusannya sendiri. Gara-gara dia sound engineer dan sound desainer, dia selalu kerja sama Teater Garasi. Kita selalu ketemu dan banyak ngomongin kerjaan. Jadi, ya sebenarnya memang banyak kegiatan bersamanya. Kami juga pernah workshop juga sebagai Melancholic Bitch. Tahun berapa itu?
YA: Udah lama banget itu.
UP: 2013 juga kayaknya ya? Itu yang terakhir kita bisa workshop intens. Ya kebutuhan untuk melanjutkannya, terhenti karena berbagai alasan. Merasa nggak cukup matang atau hasil workshopnya nggak terlalu memuaskan. Yang begitu-gitu. Jadi, memang fase yang kita ambil adalah fase yang kita sepakati bersama. Kalau mulai lagi ya sudah, jadi atau tidaknya nggak pernah tahu. Yang penting kerja bersama lagi, duduk bareng, nongkrong bareng. Jadi nggak pernah dalam lima tahun ini kami benar-benar tidak berhubungan.
YA: Kita lumayan sering kerja bertigalah (bersama Yossy) dalam beberapa proyek.
Termasuk kemarin pementasan Teater Garasi itu? Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi?
UP: Yossy jadi sound designernya. Aku menulis. Yennu music designernya. Tapi, karena itu kerjanya dalam kerangka Teater Garasi, scoopnya lebih lebar lagi. Kita selalu menyempatkan untuk kerja bareng dalam waktu yang memungkinkan karena ya aku kan ada di tempat lain. Tapi kadang-kadang suka mikir juga, “Eh, 2013 tuh udah lama banget ya?”. Selalu gitu.
Basi ya jadinya?
UP: Iya.
YA: Tapi nggak terasa toh? Karena kita selalu kerja bareng di level individual.
UP: Lalu sadar, “Eh, udah lama banget ya kita workshop yang Melbi? Nyoba lagi yuk.”
Jadi sebenarnya, Melancholic Bitch itu jadi satu bagian dari proses kalian sebagai individu untuk bekerja beriringan? Atau memang perlu dikhususkan?
UP: Iya.
Atau harus, “Eh kita sudah waktunya nih untuk kembali.” Apa begitu?
UP: Ya gimana ya, mungkin kali begitu.
YA: Kalau kita terakhir itu, bahasa yang paling sederhana kayak pokja (kelompok kerja). Kayak anak zaman sekarang, menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar. Ya Teater Garasi itu. Ada pokja Risky Summerbee and the Honeythief, ada pokja Melancholic Bitch. Ada masa-masanya harus kerja. Kalau sudah tiba waktunya, ya kerja. Namanya juga kelompok kerja di dalam lingkungan yang lebih luas. Jadi, kita workshop di sini, sehabis seharian rapat Teater Garasi.
Proses workshopnya sebenarnya ngapain sih? Yang biasa terjadi gimana, proses kerjanya karena kan kebanyakan hanya kalian bertiga yang lebih banyak berandil ya?
UP: Nggak juga sih. Lebih karena belakangan ini gampangnya ya kami bertiga ini. Persoalan koordinasi. Kayak Wiryo (Pierna Harris –ed) ada di Jakarta. Didit (Richardus Ardita –ed) akan datang setelah ini. Ada proses ganti-gantiannya. Karena ada penjadwalan juga di level workshop ini. Kadang kami butuh kuping yang segar. Kalau ada inti yang bekerja dan yang lainnya mendengarkan itu pasti beda pengalamannya. Mereka jauh lebih bisa obyektif dan dingin.
Yang segar?
UP: Iya. Yang ini sampah, itu sampah, itu juga sampah. Mereka yang bilang. Jadi, ya buat lagi. Kita percaya dengan mekanisme itu, satu sama lain percaya dengan metode yang begit kayaknya. Terus apalagi tadi pertanyaannya?
Cara kerjanya?
UP: Iya, itu cara kerjanya. Sekarang mungkin kami menemukan concern bersama atau mengundang orang. Lalu kita menemukan sesuatu yang bisa sama-sama dibela secara teks atau kata sandi. Itu juga jadi jawaban yang susah karena misalnya, Yennu punya proyek macam-macam. Misalnya, Menara Ingatan sama Asa Rahmana dan Silir Pujiwati. Di kelompok itu, dia jadi komposer. Sebagai komposer, ia memilih rekan kerjanya yang lain, kolaboratornya juga lain. Pilihan itu bisa aku bela. Karena di level personal, aku suka sama gagasannya. Aku bisa membela. Jadi, walaupun kita tidak terlibat main musik di sana, aku bisa ngebelain gagasan yang sedang dia telusuri.
YA: Kadang-kadang ada pertimbangan kayak melempar umpan bikin sebuah ide. Lalu muncul pemikiran, “Oh, ini belum waktunya digarap nih, si Melbi. Ya sudah, ini digarap di Teater Garasi saja.” Misalnya seperti itu. Jadi kayak aku juga punya pertimbangan aku punya sebuah ide, kayaknya nggak mesti di Melancholic Bitch. Di Belkastrelka (bandnya yang lain –ed) juga nggak mungkin. Di Teater Garasi mungkin bisa. Hal-hal yang kayak begitu. Atau sekalian, aku kerja dengan kelompok yang lain, bisa seperti itu.
UP: Medianya memungkinkan sekarang. Ada teater, atau Yennu sekarang terlibat di scoring film (ia mengerjakan scoring film Istirahatlah Kata-Kata –ed). Aku juga bisa menulis sendiri. Ada yang kadang berkaitan, atau yang kadang malah nggak dijadiin. Belum bisa juga semuanya jadi musik. Kadang, “Ah, ini masih terlalu cerewet atau masih belum bisa diturunkan dalam bentuk yang lebih konkrit untuk band.” Ukurannya susah memang. Kadang-kadang kami mengikuti intuisinya, tapi kayaknya emang belum saatnya untuk Melancholic Bitch.
Tapi proses ini dibiarkan liar tanpa tahu kapan akan kemana?
YA: Nggak sebenarnya. Kalau yang sekarang ini, sudah kita niatkan. “Kayaknya yang ini cocok nih untuk Melbi. Yuk kita kerjakan.” Jadi, kita sudah mengobrol dulu dari awal.
UP: Tengah-tengahlah ngobrolnya. Lewat Skype.
YA: Aku sudah bilang kalau punya ide gini, gitu.
Wih, kalian menggunakan Skype juga untuk berkomunikasi satu sama lain?
YA: Iya, kami menimbang apakah ini bisa ke Melancholic Bitch atau tidak.
UP: Tidak bisa intens prosesnya ya karena itu tadi. Kita mengikuti sampai arah tertentu, masih berpijak pada jadwal yang memungkinkan untuk masing-masing orang. Kepengennya dalam waktu dekat ke depan ada momen workshop yang lebih intens. Kalau sekarang, masih mencari form, baru mulai. Jadi santai banget. Ya ada target, tapi kadang-kadang itu juga dengan gampang dikalahkan dengan dinamika temuan-temuan kita sendiri juga. Kadang-kadang kita ngetake, ada gagasan yang harus dibelain. Misalnya, kami menemukan satu apalah, tesis misalnya. Atau isu bersama. Atau tema bersama yang kita coba, bisa jadi mental. “Ah, nggak gini harusnya.” Atau aku berdua sama Yennu mencoba. Gampang basi juga.
YA: Gampang basi, gampang sakit tangannya karena kelamaan nggak megang gitar.
UP: Yang terakhir ini kayaknya cukup. Kayaknya ada alasan yang aku belum bisa ngomong jauh, ini menyatukan kami untuk ngomongin sekarang.
Jadi, yang sekarang sudah lebih real?
UP: It’s about time. Ya nggak terlalu abstrak lagi. Dekat dengan situasi kita. Tetap, kecenderung hasil akhirnya akan menjadi abstrak tapi buat kita sendiri dekat. At least dekat stage dan age-nya.
Stage sama age ternyata pengaruh ya?
UP: Oh iya.
Tapi, kalau dipikir-pikir, jeda rekaman kalian itu lama juga ya. Rekaman Live at Ndalem Joyokusuman itu 2004 ya atau 2003?
UP: Ya sekitaranlah. Tahun berapa sih?
Lalu Anamnesis 2008?
UP: Nggak, 2005.
Kemudian Balada Joni dan Susi itu 2009? Lama juga ya? Sudah delapan tahun yang lalu itu album. Emang materi mentalnya segitu banyak sampai makan waktu selama ini?
UP: Banyak banget. Sesudah Balada Joni dan Susi itu kita langsung kerja sebenarnya. Sesudah Anamnesis kita juga langsung kerja. Ada gagasan yang mental waktu itu. Sesudah Balada Joni dan Susi juga ada gagasan yang mental. Tapi itu lebih rileks, karena kesepakatan kita sebagai sekawanan teman-teman itu jauh lebih gampang terartikulasi dengan banyak cara. Aku bisa nemenin Yennu ketika dia buat musik teater. Musiknya dia juga memberi inspirasi aku untuk nulis. Aku tetap kerja di saat bersamaan. Yossy kan juga dekat. Melihat teman-teman yang ada di dalam komunitas ini tumbuh juga menyenangkan. Melihat Risky Summerbee and the Honeythief bekerja itu menyenangkan. Melihat Belkastrelka bekerja juga menyenangkan. Jadi kayak nggak ada keharusan bagaimana band bekerja. Nggak terlalu jadi ukuran kita bahwa setiap tahun harus buat album. Ini tuh lebih rileks.
Ngomong-ngomong Balada Joni dan Susi, kayaknya paska album itu, nggak ada lagi deh band Indonesia yang bikin satu album penuh tapi nyambung ceritanya.
UP: Masa sih nggak ada?
Nggak ada kayaknya bener. Karya kalian itu kan jadinya unik karena tren produksi juga berubah. Membuat album rasanya tidak lagi dipikirkan seserius itu ternyata, orang bisa rilis single digital saja dan jadi kemana-mana segala macam. Nah, buat yang sekarang ini pendekatan Balada Joni dan Susi untuk Melancholic Bitch nggak bakal diulangi dong? Atau mungkin diulang?
UP: Nggak tahu.
Masih belum tahu? Pola kerjanya deh. Apa nemu aja seiring jalannya waktu?
YA: Nggak tahu. Kadang-kadang gini, kita tuh kan kalau mau kerja kreatif ada yang namanya ekspansi ya. Karena sudah pernah melakukan sesuatu, kadang-kadang ya bisa melebar atau justru tidak di kali berikutnya. Atau justru malah pematangan. Umpamanya ya, bisa aja kita cuma matengin Balada Joni dan Susi. Begitu pula dengan cara kerjanya. Cara kerjanya ditata ulang, bisa saja seperti itu. Atau kita mau melebar mencari eksplorasi yang lain. Maksudnya, kita selalu ada pilihan itu. Waktu kita mencari yang sekarang, proyeksinya diubah. Tapi mungkin ada juga benarnya dan kelemahannya. Kita sedang mencoba keduanya dan kita belum tahu sampai sekarang mau gimana.
UP: Soal konsep, misalnya. Lebih luweslah. Kalau Balada Joni dan Susi nggak. Dari awal kayak kesambet setan. “Yuk bikin album,” kata anak-anak. Gue bilang, “Gue nggak mau. Maunya bikin begini.” Abis itu terus aja dan itu memang dibutuhkan kayaknya. Karena kita pada waktu itu nggak tahu apa yang bisa dilakukan sama band ini.
YA: Belum pernah dipush soalnya.
UP: Iya, salah satunya itu. Anamnesis itu memuaskan tapi proyeknya terlalu lama tanpa pagar. Kita melakukan itu lama banget, tiga atau empat tahun. Dengan berbagai demo yang gagal, itu ada koreksi sebagaimana band yang lain. Habis itu mencoba lagi masuk ke album kedua, dengan logika Anamnesis. “Sudah dua tahun nih, bikin lagi yuk,” waktu itu mikirnya gitu. Kami tidak menemukan rasa nyaman dengan jamming. Sehabis itu gue datang dengan konsep Balada Joni dan Susi itu. Pas jadi, anak-anak bilang, “Ini naskah apaan sih?” Tetap menjadi seru karena itu bentuk baru dan mereka harus membaca 20-30 halaman yang nggak jelas puisi atau bukan, lirik atau bukan. Kadang-kadang malah gue cuma ngasih paragraf yang menimbulkan pertanyaan, “Ini gimana maininnya?”
YA: Ada sedikit resistensi waktu itu.
UP: Ah, banyak banget. Aku juga ikut resisten sebenarnya, walaupun kemudian jadi senang. Punya ikatan dengan proses yang tiba-tiba negosiasi. Ini nggak bisa di sini, harusnya diletakan di bagian sebelumnya, dinamikanya nggak jalan, wah itu kan kemana-mana. Drama. Tapi begitu melewatkan itu, kita jadi tahu semua satu sama lain.
Menemukan batasan baru ya?
UP: Iya, kan gitu. Terus jadi tiba-tiba kalau aku punya konsep apa-apa gitu, mereka nanya, “Apa bedanya nih sama Balada Joni dan Susi?” Gitu jadinya, terus yang lain jadi sombong, “Masa gitu doang, Go?” Haha.
Tapi ya, Balada Joni dan Susi kan setelah dipretelin dan dijalanin jadi bisa dipisah-pisah lagunya. Mereka berdiri sendiri. Pengalaman menonton di panggung dan mendengarkan karyanya secara utuh jadi beda.
UP: Betul. Nah, itu dinamika yang lain. Jadi kita ditolong dengan keuntungan biasa bekerja di kelompok teater. Cara kita mendekati Balada Joni dan Susi sebagai album ya sebagai teks, musik itu bagian dari teks. Ketika harus dipentaskan, ya dia harus dimainkan dengan logika pementasan, pemanggungan gitu. Jadi, tiba-tiba ada kemungkinan yang harus, bagaimana jika dimasukkan materi Anamnesis di tengah-tengahnya? Ada banyak yang ngomong. Kayaknya termasuk elo deh. Ada hikmahnya kan? Tantangan baru yang kemudian muncul: Gimana dengan frame Balada Joni dan Susi selanjutnya?
Ya, ketika kalian jadi pengamen ditanggap main, mau nggak mau kan harus mencampur lagu dong? Nggak bisa sepenuhnya memainkan Balada Joni dan Susi.
UP: Iya. Nah itu muncul eksperimen akhirnya. Kami harus membuat repertoir yang bisa keluar masuk dengan album yang lama dan baru. Kalau tadi Yennu bilang, itu level permainan yang lebih mematangkan barangnya. Ternyata sesudah album keluar, kami masih punya momentum yang harus dijalani sebagai band.
Itu pelajaran pentingnya ya?
UP: Iya. Dan kita cukup lama seneng nyangkut sama permainan itu.
Tapi, delapan tahun setelah dirilis, kalian berdua melihat Balada Joni dan Susi itu pencapaian yang seperti apa sih?
UP: Angel. (Susah –ed). Kita nggak pernah ya terus duduk bersama dan ngomong, “Kita tuh mencapai apa ya?”
Ya sudah, saya ajak mikir sekarang.
YA: Mungkin kemudian gini, nggak tahu ini mungkin berhubungan dengan pribadi ya. Umpamanya lima tahun yang lalu ditanya, “Kamu mau jadi apa sih?” Ada tatapan, misalnya aku ditanya dengan pertanyaan itu tadi. Sebenarnya setelah itu, kita kayak sama-sama melihat visi orang lain sebagai individual. “Oh, arahmu ke sana, arahku ke sini.” Kayak logika bikin film yang mengundang aktor-aktor hebat saja. Mereka kan nggak tahu tuh, ekplorasinya seperti apa, masing-masing punya visi sendiri sebagai aktor. Kemudian kita masing-masing membagi apa yang sudah pernah kita temui. Selama delapan tahun ini juga begitu, kita ngecek pada kemana aja ya sebagai individu. Apa saja yang sudah dijalani. Dari situ jadi bisa menakar, ekspektasinya harus kemana. Artinya jadi lebih paham, kita bisa langsung ke titik tertentu sekarang. Sudah tahu ukurannya. Ketika berpisah dan jalan masing-masing, saling ngecek, “Oh, kamu sudah sampai sana. Ngapain aja kemarin?” Bisa bikin kayak gini, kayak gitu. Nah, kita dibantu oleh ekspansi yang dimulai dari lima tahun ketika pertanyaan itu dilontarkan.
Ok. Berarti sekarang ini yang terlibat di Melancholic Bitch ini masih orang-orang yang sama?
UP: Kemarin kita ketemuan terakhir sebelum natal masih begitu. Komposisi itu masih sama. Sebelumnya ada yang nggak bisa. Wiryo akan pindah ke New Zealand, kita lagi nyari jalanlah. Karena dia yang gitaris beneran sebenarnya, kalau yang lain sudah lebih ke arah lain.
YA: Ada dia ya aku bisa excuse sebenarnya. Bisa diganti ketika main live. Haha.
Di level personal, ketika berkumpul gitu, rindu nggak sih sama proses ngeband?
UP: Ya dibawa santai aja. Cenderung kayak gitu sih. Tapi karena ketemu di tempat lain, ada alasan lain jadinya. Kayak aku masih ketemu Yennu.
YA: Kita masih ngeband dalam frame yang berbeda. Masih berbagi proyek. Terakhir Yang Fana kan ya? Aku masih sama Yossy. Kemarin aku sempat buat materi, lalu harus ke Jepang. Ya aku kontak Yossy, suruh dia beresin sedikit-sedikit. Sebelum pergi aku ambil lagi ke dia. Itu rasanya kayak ngeband.
UP: Kita masih berkomunikasi kayak ngeband. Ya, kita ngobrol terus.
Tapi itu kan sebenarnya karena tadi yang kalian bilang, kalian itu bagian dari suatu sirkus yang lebih besar. Si Melancholic Bitch ini kan satu channel saja.
UP: Nggak sengaja juga sih. Tapi kami kan bagian dari sejarah musik di Jogja.
Iya, itu yang bahaya. Tanggung jawab publik asu.
UP: Haha. Tapi itu benar, bahwa kami dibesarkan dengan cara pikir yang seperti begitu. Misalnya Melancholic Bitch datang dari aku sama Yossy. Kami punya proyek di dalam sebuah rencana besar ketika bikin Performance Fucktory dulu sama Juki (Marzuki Mohammad, Kill the DJ), Jompet (Jompet Kuswidananto, Teater Garasi) dan Ari Wulu. Jadi kebiasaan kalau cara kita menempatkan diri itu selalu di tengah lingkungan kreatif yang lebih besar. Kita merasa didukung oleh lingkungan itu, inspired sama lingkungan itu dan sama-sama kalau bisa punya kontribusi balik. Terbiasa berada di tengah ketegangan kreatif model begitu. Bekerja dalam lintas disiplin, lintas medium. Ngeband proses yang sama, hanya assignmentnya beda aja. Ini membuat band ini terus ada, karena ada chemistry yang lain levelnya. Hampir kayak pertemuan keluarga. Kita lebih sering makan-makan daripada ngomongin musik dan itu rutin. Lebih rutin daripada masuk studio. Karena ada titik-titik tertentu masing-masing orang punya disiplin masing-masing yang terlalu obscure untuk dibagi ke yang lain. Itu kayaknya juga jadi energi bagus, sebagaimana aku percaya; Kalau orang intens melakukan sesuatu itu pasti punya feedback ke lingkungan yang lebih besar. Musuhnya kadang kita terlalu nyaman, jadi sibuk makan-makan doang. Kebanyakan nggak kerjanya.
YA: Tapi aku paham yang kamu maksud itu. Itu kejadian sama bandku sebelum ini. Itu spiritnya dulu band-bandan. Joy Division banget, sampai yang kayak gitu. Auranya sangat-sangat band. Tapi kemudian aku disibukkan sama hal-hal yang sifatnya individual, tuntutan-tuntutan baru. Jadinya hilang hasrat ngebandnya.
UP: Haha. Spirit asli band-bandan.
YA: Kamukan dulu ada spirit asli band-bandan kan?
UP: Mungkin pas jaman di Bandung ya?
YA: Yossy juga pernah kayaknya. Jelek banget bandnya itu. Haha.
UP: Di kita nggak bisa kayak gitu. Kayak waktu bikin lagu, yang cerewet duluan itu Juki. Terus teman-teman kami juga sibuk berkomentar. Kita punya produser yang banyak kayaknya. Sampai waktu itu gue nggak tahu nyusun lagu untuk Anamnesis, dikasih ke Ogleng (Yudi Ahmad Tajudin, Teater Garasi –ed). Dia kan yang bikin susunan lagu akhirnya. Semua orang bilang, “Lah, sutradara teater apa urusannya nentuin daftar lagu?” Kami balas, “Nah, justru itu, karena nggak ada alasannya maka jadilah Anamnesis.”
Berarti, bisa dibilang Melancholic Bitch sebenarnya bukan entitas musik?
UP: Kami percaya kami adalah entitas musik, tapi bukan band barangkali. Bukan band karena kita tahu kita terlalu gede kepala, terlalu keras kepala untuk jadi band.
Saya tertarik sama proses musikalnya sekarang. Tadi kamu bilang masing-masing individu punya cerita yang lebih dalam. Profesinya juga kemana-mana, Yennu bilang tadi sudah lama tidak menyentuh gitar. Yossy juga.
UP: Sekarang pakai tombol. Semua orang pakai software.
Tapi pas berproses untuk rekaman kan, koridornya kan mau tidak mau Melancholic Bitch harus menggunakan instrumen musik yang konvensional. Kalian update nggak sih dengan kondisi musik sekarang?
UP: Nggak update.
YA: Hahaha. Ya updatelah.
UP: Yennu mungkin harus karena dia komposer. Yossy update barangkali karena sound designer, dia keliling terus kan? Ya kalau aku nggak update sih kayaknya. Itu-itu saja sih. Aku kan bukan musisi beneran.
YA: Dia sekarang sudah bisa main gitar dengan lebih bagus loh.
UP: Itu kan karena kebanyakan sendirian.
YA: Gitar akustiknya bagus. Berarti aku bisa nggak main.
UP: Itu bikin ekspektasi berlebihan. Bahaya itu.
YA: Tapi gini, mungkin aku juga nggak setuju kalau yang namanya semakin ke sini kita semakin meninggalkan nilai-nilai sebenarnya. Ada kok nilai-nilai tentang disiplin. Kita dulu ngoyo banget, semenjak Anamnesis, misalnya. Aku itu sebenarnya training gitar dan lumayan ngoyo.
UP: Biasa, orang Jawa Timur, Banyuwangi.
YA: Aku pikir nggak bisa tuh, entah etosnya atau caranya, tapi itu nggak bisa hilang ketika mau mulai lagi. Karena aku lebih curiga sama hal-hal yang gampang. Kalau gampang sih, kita bikin band reunian aja. Lebih ke sana. Tapi untuk album ini, ketika mulai, aku bilang sama diriku, “Ah, mungkin udah saatnya aku belajar lagi.” Karena terakhir kali perform di panggung itu berat bagi aku, berat banget.
Beratnya kenapa?
YA: Fisik.
UP: Harus training lagi dia.
Sebenarnya jadi penampil di panggung dalam bentuk band menyenangkan nggak sih?
UP: Ya menyenangkan. Kita harus mencari kausa memang jadinya. Beberapa tahun kan aku hanya berdua sama Yossy. Dan kayaknya dia tahan sama aku, kadang terpaksa menerima tawaran. Padahal susah tuh logikanya masuk, “Kenapa ya harus main di sini? Apa alasannya?” Sekarang jadi lebih sederhana karena aku nggak ada di Indonesia. Kalau ada di Indonesia, ya ok-ok aja kalau main. Selain itu, semenjak Balada Joni dan Susi, penampilan live jadi menyenangkan. Karena aku merasa ia diambil alih, ceritanya diambil alih. Kalau kita mendengarkan feedback orang, tiba-tiba itu jadi cerita mereka. Ada orang-orang yang bisa terkait dengan ceritanya. Lalu mereka nulis email soal bagaimana dia menghubungkan diri dengan cerita itu. Jadi hubungannya juga menyenangkan. Karena itu, bisa jadi di saat yang bersamaan, gue nggak sedalam itu memahaminya. Termasuk persoalan tahu apa tidak apa yang gue omongin. Akhirnya gue bisa humble sama respon orang atas penafsiran ulang itu. Itu menyenangkan, iya kan? Tiba-tiba gue merasa hanya menjadi medium dari satu cerita yang sepenuhnya bukan cerita gue juga. Kayak gitu-gitulah.
Gemanya besar ya jadinya Balada Joni dan Susi untuk orang banyak?
UP: Nggak tahu dengan apa yang dimaksud besar dalam pengertian orang itu. Tapi yang ada inilah, itulah, mungkin jumlahnya nggak sampai ribuan. Bahkan ratusan saja barangkali nggak ada. Ya, ukurannya dari apa yang tertulis ya, apa yang gue baca, yang bisa gue intip. Tapi yang ada, seberapun responnya, ada sepuluh, lima belas, itu nyebelin kan? Jadi gue lagi sibuk mau ujian, tiba-tiba ada orang-orang kayak Iit (Iit Sukmiati, salah satu pemilik Omuniuum yang merupakan penggemar berat sekaligus salah satu teman terdekat Melancholic Bitch –ed) yang ngasih tahu kalau ada orang nulis. “Gila, ini tahun berapa sih?” tanya gue dalam hati. Beberapa anak SMA. Itu kan diriis tahun2009 dan sekarang 2017. Sudah lewat beberapa generasi anak SMA kan? Yang dulu SMA mungkin sudah kawin atau punya anak. Ini tiba-tiba ada anak SMA yang lain.
Padahal, di masanya Balada Joni dan Susi nggak relevan untuk anak SMA kan ya?
UP: Nggak sama sekali. Barangkali lebih ke anak kuliahan. Termasuk gue. Hahaha. Keberadaan yang kayak tadi itu kadang-kadang pas ketika gue sedang dalam momen tertentu yang mengingatkan bahwa gue pernah buat Balada Joni dan Susi.
Emang pernah terlupakan?
UP: Ya nggak. Cumakan dia punya hidupnya sendiri yang kadang-kadang gue nggak bisa terus menerus merawat kehidupan itu. Sama kayak misalnya gue punya novel. Biar dia punya kehidupan sendiri gitu. Ya, itu hubungan antara yang punya karya sama karyanya. Kalau terlalu akrab kan jadi romantis ya? Nyebelin jadinya, habis itu kayaknya karya tersebut penting banget. Padahal mah, barangkali harusnya biasa-biasa saja.
Lah, kalau misalnya ada orang datang ke kalian dan bilang, “Mas Ugo, Mas Yennu, Balada Joni dan Susi itu penting banget untuk hidup saya.” Ngeresponnya gimana?
UP: Nggak tahu ya. Kalau buat gue, itu kayak gue juga sebagai fans sama apa gitu. Kayaknya pernah deh gue ngomong sedikit, apa yang kita suka itu kadang-kadang ngomong lebih banyak tentang siapa kita dari pada obyeknya sendiri. Jadi, dalam taraf tertentu, pertemuan itu sudah menjadi pertemuan antara pembaca, pendengar kisah itu. Gue kadang sudah nggak ikut-ikut dalam relasi itu.
Nah, terus kalau ditanyain sama orang kapan ngumpul lagi, bosan nggak sebenarnya? Atau capek?
UP: Ya lumayan. Pertama, kalau dulu sebel. Karena sebenarnya kita kumpul terus. Kerja terus kok. Punya produksi terus kok. Emang nggak melihat Belkastrelka? Dalam tahap tertentu, aku merasa Belkastrelka itu sebagai teman mengobrol. Walaupun dia nggak ngajak, nggak cerita apa-apa. Pas musiknya jadi, aku jadi bisa ngobrol sama dia. Ada yang bisa aku lakukan dalam konteks bermusik. Jadi, kalau ada pertanyaan itu, nyebelin tapi juga jadi paham. Pada tahap tertentu sudah tua, ya pasrah juga. Dan paham karena kita kan tetap ada. Band sebagai entitas musik itu kan baru ya, dalam lansekap musik dunia yang ratusan, ribuan tahun ini. Baru abad 20-an lah ada. Tapi dalam saat yang sama, kita masih memegang itu sebagai salah satu cara menakar dan cara ukur yang bisa digenggam tentang bagaimana kita berpikir tentang musik selain yang solo-solo itu, misalnya. Kalau band, ya harus gitu. Dan kita mengikuti band dengan cara yang sama, “Oh, ini reuni. Blur reuni.” Cara kita mikir gitu kan? Yang aku rasakan, dengan lansekap medan produksi yang sekarang, jangan-jangan sudah nggak pas kok. Dan harus pindah ke medan produksi yang lain. Model produksi yang lain juga.
YA: Aku juga mikir untuk yang baru-baru ini kan sebenarnya banyak intensitas musik yang seperti band, padahal komunitas. Keberadaan additional musician itu apa coba? Apa nggak komunitas jadinya?
UP: Iya, kayak gitu banget kan?
YA: Sudah banyak yang meninggalkan identitas band. Kayak Efterklang, misalnya. Aku mikir, “Ini band sebenarnya anggotanya berapa sih? Kok ganti-ganti mulu?”
Proyeknya sudah terbuka untuk banyak orang ya?
UP: Dan itu nggak akan matang di angkatan ini, aku rasa. Itu akan matang di sepuluh atau lima belas tahun lagi. Generasi yang di depan itu, mikirnya lebih cair, semua lebih gampang bertukar-tukar. Di teater kejadiannya sama. Struktur produksi kesenian itu kan nggak mungkin lagi sama dengan sepuluh dan dua puluh tahun yang lalu. Realitas-realitasnya berubah dan kita percaya banget dengan tegangan yang kreatif antara pelaku seni dengan realitas produksinya. Tapi kamu juga harus merespon itu dan pasti akan menciptakan entitas-entitas dengan logika yang berbeda. Band itu pernah revolusioner banget loh. Sekarang masih? Kayaknya nggak deh.
Dengan pola pikir yang seperti ini, jadinya juga membuka banyak kemungkinan baru ya? Bisa menekan ekspektasi orang-orang yang terlibat? Bahwa kalian memang melakukan sesuatu yang perlu penyesuaian dengan keadaan?
YA: Ya kita punya tegangan itulah. Kayak di album Balada Joni dan Susi waktu awal. Ada dari kita yang berpikir, “Oh, ini ngeband. Ini nggak bisa ngeband.” Nggak bisa kan kita harus main live seminggu sekali minimal dalam setahun? Pasti tegangan itu ada. Waktu itu aku lupa gimana kita ngobrolnya. Tapi, ya Melancholic Bitch itu segini aja. Kalau mau yang lain, ya silakan dikejar. Karena mungkin sekali aku pengennya gini, tapi nggak mungkin di Melancholic Bitch. Ya sudah, aku cari jalan lain. Mungkin begitu, tapi sementara ini nggak ada orang yang kemudian bergabung dengan band lain atau menciptakan band baru.
UP: Betul. Dan kita punya banyak band sebetulnya. Mudah-mudahan itu bukan karena pengaruh buruk Melancholic Bitch.
Mungkin ada yang salah dalam proses internal kalian? Haha. Tapi proses-proses begini dibiarkan liar tapi lebih teratur dari yang sebelumnya ya?
UP: Mungkin iya.
Karena kalian sebagai Melancholic Bitch juga tidak bisa menjawab target-target pribadi kapan ya kan? Saya benci sih bertanya tentang kapan. Kebanyakan musisi itu tukang bohong kalau bicara tentang janji-janji kapan kelar karyanya.
UP: Kita punya tanggal. Kita punya komitmen-komitmen. Tapi ya itu, logika-logika produksi tetap sesuatu yang harus dihitung. Yang begitu harus dipelajari karena logika produksi membuat kita punya komitmen yang lebih, jadi harus ada produser. Harus punya janji dengan sound designer, sound engineer. Yossy nggak mungkin mengerjakan ini sendiri, terlalu dekat untuknya. Gendel sih yang akan mengerjakan (Anton Gendel –ed).
YA: Kita harus punya studio sendiri.
UP: Sudah ngomong sama Gendel. Ya sudah ada komitmen dengan dia untuk kita mau kerja lagi. Tanggalnya sudah ada, karena semua orang punya kesibukan masing-masing. Akan ada pelanggaran dari komitmen. Akan ada yang dimarahi, kemungkinan aku.
Kok defensif? Haha.
UP: Mereka juga sudah tahu. Kalau kapan itu ya cara mengukurnya bukan end pointnya. Tapi kapan kita masuk studio. Kapan kumpul seluruh band untuk ngomongin komposisi. Kapan batas improvisasi pertama selesai dan kita jamming bikin komposisi dasar. Tanggal-tanggal itu ada. Tapi belum ada tanggal untuk kapan albumnya keluar.
YA: Itu susah. Karena kita juga akan curiga.
UP: Mungkin setelah proses panjang ini, akhirnya cuma satu lagu.
YA: Aku juga bilang gitu. Sanggup kok dengan keadaan sekarang. Tapi ya, nggak apa. Ini kan masih awal tahun. Ya kita awali dulu. Kita akan punya ukuran setelah ini. Setelah bikin-bikin dan ketemuan ini. Ada ukuran yang lebih pasti setelah ini.
UP: Misalnya tahapan workshop ini akan berakhir bulan Februari ini. Setelah itu akan ada lebih banyak yang lebih jelas untuk kami. Termasuk juga bahwa wawancara ini ternyata omong kosong dan kita nggak kemana-mana.
YA: Jadi kita nggak menghasilkan album ternyata nanti.
Loh, saya juga sudah siap dengan kemungkinan itu ketika mengajak kalian ngobrol. Jadi artefak sejarah kan?
UP: Berarti kamu mewawancarai kematian satu proyek lagi. Bagus itu.
YA: Mungkin nanti kamu melihat Yossy yang tiba-tiba nanti punya solo album. Haha.
Tapi pada dasarnya ini maju dari proses sebelumnya?
UP: Iya dan jadinya ada banyak opsi. Minimal di aku. Nggak tahu sama yang lain. Aku yakin dengan proyeknya, sama opsi yang kita punya. Kemana kita jalan sejauh ini. Untuk yang kali ini, aku merasa sekarang kayak ada beberapa jalur; bukan berarti aku selalu benar ya, aku pernah salah. Setidaknya ada satu yang bisa aku pegang. Sebelumnya nggak gini. Sebelumnya kita taruh semuanya di satu keranjang. Ibaratnya telur, kalau sudah bau semuanya, mau buat apa? Sekarang tidak begitu. Kalau yang ini, kayaknya punya alasan dan dalam setahun belakangan ini ada situasinya. Ada situasi eksternal yang memaksa kita mikir, itu membuat ini semua kayaknya harus dituangkan dengan medium Melancholic Bitch. Bukan medium yang lain. Eskalasinya sudah ada.
Jalannya sudah terarah ke sana ya?
UP: Iya, semacam kayaknya harus menggunakan medium yang ini lagi. Sekali lagi, aku pernah salah sebelumnya. Jadi mungkin saja salah sekali lagi. (*)
*) Foto tema Melancholic Bitch diambil oleh Adi Adriandi di Padepokan Bagong Kussudiarja, November 2011.
*) Foto Ugoran Prasad dan Yennu Ariendra diambil oleh Felix Dass di Teater Garasi, Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar