Ugoran Prasad: ‘Kalaupun saya di Indonesia terus, akan tetap sama saja’
Posted
11/07/2013 by Daffa
Andika in Musician
Untuk sebagian orang, sosoknya
sering terdengar sebagai tanda tanya. Bagi yang sempat mengenyam
cerita-cerita pendek atau bukunya, ketandatanyaan tersebut datang dari
teks demi teks itu sendiri. Bagi yang beruntung pernah menyaksikannya
bernyanyi dan bernarasi untuk sebuah kolektif Melancholic Bitch,
ketandatanyaan itu mungkin datang dari ketidaksigapan menerima kenyataan
bahwa ada yang mampu bercerita bukan tentang dirinya dengan begitu
fasih, erat, rejan yang bahkan mampu turut menyesakkan orang lain dan
kesemuanya dilakukan dengan persona yang memaksa kesadaran
berheran-heran apakah dia benar-benar sedang menceritakan yang bukan
tentang dirinya.
Atau ketandatanyaan itu lahir dari
perasaan cemas, ketidaktahuan dan kerelaan akan kemungkinan kesempatan
mengalaminya kembali. Tentang ketidaksigapan, mungkin akan lebih
menenangkan jika tahu bahwa dia memang lahir dan dekat dengan dunia
teater dan seni pertunjukan. Sementara yang tentang kecemasan, patut
dimaklumi karena fakta dia telah, masih, dan akan sering keluar masuk
negara ini demi pendidikan akan dunia pentas yang lebih lagi.
Beruntung bagi banyak orang ketika akhirnya dia pulang untuk beberapa
saat dan kembali bernarasi bersama Melancholic Bitch setelah ratusan
hari. Yogyakarta pada 5 Mei 2013 dan Bandung pada 31 Mei 2013 menjadi salahdua
kesempatan mahal itu. Mungkin dan semoga saja masih ada beberapa kali
lagi walau sudah pasti tidak akan banyak. Dan memang dosa rasanya jika
harus banyak menuntut dan merelakan diri terus menerus dihujani
ketidaksigapan-ketidaksigapan dan kecemasan-kecemasan yang sama yang
mustahil berkurang dosisnya karena mereka adalah Melancholic Bitch, dan
ya, dia adalah Ugoran Prasad. Saya berkesempatan mewawancarai Ugo seusai
konser Menuju Semesta di Bandung akhir Mei lalu. Ini setelah konser,
tapi ternyata dia masih saja membuat saya sebal karena dia bilang kalau
dia masih bisa membuat yang lebih bagus dari semua yang telah dia buat
selama ini.
**
Ugoran Prasad, saya benci Anda.
Ok.
Jika ada seseorang datang dan mengatakan itu kepada Anda, apakah itu hal yang baik-baik saja?
Ya, baik-baik saja.
Kenapa?
Saya pikir justru menyenangkan karena jujur, barangkali, dan tidak
penting sebagaimana saya merasa saya bukanlah seorang yang penting. Saya
tidak merasa butuh disukai dan saya pikir bukan itu fungsi seniman.
Yang saya pikir paling penting dari posisi seniman adalah apakah saya
bisa bicara, bisa membangun komunikasi lewat karya saya, apakah karya
saya bisa mengatakan sesuatu yang bisa direspon oleh orang lain dan
kemudian saya bisa mendengar respon tersebut. Saya pikir justru
ketegangannya, malah harusnya, Anda berkomunikasi dengan orang yang
membenci Anda ataupun yang Anda benci. Dan “orang lain” menurut saya
adalah sebuah tema penting dalam kesenian, di Indonesia apalagi, karena
di sini ‘kan ada banyak yang diliyankan, ada banyak othering di
Indonesia. Sehingga kalau Anda cuma ngomong sama orang yang Anda sukai
atau yang anda mau, kita tidak akan kemana-mana. Saya pikir tugas
seniman justru harusnya melampaui itu, karena segala keinginan untuk
disukai atau kekhawatiran dibenci itu menurut saya bisa berbahaya.
Bagaimana jika kebencian itu berasal dari ketidakrelaan mengapa ada yang bisa menghasilkan karya sebagus karya-karya Anda?
Ya tidak apa-apa juga. Jika dalam konteks itu, saya juga membenci
banyak orang. Saya benci kenapa David Wrench sedemikian bagus, kenapa
Pink Floyd sedemikian bagus, saya juga benci kenapa Arian “Puppen”
sedemikian bagus. Semua jika konteksnya bagaimana saya mendengarkan
mereka dan bagaimana kemudian itu membantu saya mencoba mengeksplor
wilayah baru dalam kesenian saya. Saya pikir hubungannya justru yang
sehat begitu ya barang kali, love and hate relationship antara
kita dengan yang kita dengarkan. Saya pikir justru tugasnya adalah apa
yang di luar itu, apa yang setelah itu. Itu yang sebenarnya lebih saya
khawatirkan. Saat misalnya ada orang yang tiba-tiba membenci saya karena
merasa apa yang saya lakukan sedemikian bagus, maka saya akan
mengatakan bahwa, “Nggak kok, saya mendengarkan banyak, kamu bisa lacak
dari mana kami belajar, lihat lingkungan kami, bagaimana tidak ada yang
tidak mungkin ketika kamu bekerja dalam logika kolektif, dalam logika
komunitas, tidak ada yang tidak mungkin ketika kamu terus belajar.”
Sebagai seorang akademisi seni pertunjukan, apakah anda melihat diri Anda sendiri sebagai suatu pertunjukan?
Pada titik tertentu saya harus mengatakan bahwa saya cukup punya
akses pada logika-logika dan metode-metode pertunjukan dan iya, saya
menggunakan banyak sekali prinsip-prinsip teater dalam pembangunan saya.
Dan memang bersama teman-teman teater kami tumbuh lebih berani, dalam
pengertian bahwa teman-teman teater kan menunjukkan eksplorasi yang
tidak habis-habis, jadi itu membuat kami melihat seluruh segi dari
pertunjukan kami sebagai ruang pertunjukan. Bahkan masuk, berdiri, dan
diam di atas panggung adalah bagian dari pertunjukan. John Cage pernah
membuka pertunjukannya dengan silent selama limabelas menit. Saya owe much untuk itu. Untuk dia juga malam ini saya naik ke atas panggung dan satu menit saja silent.
Jadi segi-segi dari pertunjukan tentu sangat saya kenali walau kami
merasa belum maksimal betul mengeksplorasi itu. Tapi iya, kami cukup
akrab dengan unsur-unsur itu.
Apakah Melancholic Bitch berangkat dari suatu keresahan-keresahan tertentu?
Bisa dikatakan bahwa sebagaimana banyak anak band, terutama yang
melampaui masa Orde Baru ’98 ke atas, di titik-titik tertentu saya kira
ada “semangat generasi”. Generasi paska ’98 yang sama-sama punya
kegelisahan politik tertentu, punya kegelisahan sosial tertentu. Punya
ketegangan antara yang individual dengan yang politik, punya ketegangan
antara diri dan masyarakat, punya ketegangan antara penerimaan dan
penolakan dalam taraf tertentu karena dibesarkan dari gagasan atas
pemberontakan dan seterusnya. Tapi pada saat yang sama juga melahirkan
paradoks. Paradoks dari angkatan ’98 itu ‘kan, “Pemberontakan demi
perubahan dalam konteks perubahan.” Artinya ‘kan mereka menolak sesuatu
tapi membayangkan dan menginginkan adanya penerimaan terhadap gagasan
tertentu mereka. Dan ini yang saya pikir merupakan “hantu” kami. Sudah
cukup lama jadi “hantu” kami. Mungkin sampai paruh pertama gerakan kami.
Bisa dikatakan album Anamnesis berada dalam paruh itu.
Kami kemudian, saya pikir, cukup terbebaskan dari
ketegangan-ketegangan itu karena pasti tidak ada jawabannya. Karena pada
titik tertentu, ya begitulah, kami harus berdamai dengan
ketegangan-ketegangan itu, itu memang sudah seperti kutukan lahir kami.
Untungnya kami kemudian mampu melihat; “Oke, ada cara lain dalam
mengolah karya, yang bukan dari kegelisahan individual dan keresahan
personal kita.” Akhirnya kami coba masuk dan membaca lingkungan.
Misalnya dalam konteks Balada Joni dan Susi kami jadi lebih
eksternal; melakukan perjalanan, melakukan “dokumentasi” tertentu,
jalan-jalan ke Pantura, cari tema, belajar, ngomong soal kriminalitas,
ngomong soal harapan generasi muda. Ada orang-orang lain di sana yang
kuat, yang melawan, yang bernegosiasi terus menerus dalam kehidupan
sehari-hari di tengah ketidakmungkinan- ketidakmungkinan sosial, tapi mereka terus fighting. Dan
dari sana kami mendapat inspirasi. Namun pada saat yang sama ketika
kami melakukannya ternyata kami juga menemukan diri kami di sana, “Oh,
ternyata gak jauh berbeda ya.” Dan kegelisahan-kegelisahan tadi, saya
pikir, sekarang bisa lebih rileks, dalam artian bahwa kami jadi punya
alat untuk berusaha keluar dari perasaan self-important, keluar
dari kepentingan emosi kita sendiri, kami berusaha keluar dari itu
semua. Dan pada titik ini yang kami bayangkan bisa kami lakukan adalah
belajar.
Lalu dengan pemahaman bahwa Melancholic Bitch adalah suatu
pertunjukan dengan album-albumnya sebagai narasinya, sebenarnya apa yang
coba Anda berikan lewat narasi-narasi itu? Apakah memberikan jawaban
atas suatu keadaan, hanya menampilkan sesuatu, atau sebenarnya justru
mengajak mempertanyakan kembali apakah keadaan-keadaan tersebut memang
benar-benar suatu masalah?
Saya pikir karena kami berenam, kalau saya bisa bilang saya punya
preskripsi tertentu atas realitas sosial tersebut atau resep untuk
mengatasinya, pasti saya omong kosong. Kalau dibilang saya cuma sekedar
menampilkan kenyataan, ya tidak, ini sudah bukan kenyataan lagi. Ini
sudah representasi dan representasi dari kenyataan, sudah beberapa
tingkat. Ini bukan kenyataan kok. Kalau Anda benar-benar mau lihat
kenyataan ya pergilah ke luar sana, jangan ke pertunjukan. Pertunjukan
itu sudah ada estetisasi, sudah ada penyangatan, ada metafora dan
seterusnya.
Yang kami bayangkan cuma ruang bercakap, ruang berdiskusi. Kami
banyak belajar dari para penulis. Keuntungan penulis itu ‘kan, ketika
dia menulis lalu melemparkan tulisannya, dia sudah “mati”. Begitu kan
yang dikatakan Barthes. Jadi artinya itu sudah merupakan tugas pembaca
untuk menghidupkan karangan itu, tugas pembaca untuk mendiskusikannya.
Bersama teman-temannya, bersama lingkungannya membaca dan mempelajarinya
dan seterusnya. Bahkan bukan pengarang kok yang paling tau.
Kadang-kadang karangan itu sendiri terus membangkitkan hal-hal baru yang
bahkan si pengarangnya pun tidak pernah sadari, yang pengarangnya pun
bahkan tidak pahami. Barangkali bahkan tidak diniatkan. Saya yakin dalam
beberapa hal kalau ada orang yang tersentuh dengan karya kami dalam
satu atau lain cara, itu sebenarnya dia tidak sedang mengatakan betapa
bagusnya karya kami, tapi sedang mengatakan dalam taraf tertentu bahwa
dia punya teks tertentu, melihat dalam sudut tertentu yang barang kali
tidak kami lihat. Jadi saya pikir, menyukai sesuatu itu lebih banyak
menunjukkan siapa Anda ketimbang apa yang Anda sukai. Nangkep gak?
Kurang.
Gini, misalnya ketika Anda menyukai handphone ini, maka itu lebih menunjukkan siapakah Anda, ketimbang definisi dari handphone ini sendiri. Anda adalah seseorang yang menyukai handphone ini.
Karena saya kan tidak bisa menyensor pikiran orang. Ketika dia
mendengarkan lagu saya, apa yang ada dalam pikiran dia saya tidak tahu,
dan barang kali itu lebih hebat daripada yang saya pikirkan, lebih luar
biasa dari yang saya pikirkan. Itulah makanya saya pernah bilang, yang
oleh Ardi Wilda dikatakan dengan terlalu ekstrim ya, fans itu menjijikan. Saya menggunakan bahasa Jawa pada saat itu, nggilani. Kata nggilani i tu tidak bisa literally diterjemahkan
menjijikan, menurut saya. Tapi bukan berarti dia salah. Yang saya coba
katakan banyak di sana adalah saya geli dengan fans, saya jengah dengan relasi dengan fans karena
saya pikir, “Nggak, kamu tuh ‘Orang Itu’.” “Kamu yang mempunyai teks
yang belum tentu saya sudah pahami”, “Dan misalnya kamu bisa menyukai
saya sedemikiannya, itu lebih karena apa yang kamu pikirkan dan apa yang
kamu pikirkan itu barang kali yang lebih berharga daripada karya itu
sendiri.”
Siapa yang Anda anggap sebagai fans?
Makanya saya tidak tahu. Saya justru tertarik untuk tahu. Saya
tertarik untuk tahu apa yang orang-orang pikirkan. Dalam artian mungkin
saya yang akan jadi nge-fans dengan buah pikiran-pikiran mereka. Dan karenanya saya berharap ini bisa jadi lingkungan produksi. Sebab dulu saya juga nge-fans dengan
banyak orang. Saya suka Slank, yang kemudian saya niru mereka, saya
belajar dari mereka, saya jadi pengen menciptakan karya sebagai bagian
dari sejarah hubungan saya dengan apa yang saya dengarkan. Saya
berhutang banyak dengan karya-karya mereka.
Satu hal tentang hutang. Melancholic Bitch sangat jarang tampil secara live, hanya pada
kesempatan-kesempatan tertentu. Jika akhirnya Melancholic Bitch hadir
kembali pada suatu kesempatan, apakah itu akan menjadi sebatas “membayar
hutang’” kepada semua yang telah lama menantikan?
Orang-orang akan bisa melihat
sendiri apakah kami hanya sebatas membayar hutang atau tidak. Kalau
lihat pertunjukan tadi, jika sekedar membayar hutang kami tidak akan–
tidak tahu ya, kami merasa bahwa kami mempersiapkan pertunjukan yang
sungguh-sungguh, merancangnya dengan sungguh-sungguh. Ini lebih dari
sekedar itu. Betul bahwa ada elemen “kami belum pernah ke Bandung” tentu
saja, tapi di luar itu kami pengen percakapannya berlangsung,
percakapan antara karya ini dengan penonton. Kami ingin ada impresi
tertentu yang bisa dihasilkan, pulang ada yang diobrolin di angkot, “Eh,
tadi ada yang kurang enak deh waktu bla bla bla.” Dan dari
obrolan-obrolan itu mungkin memercik sesuatu entah apa. Itu yang kami
harapkan.
Karena kesibukan orang-orang di dalamnya, timbul banyak
celah-celah interval penampilan Melancholic Bitch. Untuk Anda sendiri,
sebenarnya apa yang Anda harapkan untuk terjadi di antara celah-celah
itu?
Sudah terjadi sebenarnya. Karena kan sebenarnya sebagai kolektif kami
mendukung kerjaan teman-teman di luar dari apa yang dianggap sebagai
tradisional bahwa kalau anak band itu bikin album, manggung sebagai
band, dsb. Buat kami harus lebih dari itu. Jadi proyek-proyek Yossi
sebagai engineer, proyek-proyek Yennu sebagai music director itu
bagian dari proyek-proyek kami yang harus kami dukung. Dan ini
kelihatannya dari luar memang seperti itu ya, kami juga ya sudahlah
memang kelihatan dari luar penuh interval. Tapi sebenarnya kami selalu
punya agenda kolektif, agenda bersama, walaupun mungkin tidak semuanya.
Seperti saya sama Yennu, Yennu sama Didit, Didit sendiri juga tergabung
di Individual Life dan Shoolinen. Buat kami ini sama pentingnya. Pada
titik tertentu kami sudah melihat Melancholic Bitch tidak lagi harus
bekerja dengan cara yang itu, manggung terus, bikin album terus. Karena
kayaknya kalaupun saya di Indonesia terus, akan tetap sama saja.
Sebagai contoh, 2008 akhir sampai 2009 akhir saya di Indonesia, kami
mentas paling cuma satu-dua kali. Jadi memang sekalipun saya di
Indonesia, kami tidak terlalu bisa dengan situasi-situasi orang-orang di
dalamnya. Mungkin sebenarnya dari segi schedule bisa-bisa
saja. Tapi sebenarnya diam-diam kami juga diuntungkan karena kami
sendiri tidak laku. Bukan kami terus menolak banyak tawaran,
kadang-kadang memang ada tawaran masuk pas kami tidak bisa. Tapi bukan
setelah itu ada sepuluh tawaran kami tolak semua tiap tahun, tidak
seekstrim itu. Saya pikir bahkan, matematikanya yang kita tolak dan kita
terima itu setahun selalu rata. Misalkan kita main lima kali, mungkin
ada lima juga kesempatan yang kita tidak bisa.
Interval dan keabsenan-keabsenan itu juga merupakan unsur penting
di dalam seni pertunjukan. Tapi bagaimana sebenarnya makna keabsenan itu
sendiri bagi Anda?
Keuntungannya kemudian adalah ketika kami berada pada titik di mana
kami mentas jadi lebih besar tanggung jawabnya. Jadi ketika kami
mengiyakan pertunjukan, situasinya jadi kami harus main sebaik mungkin.
Jadi lebih tegang. Karena kami tahu kesempatan untuk itu tuh tidak
banyak.
Misalnya gini, sekarang main di Bandung, terus “Yuk cari event ke
Jakarta sekalian main di pub atau apa”. Setelah kami latihan, ternyata
enggak mungkin, energi kami akan habis untuk Bandung. Memang banyak
teman-teman band yang bisa hari ini main di Bandung besok di Jakarta
besoknya di mana. Kami tidak bisa. Nanti “hilang”, nanti jadi lain,
kasian nanti yang di tempat berikutnya kalau tidak seintensif tempat
sebelumnya. Tidak fair buat mereka. Ya mohon maaf buat yang tidak
bisa nonton, tapi daripada kami main tapi mengecewakan. Kira-kira
seperti itu. Jadi maknanya adalah membuat seolah-olah setiap panggung
resikonya jadi besar. Dan kami harus menghitung betul supaya kami bisa
bertanggung jawab.
Melipir ke Balada Joni dan Susi. Kisah mereka lahir berdasarkan
keadaan-keadaan dan realitas yang ada pada saat mereka ditulis waktu
itu. Jika saja mereka akhirnya tidak mati, melihat situasi dan keadaan
hari ini, apakah menurut Anda mereka masih bisa bertahan hidup?
Mungkin tidak juga, tapi mungkin iya, tapi mungkin tidak. Karena
bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah bahwa sepotong dari cerita
perjalanan mereka saat itu sepertinya penting untuk diceritakan. Bahwa
mereka bersama-sama atau tidak sekarang itu adalah hal lain.
Seberapa penting keterkaitan-keterkaitan narasi untuk Melancholic Bitch atau Anda sendiri?
Mungkin sekarang-sekarang ini memang lagi iseng bermain itu, iseng bermain frame. Mencoba bikin pertunjukan yang kalau misalnya kita main 21 lagu tuh frame-nya jelas lagu per lagu. Karena sebenarnya saya tidak bisa chit chat kan.
Saya tidak tahu harus ngomong apa di antara lagu. Dan untuk mengatasi
itu kita jadi banyak belajar macem-macem. Tapi ternyata ketemu, “Eh
ternyata kalau kita bikin frame dan kita main berdasarkan frame tertentu itu bisa membebaskan”. Jadi “Ini bukan aku, kok.” Kalo chit chat kan kayak seolah-olah jadi tanggung jawab– itu makanya jadi ada istilah frontman kan, saya tidak suka itu. Nah kalau seperti ini kan jadi, “Oh ini narator”, cuma peran. Kalaufrontman kan
kayaknya tanggung jawabnya gede banget. Di satu sisi ini jadi
memungkinkan kami memaket suatu pertunjukan dengan utuh sebagai, kalau
bisa, bahan diskusi, bahan obrolan, bahan resepsi, bahan pikiran buat
teman-teman yang menonton. Dan pada saat yang sama ini membuat kami jadi
tidak terlalu kami. Ini bukan tentang kami. Ini bukan tentang
individu-individu Melancholic Bitch, bukan tentang seberapa bagus suara
“gue”, seberapa keren “gue” main gitar, bukan tentang itu. Tapi tentang
apa yang kami melakukan untuk mendukung narasi kita, apa yang kami
lakukan untuk membuat pertunjukan itu, diskusi itu, menjadi lebih kuat.
Bukan berarti setelah itu cara-cara yang lain tidak cukup ya. Tapi
saya pikir saya senang dengan generasi pelaku musik sekarang ini karena
banyak yang memulai “ini bukan tentang gue, ini tentang yang gue
omongin”. Coba liat Efek Rumah Kaca, gede-gede semua soal yang mereka
bicarakan. Dan itu membuat orang mikir, membuat orang ngobrol.
Di liner notes EP Lagu-Lagu Yang Tidak Bisa Dipercaya, tertulis bahwa lagu-lagu dalam EP tersebut menjadi b-sides karena dianggap terlalu pasif. Apakah lagu-lagu Melancholic Bitch diharuskan selalu aktif?
Terlalu pasif pada jamannya. Jadi paska album pertama kami bikin
sekumpulan lagu yang kami bingung mau diapain dan secara konseptual
teman-teman juga merasa galau yang “itu”. Galau yang individual, yang
terlalu self-centric, bisa kebawa ke sana, bisa keseret ke sana, bisa
keenakan, jadi safe zone, misalnya. Jadi kita butuh keluar dulu
dari sana. Bukan karena apa-apa, itu tetap bisa oke-oke aja, ada band
kayak Blur ya oke-oke aja, ada Radiohead juga oke-oke aja, tidak ada
masalah sebenarnya. Tapi kami merasa situasinya jadi negatif di antara
kami sendiri. Jadi kayak tidak bisa kemana-mana dengan lagu-lagu itu.
Kalau harus selalu aktif? Tidak juga, tapi jangan terlalu pasif lah.
Jangan misalnya bikin lagu tapi, “ini lagu ngomong apa sih”. Dan ketika
kami sekarang telah berjarak dengan itu, kami dapat melihat apa yang
sedang dibicarakan, bisa dipelajari dengan lebih tenang. Jadi pada titik
lagu-lagu dulu itu kami bikin tapi kami tidak suka.
Kalau Anda bukan seorang personil Melancholic Bitch, kira-kira akankah sekarang Anda suka dengan band ini?
Tidak tahu, tapi saya pernah nonton Melancholic Bitch sekali yang
saya tidak ikut main dan, “Ya…oke, tapi aku bisa bikin lebih bagus.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar