Review: Mitos Melankolia
Dedengkot komunitas musik Jogja, Kongsi Jahat Syndicate,
kembali mengulang kesuksesannya dalam release party Mitos Melankolia,
MInggu (5/5) di LAF Garden. Acara ini memanggungkan tiga paket musik
dengan nama-nama besar: Sarita Fraya, Melancholic Bitch, dan Sarasvati.
Tiket yang dibandrol Rp 50.000,- sudah mulai dijual sejak beberapa
minggu sebelumnya dan akhirnya sold out. Kongsi Jahat juga memproduksi
tote bag dan kaos Mitos Melancholia dengan desain pohon yang dijual di
lapak bersama berbagai merchandise dan rilisan musisi yang bermain malam
itu.
Sekitar pukul tujuh area LAF Garden sudah dipadati pengunjung.
Uniknya para penonton duduk berlesehan di area rumput di depan panggung.
Acara jadi terkesan santai tapi tetap diselubungi atmosfer antusiasme
yang tinggi.
Sarita Fraya naik panggung sekitar pukul setengah delapan malam
diiringi tiga personel bandnya. Tampil santai dengan sweater warna krim,
syal cokelat, dan celana jeans belel, Fraya terlihat mempesona di depan
para penonton yang kebanyakan penasaran dengan penampilan penyanyi yang
sedang naik daun ini. Fraya sendiri memainkan gitar elektrik di
departemen ritme, ditimpali lead guitar dari Erwin, gitaris jazz yang
sudah sering terlihat di berbagai pentas musik di Jogja. Dengan suaranya
yang berat dan jazzy, Fraya membuai penonton dengan beberapa lagu dari
mini albumnya, “Imperfectly Perfect” yang baru saja diluncurkan.
“Lagu ini saya ciptakan ketika saya berulangtahun kedua puluh
dua,”katanya tentang “Twenty Two,”. “Lagu ini adalah dialog saya dengan
diri sendiri, tentang apa yang harus saya lakukan dan saya sadari ketika
saya menjadi duapuluh dua tahun.”
Ia juga mengajak penonton berdialog tentang “Old Man”, sebuah lagu
yang ia dedikasikan untuk kakeknya di Semarang. “Ia adalah sosok yang
selalu mengagumkan untuk saya, namun membuat saya sedih melihatnya
menjadi tua, lemah, dan sering sakit sekarang.” Lagu tersebut dimainkan
dengan lead guitar yang rancak dari Erwin.
Setelah Fraya, giliran Melancholic Bitch yang merajai panggung.
Ugoran Prasad, ujung tombak pesona band modern rock tersebut, seperti
biasa menyulut rokok sebelum melempar lagu pertama “Tujuh Hari Menuju
Semesta”. Penonton sebenarnya sudah mulai gelisah ingin berdiri, tetapi
mereka tetap duduk di hamparan rumput LAF sambil ikut bernyanyi. Ugo
sempat berkomentar tentang “Re-Anamnesis”, perbaharuan dari “Anamnesis”
yang dirilis sepuluh tahun yang lalu. “Seperti adegan dalam
cerpen-cerpen buruk, ketika… kamu bangun dari tidur yang payah, dan
ternyata di tepi ranjangmu ada seseorang. Seseorang yang adalah dirimu
sendiri lima belas tahun yang lalu.” ujarnya.
Melancholic Bitch membawakan lagu-lagu terbaik mereka seperti
“Nasihat yang Baik”, untuk beberapa anak kecil di backstage yang setia
menyaksikan penampilan mereka walau saat itu sudah lewat jam tidur. Ada
juga “Mars Penyembah Berhala” yang menurut Ugo memiliki semangat yang
sama dengan film “Frekuensi” yang akhir-akhir ini menghebohkan pemerhati
televisi Indonesia. Ada juga “Akhirnya Masup, TV” dan “Tentang Cinta”
yang selalu dinantikan penonton Si Melbi. Namun yang paling membuat
heboh adalah ketika Ugo mulai mengungkit-ungkit tentang lagu “Sepasang
Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa” yang telah dilepas
Melancholic Bitch hanya untuk Frau, dan tidak akan dimainkan lagi.
Ternyata malam itu, karena permintaan khusus dari Risa Sarasvati, mereka
memainkan lagu tersebut kembali berduet dengan sang Risa sendiri. Belum
mengenakan kostumnya, Teh Risa menaiki panggung dengan celana hitam dan
blouse pink, bukan sebagai Sarasvati namun sebagai penggemar
Melancholic Bitch yang terlalu beruntung bisa diajak duet dengan sang
idola sendiri. Walau lagu tersebut tidak dimainkan dengan sempurna
(“Ketahuan nggak latihan!” ucap Ugo), kejutan tersebut cukup memuaskan
penggemar Melbi dan Sarasvati sekaligus. Setelah memainkan beberapa lagu
lainnya, Melancholic Bitch menutup pertunjukkan malam itu dengan
“Menara” yang dilagukan frontal dan total.
Narasi kocak ala Kongsi Jahat dari MC yang tidak terlihat
mengalihkan perhatian penonton dari panggung yang sedang diset untuk
atraksi Sarasvati. Mereka membagi-bagikan hadiah dari sponsor untuk para
penonton yang beruntung dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kocak
(“Fraya datang dari Semarang ke Jogja. Dalam perjalanan dia ngelewati
berapa belokan?”).
Setelah beberapa menit, akhirnya panggung siap untuk Sarasvati.
Ketika empat personel berpakaian hitam-hitam siap di posisi
masing-masing, mereka mulai memainkan sebuah nada yang mencekam,
ditimpali vokal Risa yang merdu tapi mistis, bergaung di sekeliling
venue, mengkidungkan “Lingsir Wengi”.
Ketika nada terakhir “Lingsir Wengi” dilagukan, barulah Risa muncul
di atas panggung, bertelanjang kaki, mengenakan gaun hitam berkeriapan
yang cantik namun tetap mengingatkan kita akan dunia astral yang ia
jembatani lewat lagu-lagunya. Ketika tepuk tangan penonton belum reda,
Sarasvati mulai memainkan “Fighting Club”. Lagu-lagu berikutnya ada
“Haunted Sleep”, “Graveyard”, “Mirror” dan “Solitude”. Penonton dibikin
merinding tapi terbuai ketika “Bilur” ia mainkan sambil duduk di tangga
panggung LAF. Yura, sang keyboardis dengan vokal jempolan, mengkidungkan
rintihan sang arwah dengan bahasa Sunda yang mencekam. Ketika memainkan
“Perjalanan”, Risa berjalan di antara para penonton yang duduk, seperti
sesosok cantik yang sedih dan menakutkan, berkelebatan di antara
orang-orang.
Masih meposisikan diri di antara para penonton yang duduk, Risa mulai
mengajari audiens mendendangkan sebuah lagu tentang anak-anak kecil
yang membutuhkan pendidikan yang benar. Ketika seluruh LAF Garden sudah
mulai hapal dan menyanyikan lagu tersebut dengan kompak, ia berkata
“Lagu itu adalah lagu-lagu kesukaan teman-teman hantu saya, Peter,
William, Hans, Hendrick dan Janshen. Mungkin jika kalian melagukannya
dengan sungguh-sungguh, kelima teman kecil saya akan mendatangi kalian
dan mengajak berteman.”
Ia juga sukses melenakan audiens dengan membawakan “Aku dan Buih”,
tentang seorang gadis penari yang meninggalkan karir cemerlangnya dan
melawan orangtuanya demi menikahi seorang pria beristri. Akhirnya
pilihannya membawanya kepada kesengsaraan ketika sang suami berubah
menjadi laki-laki penyiksa dan malah meninggalkannya ketika ia sedang
hamil. Gadis itu kemudian meninggal ketika melahirkan anaknya yang
diberi nama Buih. “Saya berbicara di sini sebagai Canting,”ujar Risa
ketika menjelma Canting, si gadis penari, “Dan saya tidak ingin kalian
mengkasihani saya. Karena jika semua itu tidak saya alami, Buih tidak
akan hadir di dunia ini.”
Risa juga sempat mengajak berduet Mawar, seorang Saras Family dari
Jogja, dalam lagu “Oh I Never Know”. Mawar, dengan suaranya yang juga
merdu, menyanyikan berbagai part dalam lagu tersebut dengan sempurna
sehingga Risa jadi terharu dan berkali-kali memeluknya. Risa sempat
rehat menyanyi dalam lagu “Cut and Paste” di mana ia menyerahkan posisi
biduan pada Yura sang keyboardis. Penampilan Sarasvati malam itu ditutup
dengan “Story of Peter”, salah satu lagu yang paling ditunggu-tunggu
para penonton.
Pertunjukan Mitos Melankolia berakhir sekitar pukul sebelas malam.
Penonton yang sudah terpuaskan bangkit dari rerumputan dan menuju ke
arah meja merchandise di mana Risa akan dihadirkan untuk sesi tanda
tangan dan foto bareng. Sambil menunggu Risa beristirahat sejenak di
backstage, para penonton menyerbu lapak dan membeli berbagai memorabilia
untuk ditandatangani. Tidak lama kemudian, Risa yang dikawal
teman-teman Kongsi Jahat muncul di area itu dan segera duduk untuk
melayani antrian penggemar yang tidak sabar ingin bersalaman dengan
idolanya.
Mitos Melankolia telah terselenggara sebagai sebuah release party
yang meriah dan memuaskan. Sekali lagi Kongsi Jahat telah berhasil
menunjukkan citra Yogyakarta sebagai kota yang nyaman untuk mampir
bermusik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar