Saya Fans Melbi, Saya Menjijikkan?
oleh: Omink
Diam-diam saya pernah membenci melbi. Saya mendengar 'Distopia' pada tahun 2009 di kereta dan mengerenyitkan dahi tanda tak suka. Ini karena Cholil “ERK” sempat mengaku bahwa melbi adalah versi tingkat lanjut dari Efek Rumah Kaca. Saya tak sudi. Chauvinisme
saya terhadap Efek Rumah Kaca terguncang sakit hati. Hingga di kereta
saat itu, 'Distopia' sengaja dilewatkan dan diganti “Distopia” Black Star hanya karena Cholil mengisi sebagai vokalis bayangan.
melbi sempat terus menjadi anak tiri dalam playlist mp3. Albumnya pun sempat sengaja dibiarkan berjudul “unknown”,
bukannya “Balada Joni dan Susi”, agar susah dicari. Satu-satunya lagu
milik melbi yang saya dengar adalah “Sepasang Kekasih yang Bercinta di
Luar Angkasa” karena kebetulan mendengarnya di album Leilani. Selebihnya, saya sekedar tahu saja bahwa hidup mereka dekat dengan gunung merapi.
Siapa itu Melancholic Bitch, saya sempat tak mau kenal. Mungkin hanya Ugoran Prasad
karena ia selalu berdiri di depan. Hilmi sering bercerita tentang
melbi, tapi sering saya abaikan. “melbi bukan band seperti Efek Rumah
Kaca. Mereka tak punya lirik sosial seperti anti kapital atau menjadi
indonesia. Bagaimana bisa mereka menjadi versi upgrade dari Cholil,
Akbar dan Adrian?” pikir saya setiap distopia diputar Hilmi dengan mata
berbinar.
Dalam diri saya, isu sosial
memang sempat memiliki kekuatan untuk meningkatkan citra peduli
seseorang, juga meningkatkan harkat martabat musisi profesional.
Mendengarkan band “cerdas” menjadi kewajiban bagi mereka-mereka yang
mengaku cinta orang-orang marjinal. Saya ikut-ikutan. Maka jadilah, mata
dan telinga saya sempat hanya melihat dan mendengar band “cerdas”
seperti Efek Rumah Kaca atau para penirunya yang selalu berkoar tentang
tema-tema sosial: kapital, korupsi, tawuran, hingga kejahatan seksual.
Sampai kebahagiaan turut sempat dikendalikan hanya oleh musisi yang
mengangkat kemiskinan dan masalah pendidikan sebagai tema andalan.
Musisi yang berorasi tinggi soal korupsi dan menolak belanja terus
sampai mati dengan suara nyaring, langsung terlihat mulia. Dan musisi
yang tak memasukkan istilah-istilah sosial dalam syairnya, langsung
terlihat nista.
Begitulah bagaimana
melbi sempat masuk dalam daftar band yang tak saya gubris karena lirik
mereka miskin kata-kata “belanja terus sampai mati” atau “anti
pornografi”, kecuali kata “televisi” yang menjadi musuh literasi. Efek
dari “Cinta Melulu” Efek Rumah Kaca berhasil membuat band yang
mengangkat tema cinta pinggiran dalam "Balada Joni dan Susi: terasa
mirip Armada lewat “Cinta Buta”-nya.
“melbi
biasa saja. Cholil cuma basa-basi belaka,” yakin saya menenangkan hati
sembari mengeraskan 'Hujan Jangan Marah' dari speaker yang baru dibeli.
“Yaa.. Cholil cuma basa-basi belaka. Benar-benar cuma basa-basi.”
….
Enam hari yang lalu, tanggal 27, saya tertunduk malu. Diawali oleh wawancara cerdas yang dibaca kala mati lampu antara Ardi Wilda dengan Ugoran Prasad, saya melakukan pengakuan dosa di galeri art milik Pak Langgeng dimana salah satu pengurusnya adalah Goenawan Mohamad, idola saya. melbi ada disana. Melakukan pementasan akhir sebelum Ugo studi ke Amerika selama dua tahun bersama Armada Racun, juga Leilani, Silir dan Wvlv. Mereka tidak hanya mencubit pipi saya saat itu, tapi juga menampar lalu mengajak berdamai lewat art performance
yang memukau. Saya malu. Seketika saya sadar terlalu mudah menafsirkan
arti “Cinta Melulu”. Kecerdasan saya semu dalam memahami proses
berkesenian melbi sejak pertama kali kami bertemu hingga menghasilkan
penilaian keliru. Dosa besar. Karena sebelumnya, saya menanggapi Melbi
dengan gerutu hingga bahkan dalam tulisan ini, di paragraf awal, saya
enggan menulis huruf awalan “melbi” dan judul lagunya dengan huruf besar
layaknya saran para editor bermutu. Saya malu. Saya malu, sembari
menatap sepatu.
…
Sehari
sebelumnya, saya berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 26 pagi dengan
semak hati. Itu hari pertama saya sedang menstruasi. Sempat ingin batal
pergi, tapi kala itu saya terlalu arogan untuk melewatkan Melbi dan
terlalu pelit untuk merugi karena sudah membeli tiket konsernya
jauh-jauh hari karena terpengaruh Hilmi, bukan atas dasar kesadaran
sendiri. Jadi, saya memutuskan untuk tetap angkat kaki.
Perjalanan
darat dengan bus petang, seperti itu-itu saja. Tak banyak yang bisa
diceritakan kecuali nyeri setengah mati yang kemudian dapat reda
gara-gara Kiranti. Sesampainya di Yogyakarta pun masih biasa saja.
Mungkin karena saat itu saya lebih peduli pada fase datang bulan dan
nasib celana dalam daripada tempat penginapan, hingga ketika diputuskan
untuk tidur di rumah salah satu personil Tripping Junkie,
saya menerima dengan hati lapang. “Yang penting bisa tidur beralaskan
lantai rumah, bukan lantai supermarket dengan logo K besar merah,” pikir
saya terlalu lelah.
Esok harinya,
tanggal 27. Rumah, tempat tidur, mati lampu. Kartu-kartu yang berserakan
tiba-tiba berguna sebagai alat pembunuh waktu. Saya bosan, sampai
kemudian seorang teman menyodorkan link wawancara Ardi Wilda dengan
Ugoran. Saya penasaran dan membacanya dari awal, mulanya, dengan
asal-asalan.
Frase “legenda hidup” di
paragraf pertama masih bikin kesal. “Personil melbi beberapa kali
terlibat dalam pementasan teater”? Baiklah, saya terkesan. “Ugo sedang
melakukan riset sejarah kontemporer terkait dengan pertunjukkan di
Indonesia pasca 1998”, wow! Ini beneran?. Membaca jawaban pertanyaan pertama, kedua, sampai empat, saya terperanjat. Jawaban “no fucking celebrity”
di pertanyaan kelima, benar-benar mempesona. Kenyataan bahwa BJS
(Balada Joni dan Susi) adalah hasil olah pemikiran Melbi terhadap budaya
pinggiran, mulai bikin hati luluh, terus sampai jawaban di pertanyaan
nomer sebelas: “bukan berarti Dedy Dores jelek lho ya.
Dia hanya lebih tabah menyikapi lagu-lagunya. Sayangnya kita ga setabah
Dedy Dores”. Astaga! Saya jatuh cinta! Jawaban pertanyaan nomer dua
belas, tiga belas, empat belas, saya baca dengan terpesona tak berdaya
sampai kemudian istilah “artist collective”, yang keluar dari
jawaban pertanyaan nomer lima belas, terasa “cerdas” luar biasa
menggantikan istilah “anti kapital” yang mulai banal. Enam belas,
pemujaan saya sampai pada titik maksimal hingga ditutup dengan
pernyataan yang menggambarkan betapa Melbi memiliki vokalis yang
berintelektual sangar: “kebetulan aku dapat beasiswa dari program Erasmus Mundus dengan program yang sama yakni Performance Studies. Aku bakal studi di Universitas Amsterdam satu semester untuk kemudian lanjut ke Warwick University di Coventry, Inggris.”
Cukup. Sudah. Ini gila. Saya tergila-gila. Mulai malu. Malu tertunduk, menatap sepatu.
…
Itu
paginya. Malamnya tanggal 27, pukul delapan lebih lima belas menit,
terlambat sedikit dari pukul setengah delapan malam karena beberapa
tragedi sulit, saya sudah duduk bersila di rumput galeri Pak Langgeng.
Isinya sudah ramai anak muda Yogyakarta yang kebanyakan menenteng botol
bir hijau karena diskon khusus untuk acara bertajuk “Keracunan Ingatan”
malam itu. Bule-bule berserakan dimana-mana. Saya duduk agak di belakang
bersama Hilmi, Henry, Tika dan Mikha, duduk dekat stand kamera. Saat
itu, malu saya di pagi hari, berganti dengan perasaan haru minim gerutu
untuk menebus kesalahan masa lalu. Saya mulai menunggu.
Masih
Armada Racun. Saya bernyanyi di “Amerika” juga “Tuan Rumah Tanpa Tanah”
sambil melihat sekitar. Terlihat Frau mondar-mandir di jarak kurang
lebih 4 meter. Manusia yang lain, saya tidak kenal. Pasti ada Wok dan
Ardi Wilda disana. Dua orang yang bikin penasaran bentuk nyatanya karena
selama ini hanya tahu lewat hasil jepretan kamera di situs-situs
jejaring sosial dunia maya. Tapi, saya masih tak tahu yang mana. Mereka
bisa ada dimana saja.
Armada Racun
selesai. Entah pada pukul berapa. Katanya, ini juga pertunjukkan
terakhir mereka. Namun, seperti kata Ardi Wilda di tulisan ulasan konser
ini di Jakartabeat, Armada Racun anti klimaks karena personilnya tak
seperti seharusnya. Saya memang berharap melihat Nadya disana.
Sayangnya, saya tahu belakangan jika kibordis lelaki yang saya kira
hanya additional sementara, sudah ditasbihkan menggantikan Nadya untuk
seterusnya. Kasihan saya.
“Melbi”
didengungkan oleh MC lewat pengeras suara. Saya tegang, tak keruan
rasanya. Ingin melihat orang-orang, terutama Ugoran, yang merubah benci
saya menjadi jatuh hati hanya dalam waktu dua hari. Ingin melihat postur
tubuh mereka, ingin melihat bagaimana pakaian mereka, ingin mendengar
suara asli mereka, ingin mendengar gesekan gitar Jaguar mereka, juga
ingin merasakan Balada Joni dan Susi diceritakan nyata, di depan mata.
Saat itu, saya menyiapkan diri untuk terkesima, melihat dengan telinga,
balada cinta pinggiran yang tak jelas batas imajinasinya.
…
Joni
dan Susi ada disana. Joni berbaju kotak-kotak berkacamata, Susi
berambut panjang dikepang dua. Joni dua satu dan Susi sembilan belas.
Terkurung dalam kotak gelas, dingin dan cemas. Ia Joni, ia Susi.
Bulan
madu di Venesia, di atas kanal venesia, jangan kencang-kencang, jangan
hilang keseimbangan, kapal ini terlalu kencang, kapal ini goyang,
membentuk tujuh semesta dalam suka atau duka, kaya atau papa, berdua
mereka sampai kematian memisahkan, membelah jiwa raga mereka,
“katakanlah jika aku israel kau palestina, jika aku amerika kau seluruh
dunia, jika aku miskin kau negara, jika aku mati kau kematian lainnya,
kamis jumat sabtu pepatkan seluruh semesta jika kau menginginkannya,
pepatkan semesta di seluruh sisi-sisinya.”
Kereta
mengantar mereka menuju semesta berdua, dalam kereta mereka berdua
bersama selama-lamanya, kereta mengantar mereka menuju semesta berdua,
hanya berdua bersama-sama selama-lamanya hingga televisi merusak
suasana, merusak imajinasi, gila, berharap hanya mimpi lewat cubitan
pipi, dasar televisi perusak imajinasi, dunia pepat dalam 14 inchi.
Susi
lelah habis jalan-jalan, tidurlah susi, tidur, tidur, susi terlalu
lelah jalan-jalan dalam pelarian sampai demam, minggu pertama pelarian
mereka susi demam, joni gusar, miskin datang bikin tangan joni terkepal,
joni miskin, lapar, susi pelan berbisik, “curilah roti, curilah roti”,
tak akan dibiarkannya susi mati, curilah roti dari deret supermarket
yang tersusun rapi, jangan biarkan susi mati, tapi pencurian merusak
keseimbangan harga dunia, supermarket memerangkapnya, sebuah apel jatuh
dari lubang saku celananya, itu apelmu adam, buang apelmu adam, buang
apelmu, banyak orang yang menangkapnya, mengurungnya, mencekal
pundaknya, membanting punggungnya ke aspal, banyak orang yang
menjatuhkan hukuman Tuhan di wajahnya, joni bilang, “jangan libatkan
polisi di cinta ini, jangan libatkan polisi di cinta ini” sementara
televisi datang lebih cepat dari ambulans.
Joni
masup tipi, lima belas detik kerajaannya, lebih baik, jauh lebih baik
daripada seumur hidup tanpa lampu, lihatlah lihat betapa nyata cinta
mereka kini, joni ada di tipi, susi ajarkanlah pada mereka bagaimana
caranya mengeja, di jalan tertulis jejak luka, pemerintah tak bisa
membacanya, susi ajarkanlah mereka mengeja.
Ketika
joni dua satu dan susi sembilan belas, dunia terkurung dalam kotak
gelas, dingin dan cemas, berdarah luka tangan mereka, saling menggenggam
mereka mengikat darah mereka selamanya, akan berpinak banyak-banyak
jadi sekawanan joni, jadi sekawanan susi, mari pergi dari sini, membuka
lahan kebun apel seperti Tuhan, membuka lahan kebun apel seperti Tuhan,
lalu kita dirikan menara yang tinggi, lebih tinggi. Tengadahlah joni dan
susi. Tengadahlah. “Namaku joni, namaku susi. Namamu joni, namamu susi”
Bisa
didengar kerinduan, pelarian ini telah usai, menjadi batu yang melesat
menghancurkan, menjadi pisau berkilau yang teracuhkan, “jika kita
bertemu di sudut sesal itu, lihatlah diwajahku ada wajahmu, dimatamu ada
mataku”, namaku joni, namaku susi, namamu joni, namamu susi, namaku
joni, namaku susi, namamu joni, namamu susi..
…
Ada encore setelah itu. Kira-kira 3-4 lagu. Seperti film, lagu-lagu encore
itu menemani gerakan vertikal deretan daftar produser, sutradara,
penulis skenario, dengan hanya dua tokoh utama: Joni dan Susi, dengan si
Melbi yang bukan menjadi sutradara atau produsernya, tapi Tuhan-nya.
Saya pulang dengan lega hati di dada. Balada ini terasa murni, kental
seni. Dan layaknya seni, ceritanya tak akan habis disini meski
Melancholic Bitch baru bernyanyi setelah dua tahun lagi.
…
Hari
ini tanggal 2 Agustus, enam hari setelah konser Melancholic Bitch itu
digelar. Saya sedang sembahyang siang. Biasanya, saya akan mematikan
segala sumber suara agar tak memutus tali spiritual dengan Tuhan. Biar
konsentrasinya tak hilang. Namun, kini Balada Joni dan Susi milik Melbi
wajib ada di volume tertinggi saat saya mengatup kedua tangan,
menuturkan puja-puji, berbau dupa wangi. Tampaknya, Balada Joni dan Susi
telah menempati tempat kesekian setelah Tuhan, yang berhak mendapat
pujian sakral.
“Namaku Joni, namaku Susi. Namamu Joni, namamu Susi. Jadi sekawanan Joni, jadi sekawanan Susi”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar