Oleh: Felix Dass Nama Melancholic Bitch duduk tenang
bersemayam di dalam diri. Ia tidak pernah pergi. Kendati sulit ditemui
secara langsung. Alam semesta membelah kehidupan masing-masing personil
intinya; Ugoran Prasad menghabiskan beberapa tahun belakang di Coventry,
New York dan kini Sydney. Yennu Ariendra berkeliling dunia memainkan
banyak proyek berkesenian berbasis suara; bisa ditemui kadang di
Imogiri, Saitama atau Darwin. Sementara Yosef Herman Susilo sibuk
berkeliling Jawa mengawal banyak kegiatan tata suara, sesekali ia ada di
Magelang, kadang di pelosok Probolinggo. Mereka bergerak, melupakan
waktu. Fakta seperti itu, membuat penggemar model saya,
harus meredam hasrat. Supaya tidak kecewa dan cinta pada karya mereka
terus hidup. Cinta itu perlu dibela, jadi melepaskannya dari figur tiga
orang yang tidak bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain itu,
merupakan sebuah upaya keras yang harus dilakukan. Sejauh ini, berhasil.
Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali berharap bisa menyaksikan mereka bermain lagi di atas panggung bersama-sama. Di
kuartal terakhir 2016 yang lalu kami bertemu di pementasan Yang Fana
adalah Waktu, Kita Abadi di Jakarta. Karya teater itu dipentaskan oleh
Teater Garasi, rumah dari tiga orang personil Melancholic Bitch ini.
Mereka duduk satu meja. Tentu saja, digoda habis-habisan sama beberapa
orang yang kebetulan ada di sekitar adegan itu. Tiba-tiba,
Yossy –panggilan akrab Yosef Herman Susilo— berseloroh, “Kami akan
kumpul kembali. Tahun depan.” Itu seperti petir di siang bolong yang
cerah. Lalu, secara bersemangat dua orang lainnya membahas pernyataan
itu. Di akhir tahun, mereka mulai berproses secara kolektif
di Jogjakarta. Ugoran Prasad tinggal lama di Indonesia, beberapa bulan
setidaknya. Mereka duduk bersama menggarap sesuatu. Melancholic Bitch
sedang bersiap kembali ke arena tahun 2017. Di pertengahan
bulan Januari lalu, saya berbincang bersama Ugo dan Yennu Ariendra di
Teater Garasi. Yossy absen karena harus ke Malang. Semuanya disusun
mendadak, sehingga kami hanya ngobrol ngalor-ngidul tanpa ekspektasi
apa-apa. Mungkin, memang seperti itu kita harus menyikapi
Melancholic Bitch dan seluruh proses di dalamnya. Selamat membaca upaya
mereka untuk menyembunyikan proses yang sedang berlangsung di bawah ini.
(*)
Sekarang lagi ngapain sih kalian?
Ugoran Prasad (UP): Lagi workshop. Kenapa memutuskan untuk berkumpul kembali dan ngobrol tentang musik?
UP:
Kami nggak pernah benar-benar bubar. Cuma ya ada macem-macem. Logikanya
kan band ini sudah jadi pertemanan. Misalnya, kemarin kami dalam
suasana yang sangat nyaman bagi orang-orangnya untuk punya proyek
masing-masing. Dan itu kita saling membantu sebisa mungkin. Kayak aku
sama Yennu misalnya. Dia ngajak aku bikin Jalan Emas. Tahun berapa itu
aku pulang, dua ribu berapa?
Yennu Ariendra (YA): 2013.
UP:
Oh, itu 2013 ya? Ya aku pulang. Aku ngebantuin dia bikin Jalan Emas
sedikit-sedikit. Aku harus pergi pas dia mementaskan karya itu. Ya
tinggal diterusin saja sama Yennu. Ada banyak yang dia lakukan dan aku
membantu dari jauh. Sebisa mungkin, kalau ngobrol ya ngobrol. Yossy juga
punya urusannya sendiri. Gara-gara dia sound engineer dan sound
desainer, dia selalu kerja sama Teater Garasi. Kita selalu ketemu dan
banyak ngomongin kerjaan. Jadi, ya sebenarnya memang banyak kegiatan
bersamanya. Kami juga pernah workshop juga sebagai Melancholic Bitch.
Tahun berapa itu?
YA: Udah lama banget itu.
UP: 2013 juga
kayaknya ya? Itu yang terakhir kita bisa workshop intens. Ya kebutuhan
untuk melanjutkannya, terhenti karena berbagai alasan. Merasa nggak
cukup matang atau hasil workshopnya nggak terlalu memuaskan. Yang
begitu-gitu. Jadi, memang fase yang kita ambil adalah fase yang kita
sepakati bersama. Kalau mulai lagi ya sudah, jadi atau tidaknya nggak
pernah tahu. Yang penting kerja bersama lagi, duduk bareng, nongkrong
bareng. Jadi nggak pernah dalam lima tahun ini kami benar-benar tidak
berhubungan.
YA: Kita lumayan sering kerja bertigalah (bersama Yossy) dalam beberapa proyek. Termasuk kemarin pementasan Teater Garasi itu? Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi?
UP:
Yossy jadi sound designernya. Aku menulis. Yennu music designernya.
Tapi, karena itu kerjanya dalam kerangka Teater Garasi, scoopnya lebih
lebar lagi. Kita selalu menyempatkan untuk kerja bareng dalam waktu yang
memungkinkan karena ya aku kan ada di tempat lain. Tapi kadang-kadang
suka mikir juga, “Eh, 2013 tuh udah lama banget ya?”. Selalu gitu. Basi ya jadinya?
UP: Iya.
YA: Tapi nggak terasa toh? Karena kita selalu kerja bareng di level individual.
UP: Lalu sadar, “Eh, udah lama banget ya kita workshop yang Melbi? Nyoba lagi yuk.” Jadi
sebenarnya, Melancholic Bitch itu jadi satu bagian dari proses kalian
sebagai individu untuk bekerja beriringan? Atau memang perlu
dikhususkan?
UP: Iya. Atau harus, “Eh kita sudah waktunya nih untuk kembali.” Apa begitu?
UP: Ya gimana ya, mungkin kali begitu.
YA:
Kalau kita terakhir itu, bahasa yang paling sederhana kayak pokja
(kelompok kerja). Kayak anak zaman sekarang, menjadi bagian dari
komunitas yang lebih besar. Ya Teater Garasi itu. Ada pokja Risky
Summerbee and the Honeythief, ada pokja Melancholic Bitch. Ada
masa-masanya harus kerja. Kalau sudah tiba waktunya, ya kerja. Namanya
juga kelompok kerja di dalam lingkungan yang lebih luas. Jadi, kita
workshop di sini, sehabis seharian rapat Teater Garasi. Proses
workshopnya sebenarnya ngapain sih? Yang biasa terjadi gimana, proses
kerjanya karena kan kebanyakan hanya kalian bertiga yang lebih banyak
berandil ya?
UP: Nggak juga sih. Lebih karena belakangan ini
gampangnya ya kami bertiga ini. Persoalan koordinasi. Kayak Wiryo
(Pierna Harris –ed) ada di Jakarta. Didit (Richardus Ardita –ed) akan
datang setelah ini. Ada proses ganti-gantiannya. Karena ada penjadwalan
juga di level workshop ini. Kadang kami butuh kuping yang segar. Kalau
ada inti yang bekerja dan yang lainnya mendengarkan itu pasti beda
pengalamannya. Mereka jauh lebih bisa obyektif dan dingin. Yang segar?
UP:
Iya. Yang ini sampah, itu sampah, itu juga sampah. Mereka yang bilang.
Jadi, ya buat lagi. Kita percaya dengan mekanisme itu, satu sama lain
percaya dengan metode yang begit kayaknya. Terus apalagi tadi
pertanyaannya? Cara kerjanya?
UP: Iya, itu cara
kerjanya. Sekarang mungkin kami menemukan concern bersama atau
mengundang orang. Lalu kita menemukan sesuatu yang bisa sama-sama dibela
secara teks atau kata sandi. Itu juga jadi jawaban yang susah karena
misalnya, Yennu punya proyek macam-macam. Misalnya, Menara Ingatan sama
Asa Rahmana dan Silir Pujiwati. Di kelompok itu, dia jadi komposer.
Sebagai komposer, ia memilih rekan kerjanya yang lain, kolaboratornya
juga lain. Pilihan itu bisa aku bela. Karena di level personal, aku suka
sama gagasannya. Aku bisa membela. Jadi, walaupun kita tidak terlibat
main musik di sana, aku bisa ngebelain gagasan yang sedang dia telusuri.
YA:
Kadang-kadang ada pertimbangan kayak melempar umpan bikin sebuah ide.
Lalu muncul pemikiran, “Oh, ini belum waktunya digarap nih, si Melbi. Ya
sudah, ini digarap di Teater Garasi saja.” Misalnya seperti itu. Jadi
kayak aku juga punya pertimbangan aku punya sebuah ide, kayaknya nggak
mesti di Melancholic Bitch. Di Belkastrelka (bandnya yang lain –ed) juga
nggak mungkin. Di Teater Garasi mungkin bisa. Hal-hal yang kayak
begitu. Atau sekalian, aku kerja dengan kelompok yang lain, bisa seperti
itu.
UP: Medianya memungkinkan sekarang. Ada teater, atau Yennu
sekarang terlibat di scoring film (ia mengerjakan scoring film
Istirahatlah Kata-Kata –ed). Aku juga bisa menulis sendiri. Ada yang
kadang berkaitan, atau yang kadang malah nggak dijadiin. Belum bisa juga
semuanya jadi musik. Kadang, “Ah, ini masih terlalu cerewet atau masih
belum bisa diturunkan dalam bentuk yang lebih konkrit untuk band.”
Ukurannya susah memang. Kadang-kadang kami mengikuti intuisinya, tapi
kayaknya emang belum saatnya untuk Melancholic Bitch. Tapi proses ini dibiarkan liar tanpa tahu kapan akan kemana?
YA:
Nggak sebenarnya. Kalau yang sekarang ini, sudah kita niatkan.
“Kayaknya yang ini cocok nih untuk Melbi. Yuk kita kerjakan.” Jadi, kita
sudah mengobrol dulu dari awal.
UP: Tengah-tengahlah ngobrolnya. Lewat Skype.
YA: Aku sudah bilang kalau punya ide gini, gitu. Wih, kalian menggunakan Skype juga untuk berkomunikasi satu sama lain?
YA: Iya, kami menimbang apakah ini bisa ke Melancholic Bitch atau tidak.
UP:
Tidak bisa intens prosesnya ya karena itu tadi. Kita mengikuti sampai
arah tertentu, masih berpijak pada jadwal yang memungkinkan untuk
masing-masing orang. Kepengennya dalam waktu dekat ke depan ada momen
workshop yang lebih intens. Kalau sekarang, masih mencari form, baru
mulai. Jadi santai banget. Ya ada target, tapi kadang-kadang itu juga
dengan gampang dikalahkan dengan dinamika temuan-temuan kita sendiri
juga. Kadang-kadang kita ngetake, ada gagasan yang harus dibelain.
Misalnya, kami menemukan satu apalah, tesis misalnya. Atau isu bersama.
Atau tema bersama yang kita coba, bisa jadi mental. “Ah, nggak gini
harusnya.” Atau aku berdua sama Yennu mencoba. Gampang basi juga.
YA: Gampang basi, gampang sakit tangannya karena kelamaan nggak megang gitar.
UP:
Yang terakhir ini kayaknya cukup. Kayaknya ada alasan yang aku belum
bisa ngomong jauh, ini menyatukan kami untuk ngomongin sekarang. Jadi, yang sekarang sudah lebih real?
UP:
It’s about time. Ya nggak terlalu abstrak lagi. Dekat dengan situasi
kita. Tetap, kecenderung hasil akhirnya akan menjadi abstrak tapi buat
kita sendiri dekat. At least dekat stage dan age-nya. Stage sama age ternyata pengaruh ya?
UP: Oh iya. Tapi, kalau dipikir-pikir, jeda rekaman kalian itu lama juga ya. Rekaman Live at Ndalem Joyokusuman itu 2004 ya atau 2003?
UP: Ya sekitaranlah. Tahun berapa sih? Lalu Anamnesis 2008?
UP: Nggak, 2005.
Kemudian Balada Joni dan Susi itu 2009? Lama juga ya? Sudah
delapan tahun yang lalu itu album. Emang materi mentalnya segitu banyak
sampai makan waktu selama ini?
UP: Banyak banget. Sesudah
Balada Joni dan Susi itu kita langsung kerja sebenarnya. Sesudah
Anamnesis kita juga langsung kerja. Ada gagasan yang mental waktu itu.
Sesudah Balada Joni dan Susi juga ada gagasan yang mental. Tapi itu
lebih rileks, karena kesepakatan kita sebagai sekawanan teman-teman itu
jauh lebih gampang terartikulasi dengan banyak cara. Aku bisa nemenin
Yennu ketika dia buat musik teater. Musiknya dia juga memberi inspirasi
aku untuk nulis. Aku tetap kerja di saat bersamaan. Yossy kan juga
dekat. Melihat teman-teman yang ada di dalam komunitas ini tumbuh juga
menyenangkan. Melihat Risky Summerbee and the Honeythief bekerja itu
menyenangkan. Melihat Belkastrelka bekerja juga menyenangkan. Jadi kayak
nggak ada keharusan bagaimana band bekerja. Nggak terlalu jadi ukuran
kita bahwa setiap tahun harus buat album. Ini tuh lebih rileks. Ngomong-ngomong
Balada Joni dan Susi, kayaknya paska album itu, nggak ada lagi deh band
Indonesia yang bikin satu album penuh tapi nyambung ceritanya.
UP: Masa sih nggak ada? Nggak
ada kayaknya bener. Karya kalian itu kan jadinya unik karena tren
produksi juga berubah. Membuat album rasanya tidak lagi dipikirkan
seserius itu ternyata, orang bisa rilis single digital saja dan jadi
kemana-mana segala macam. Nah, buat yang sekarang ini pendekatan Balada
Joni dan Susi untuk Melancholic Bitch nggak bakal diulangi dong? Atau
mungkin diulang?
UP: Nggak tahu. Masih belum tahu? Pola kerjanya deh. Apa nemu aja seiring jalannya waktu?
YA:
Nggak tahu. Kadang-kadang gini, kita tuh kan kalau mau kerja kreatif
ada yang namanya ekspansi ya. Karena sudah pernah melakukan sesuatu,
kadang-kadang ya bisa melebar atau justru tidak di kali berikutnya. Atau
justru malah pematangan. Umpamanya ya, bisa aja kita cuma matengin
Balada Joni dan Susi. Begitu pula dengan cara kerjanya. Cara kerjanya
ditata ulang, bisa saja seperti itu. Atau kita mau melebar mencari
eksplorasi yang lain. Maksudnya, kita selalu ada pilihan itu. Waktu kita
mencari yang sekarang, proyeksinya diubah. Tapi mungkin ada juga
benarnya dan kelemahannya. Kita sedang mencoba keduanya dan kita belum
tahu sampai sekarang mau gimana.
UP: Soal konsep, misalnya. Lebih
luweslah. Kalau Balada Joni dan Susi nggak. Dari awal kayak kesambet
setan. “Yuk bikin album,” kata anak-anak. Gue bilang, “Gue nggak mau.
Maunya bikin begini.” Abis itu terus aja dan itu memang dibutuhkan
kayaknya. Karena kita pada waktu itu nggak tahu apa yang bisa dilakukan
sama band ini.
YA: Belum pernah dipush soalnya.
UP: Iya,
salah satunya itu. Anamnesis itu memuaskan tapi proyeknya terlalu lama
tanpa pagar. Kita melakukan itu lama banget, tiga atau empat tahun.
Dengan berbagai demo yang gagal, itu ada koreksi sebagaimana band yang
lain. Habis itu mencoba lagi masuk ke album kedua, dengan logika
Anamnesis. “Sudah dua tahun nih, bikin lagi yuk,” waktu itu mikirnya
gitu. Kami tidak menemukan rasa nyaman dengan jamming. Sehabis itu gue
datang dengan konsep Balada Joni dan Susi itu. Pas jadi, anak-anak
bilang, “Ini naskah apaan sih?” Tetap menjadi seru karena itu bentuk
baru dan mereka harus membaca 20-30 halaman yang nggak jelas puisi atau
bukan, lirik atau bukan. Kadang-kadang malah gue cuma ngasih paragraf
yang menimbulkan pertanyaan, “Ini gimana maininnya?”
YA: Ada sedikit resistensi waktu itu.
UP:
Ah, banyak banget. Aku juga ikut resisten sebenarnya, walaupun kemudian
jadi senang. Punya ikatan dengan proses yang tiba-tiba negosiasi. Ini
nggak bisa di sini, harusnya diletakan di bagian sebelumnya, dinamikanya
nggak jalan, wah itu kan kemana-mana. Drama. Tapi begitu melewatkan
itu, kita jadi tahu semua satu sama lain. Menemukan batasan baru ya?
UP:
Iya, kan gitu. Terus jadi tiba-tiba kalau aku punya konsep apa-apa
gitu, mereka nanya, “Apa bedanya nih sama Balada Joni dan Susi?” Gitu
jadinya, terus yang lain jadi sombong, “Masa gitu doang, Go?” Haha. Tapi
ya, Balada Joni dan Susi kan setelah dipretelin dan dijalanin jadi bisa
dipisah-pisah lagunya. Mereka berdiri sendiri. Pengalaman menonton di
panggung dan mendengarkan karyanya secara utuh jadi beda.
UP:
Betul. Nah, itu dinamika yang lain. Jadi kita ditolong dengan
keuntungan biasa bekerja di kelompok teater. Cara kita mendekati Balada
Joni dan Susi sebagai album ya sebagai teks, musik itu bagian dari teks.
Ketika harus dipentaskan, ya dia harus dimainkan dengan logika
pementasan, pemanggungan gitu. Jadi, tiba-tiba ada kemungkinan yang
harus, bagaimana jika dimasukkan materi Anamnesis di tengah-tengahnya?
Ada banyak yang ngomong. Kayaknya termasuk elo deh. Ada hikmahnya kan?
Tantangan baru yang kemudian muncul: Gimana dengan frame Balada Joni dan
Susi selanjutnya? Ya, ketika kalian jadi pengamen ditanggap
main, mau nggak mau kan harus mencampur lagu dong? Nggak bisa sepenuhnya
memainkan Balada Joni dan Susi.
UP: Iya. Nah itu muncul
eksperimen akhirnya. Kami harus membuat repertoir yang bisa keluar masuk
dengan album yang lama dan baru. Kalau tadi Yennu bilang, itu level
permainan yang lebih mematangkan barangnya. Ternyata sesudah album
keluar, kami masih punya momentum yang harus dijalani sebagai band. Itu pelajaran pentingnya ya?
UP: Iya. Dan kita cukup lama seneng nyangkut sama permainan itu. Tapi, delapan tahun setelah dirilis, kalian berdua melihat Balada Joni dan Susi itu pencapaian yang seperti apa sih?
UP: Angel. (Susah –ed). Kita nggak pernah ya terus duduk bersama dan ngomong, “Kita tuh mencapai apa ya?”
Ya sudah, saya ajak mikir sekarang.
YA: Mungkin
kemudian gini, nggak tahu ini mungkin berhubungan dengan pribadi ya.
Umpamanya lima tahun yang lalu ditanya, “Kamu mau jadi apa sih?” Ada
tatapan, misalnya aku ditanya dengan pertanyaan itu tadi. Sebenarnya
setelah itu, kita kayak sama-sama melihat visi orang lain sebagai
individual. “Oh, arahmu ke sana, arahku ke sini.” Kayak logika bikin
film yang mengundang aktor-aktor hebat saja. Mereka kan nggak tahu tuh,
ekplorasinya seperti apa, masing-masing punya visi sendiri sebagai
aktor. Kemudian kita masing-masing membagi apa yang sudah pernah kita
temui. Selama delapan tahun ini juga begitu, kita ngecek pada kemana aja
ya sebagai individu. Apa saja yang sudah dijalani. Dari situ jadi bisa
menakar, ekspektasinya harus kemana. Artinya jadi lebih paham, kita bisa
langsung ke titik tertentu sekarang. Sudah tahu ukurannya. Ketika
berpisah dan jalan masing-masing, saling ngecek, “Oh, kamu sudah sampai
sana. Ngapain aja kemarin?” Bisa bikin kayak gini, kayak gitu. Nah, kita
dibantu oleh ekspansi yang dimulai dari lima tahun ketika pertanyaan
itu dilontarkan. Ok. Berarti sekarang ini yang terlibat di Melancholic Bitch ini masih orang-orang yang sama?
UP:
Kemarin kita ketemuan terakhir sebelum natal masih begitu. Komposisi
itu masih sama. Sebelumnya ada yang nggak bisa. Wiryo akan pindah ke New
Zealand, kita lagi nyari jalanlah. Karena dia yang gitaris beneran
sebenarnya, kalau yang lain sudah lebih ke arah lain.
YA: Ada dia ya aku bisa excuse sebenarnya. Bisa diganti ketika main live. Haha. Di level personal, ketika berkumpul gitu, rindu nggak sih sama proses ngeband?
UP:
Ya dibawa santai aja. Cenderung kayak gitu sih. Tapi karena ketemu di
tempat lain, ada alasan lain jadinya. Kayak aku masih ketemu Yennu.
YA:
Kita masih ngeband dalam frame yang berbeda. Masih berbagi proyek.
Terakhir Yang Fana kan ya? Aku masih sama Yossy. Kemarin aku sempat buat
materi, lalu harus ke Jepang. Ya aku kontak Yossy, suruh dia beresin
sedikit-sedikit. Sebelum pergi aku ambil lagi ke dia. Itu rasanya kayak
ngeband.
UP: Kita masih berkomunikasi kayak ngeband. Ya, kita ngobrol terus. Tapi
itu kan sebenarnya karena tadi yang kalian bilang, kalian itu bagian
dari suatu sirkus yang lebih besar. Si Melancholic Bitch ini kan satu
channel saja.
UP: Nggak sengaja juga sih. Tapi kami kan bagian dari sejarah musik di Jogja.
Iya, itu yang bahaya. Tanggung jawab publik asu.
UP:
Haha. Tapi itu benar, bahwa kami dibesarkan dengan cara pikir yang
seperti begitu. Misalnya Melancholic Bitch datang dari aku sama Yossy.
Kami punya proyek di dalam sebuah rencana besar ketika bikin Performance
Fucktory dulu sama Juki (Marzuki Mohammad, Kill the DJ), Jompet (Jompet
Kuswidananto, Teater Garasi) dan Ari Wulu. Jadi kebiasaan kalau cara
kita menempatkan diri itu selalu di tengah lingkungan kreatif yang lebih
besar. Kita merasa didukung oleh lingkungan itu, inspired sama
lingkungan itu dan sama-sama kalau bisa punya kontribusi balik. Terbiasa
berada di tengah ketegangan kreatif model begitu. Bekerja dalam lintas
disiplin, lintas medium. Ngeband proses yang sama, hanya assignmentnya
beda aja. Ini membuat band ini terus ada, karena ada chemistry yang lain
levelnya. Hampir kayak pertemuan keluarga. Kita lebih sering
makan-makan daripada ngomongin musik dan itu rutin. Lebih rutin daripada
masuk studio. Karena ada titik-titik tertentu masing-masing orang punya
disiplin masing-masing yang terlalu obscure untuk dibagi ke yang lain.
Itu kayaknya juga jadi energi bagus, sebagaimana aku percaya; Kalau
orang intens melakukan sesuatu itu pasti punya feedback ke lingkungan
yang lebih besar. Musuhnya kadang kita terlalu nyaman, jadi sibuk
makan-makan doang. Kebanyakan nggak kerjanya.
YA: Tapi aku paham
yang kamu maksud itu. Itu kejadian sama bandku sebelum ini. Itu
spiritnya dulu band-bandan. Joy Division banget, sampai yang kayak gitu.
Auranya sangat-sangat band. Tapi kemudian aku disibukkan sama hal-hal
yang sifatnya individual, tuntutan-tuntutan baru. Jadinya hilang hasrat
ngebandnya.
UP: Haha. Spirit asli band-bandan.
YA: Kamukan dulu ada spirit asli band-bandan kan?
UP: Mungkin pas jaman di Bandung ya?
YA: Yossy juga pernah kayaknya. Jelek banget bandnya itu. Haha.
UP:
Di kita nggak bisa kayak gitu. Kayak waktu bikin lagu, yang cerewet
duluan itu Juki. Terus teman-teman kami juga sibuk berkomentar. Kita
punya produser yang banyak kayaknya. Sampai waktu itu gue nggak tahu
nyusun lagu untuk Anamnesis, dikasih ke Ogleng (Yudi Ahmad Tajudin,
Teater Garasi –ed). Dia kan yang bikin susunan lagu akhirnya. Semua
orang bilang, “Lah, sutradara teater apa urusannya nentuin daftar lagu?”
Kami balas, “Nah, justru itu, karena nggak ada alasannya maka jadilah
Anamnesis.” Berarti, bisa dibilang Melancholic Bitch sebenarnya bukan entitas musik?
UP:
Kami percaya kami adalah entitas musik, tapi bukan band barangkali.
Bukan band karena kita tahu kita terlalu gede kepala, terlalu keras
kepala untuk jadi band. Saya tertarik sama proses musikalnya
sekarang. Tadi kamu bilang masing-masing individu punya cerita yang
lebih dalam. Profesinya juga kemana-mana, Yennu bilang tadi sudah lama
tidak menyentuh gitar. Yossy juga.
UP: Sekarang pakai tombol. Semua orang pakai software. Tapi
pas berproses untuk rekaman kan, koridornya kan mau tidak mau
Melancholic Bitch harus menggunakan instrumen musik yang konvensional.
Kalian update nggak sih dengan kondisi musik sekarang?
UP: Nggak update.
YA: Hahaha. Ya updatelah.
UP:
Yennu mungkin harus karena dia komposer. Yossy update barangkali karena
sound designer, dia keliling terus kan? Ya kalau aku nggak update sih
kayaknya. Itu-itu saja sih. Aku kan bukan musisi beneran.
YA: Dia sekarang sudah bisa main gitar dengan lebih bagus loh.
UP: Itu kan karena kebanyakan sendirian.
YA: Gitar akustiknya bagus. Berarti aku bisa nggak main.
UP: Itu bikin ekspektasi berlebihan. Bahaya itu.
YA:
Tapi gini, mungkin aku juga nggak setuju kalau yang namanya semakin ke
sini kita semakin meninggalkan nilai-nilai sebenarnya. Ada kok
nilai-nilai tentang disiplin. Kita dulu ngoyo banget, semenjak
Anamnesis, misalnya. Aku itu sebenarnya training gitar dan lumayan
ngoyo.
UP: Biasa, orang Jawa Timur, Banyuwangi.
YA: Aku
pikir nggak bisa tuh, entah etosnya atau caranya, tapi itu nggak bisa
hilang ketika mau mulai lagi. Karena aku lebih curiga sama hal-hal yang
gampang. Kalau gampang sih, kita bikin band reunian aja. Lebih ke sana.
Tapi untuk album ini, ketika mulai, aku bilang sama diriku, “Ah, mungkin
udah saatnya aku belajar lagi.” Karena terakhir kali perform di
panggung itu berat bagi aku, berat banget.
Beratnya kenapa?
YA: Fisik.
UP: Harus training lagi dia. Sebenarnya jadi penampil di panggung dalam bentuk band menyenangkan nggak sih?
UP:
Ya menyenangkan. Kita harus mencari kausa memang jadinya. Beberapa
tahun kan aku hanya berdua sama Yossy. Dan kayaknya dia tahan sama aku,
kadang terpaksa menerima tawaran. Padahal susah tuh logikanya masuk,
“Kenapa ya harus main di sini? Apa alasannya?” Sekarang jadi lebih
sederhana karena aku nggak ada di Indonesia. Kalau ada di Indonesia, ya
ok-ok aja kalau main. Selain itu, semenjak Balada Joni dan Susi,
penampilan live jadi menyenangkan. Karena aku merasa ia diambil alih,
ceritanya diambil alih. Kalau kita mendengarkan feedback orang,
tiba-tiba itu jadi cerita mereka. Ada orang-orang yang bisa terkait
dengan ceritanya. Lalu mereka nulis email soal bagaimana dia
menghubungkan diri dengan cerita itu. Jadi hubungannya juga
menyenangkan. Karena itu, bisa jadi di saat yang bersamaan, gue nggak
sedalam itu memahaminya. Termasuk persoalan tahu apa tidak apa yang gue
omongin. Akhirnya gue bisa humble sama respon orang atas penafsiran
ulang itu. Itu menyenangkan, iya kan? Tiba-tiba gue merasa hanya menjadi
medium dari satu cerita yang sepenuhnya bukan cerita gue juga. Kayak
gitu-gitulah. Gemanya besar ya jadinya Balada Joni dan Susi untuk orang banyak?
UP:
Nggak tahu dengan apa yang dimaksud besar dalam pengertian orang itu.
Tapi yang ada inilah, itulah, mungkin jumlahnya nggak sampai ribuan.
Bahkan ratusan saja barangkali nggak ada. Ya, ukurannya dari apa yang
tertulis ya, apa yang gue baca, yang bisa gue intip. Tapi yang ada,
seberapun responnya, ada sepuluh, lima belas, itu nyebelin kan? Jadi gue
lagi sibuk mau ujian, tiba-tiba ada orang-orang kayak Iit (Iit
Sukmiati, salah satu pemilik Omuniuum yang merupakan penggemar berat
sekaligus salah satu teman terdekat Melancholic Bitch –ed) yang ngasih
tahu kalau ada orang nulis. “Gila, ini tahun berapa sih?” tanya gue
dalam hati. Beberapa anak SMA. Itu kan diriis tahun2009 dan sekarang
2017. Sudah lewat beberapa generasi anak SMA kan? Yang dulu SMA mungkin
sudah kawin atau punya anak. Ini tiba-tiba ada anak SMA yang lain. Padahal, di masanya Balada Joni dan Susi nggak relevan untuk anak SMA kan ya?
UP:
Nggak sama sekali. Barangkali lebih ke anak kuliahan. Termasuk gue.
Hahaha. Keberadaan yang kayak tadi itu kadang-kadang pas ketika gue
sedang dalam momen tertentu yang mengingatkan bahwa gue pernah buat
Balada Joni dan Susi. Emang pernah terlupakan?
UP: Ya
nggak. Cumakan dia punya hidupnya sendiri yang kadang-kadang gue nggak
bisa terus menerus merawat kehidupan itu. Sama kayak misalnya gue punya
novel. Biar dia punya kehidupan sendiri gitu. Ya, itu hubungan antara
yang punya karya sama karyanya. Kalau terlalu akrab kan jadi romantis
ya? Nyebelin jadinya, habis itu kayaknya karya tersebut penting banget.
Padahal mah, barangkali harusnya biasa-biasa saja.
Lah, kalau misalnya ada orang datang ke kalian dan bilang,
“Mas Ugo, Mas Yennu, Balada Joni dan Susi itu penting banget untuk hidup
saya.” Ngeresponnya gimana?
UP: Nggak tahu ya. Kalau buat
gue, itu kayak gue juga sebagai fans sama apa gitu. Kayaknya pernah deh
gue ngomong sedikit, apa yang kita suka itu kadang-kadang ngomong lebih
banyak tentang siapa kita dari pada obyeknya sendiri. Jadi, dalam taraf
tertentu, pertemuan itu sudah menjadi pertemuan antara pembaca,
pendengar kisah itu. Gue kadang sudah nggak ikut-ikut dalam relasi itu. Nah, terus kalau ditanyain sama orang kapan ngumpul lagi, bosan nggak sebenarnya? Atau capek?
UP:
Ya lumayan. Pertama, kalau dulu sebel. Karena sebenarnya kita kumpul
terus. Kerja terus kok. Punya produksi terus kok. Emang nggak melihat
Belkastrelka? Dalam tahap tertentu, aku merasa Belkastrelka itu sebagai
teman mengobrol. Walaupun dia nggak ngajak, nggak cerita apa-apa. Pas
musiknya jadi, aku jadi bisa ngobrol sama dia. Ada yang bisa aku lakukan
dalam konteks bermusik. Jadi, kalau ada pertanyaan itu, nyebelin tapi
juga jadi paham. Pada tahap tertentu sudah tua, ya pasrah juga. Dan
paham karena kita kan tetap ada. Band sebagai entitas musik itu kan baru
ya, dalam lansekap musik dunia yang ratusan, ribuan tahun ini. Baru
abad 20-an lah ada. Tapi dalam saat yang sama, kita masih memegang itu
sebagai salah satu cara menakar dan cara ukur yang bisa digenggam
tentang bagaimana kita berpikir tentang musik selain yang solo-solo itu,
misalnya. Kalau band, ya harus gitu. Dan kita mengikuti band dengan
cara yang sama, “Oh, ini reuni. Blur reuni.” Cara kita mikir gitu kan?
Yang aku rasakan, dengan lansekap medan produksi yang sekarang,
jangan-jangan sudah nggak pas kok. Dan harus pindah ke medan produksi
yang lain. Model produksi yang lain juga.
YA: Aku juga mikir untuk
yang baru-baru ini kan sebenarnya banyak intensitas musik yang seperti
band, padahal komunitas. Keberadaan additional musician itu apa coba?
Apa nggak komunitas jadinya?
UP: Iya, kayak gitu banget kan?
YA:
Sudah banyak yang meninggalkan identitas band. Kayak Efterklang,
misalnya. Aku mikir, “Ini band sebenarnya anggotanya berapa sih? Kok
ganti-ganti mulu?” Proyeknya sudah terbuka untuk banyak orang ya?
UP:
Dan itu nggak akan matang di angkatan ini, aku rasa. Itu akan matang di
sepuluh atau lima belas tahun lagi. Generasi yang di depan itu,
mikirnya lebih cair, semua lebih gampang bertukar-tukar. Di teater
kejadiannya sama. Struktur produksi kesenian itu kan nggak mungkin lagi
sama dengan sepuluh dan dua puluh tahun yang lalu. Realitas-realitasnya
berubah dan kita percaya banget dengan tegangan yang kreatif antara
pelaku seni dengan realitas produksinya. Tapi kamu juga harus merespon
itu dan pasti akan menciptakan entitas-entitas dengan logika yang
berbeda. Band itu pernah revolusioner banget loh. Sekarang masih?
Kayaknya nggak deh. Dengan pola pikir yang seperti ini, jadinya
juga membuka banyak kemungkinan baru ya? Bisa menekan ekspektasi
orang-orang yang terlibat? Bahwa kalian memang melakukan sesuatu yang
perlu penyesuaian dengan keadaan?
YA: Ya kita punya tegangan
itulah. Kayak di album Balada Joni dan Susi waktu awal. Ada dari kita
yang berpikir, “Oh, ini ngeband. Ini nggak bisa ngeband.” Nggak bisa kan
kita harus main live seminggu sekali minimal dalam setahun? Pasti
tegangan itu ada. Waktu itu aku lupa gimana kita ngobrolnya. Tapi, ya
Melancholic Bitch itu segini aja. Kalau mau yang lain, ya silakan
dikejar. Karena mungkin sekali aku pengennya gini, tapi nggak mungkin di
Melancholic Bitch. Ya sudah, aku cari jalan lain. Mungkin begitu, tapi
sementara ini nggak ada orang yang kemudian bergabung dengan band lain
atau menciptakan band baru.
UP: Betul. Dan kita punya banyak band sebetulnya. Mudah-mudahan itu bukan karena pengaruh buruk Melancholic Bitch. Mungkin
ada yang salah dalam proses internal kalian? Haha. Tapi proses-proses
begini dibiarkan liar tapi lebih teratur dari yang sebelumnya ya?
UP: Mungkin iya. Karena
kalian sebagai Melancholic Bitch juga tidak bisa menjawab target-target
pribadi kapan ya kan? Saya benci sih bertanya tentang kapan. Kebanyakan
musisi itu tukang bohong kalau bicara tentang janji-janji kapan kelar
karyanya.
UP: Kita punya tanggal. Kita punya
komitmen-komitmen. Tapi ya itu, logika-logika produksi tetap sesuatu
yang harus dihitung. Yang begitu harus dipelajari karena logika produksi
membuat kita punya komitmen yang lebih, jadi harus ada produser. Harus
punya janji dengan sound designer, sound engineer. Yossy nggak mungkin
mengerjakan ini sendiri, terlalu dekat untuknya. Gendel sih yang akan
mengerjakan (Anton Gendel –ed).
YA: Kita harus punya studio sendiri.
UP:
Sudah ngomong sama Gendel. Ya sudah ada komitmen dengan dia untuk kita
mau kerja lagi. Tanggalnya sudah ada, karena semua orang punya kesibukan
masing-masing. Akan ada pelanggaran dari komitmen. Akan ada yang
dimarahi, kemungkinan aku.
Kok defensif? Haha.
UP: Mereka juga sudah tahu.
Kalau kapan itu ya cara mengukurnya bukan end pointnya. Tapi kapan kita
masuk studio. Kapan kumpul seluruh band untuk ngomongin komposisi. Kapan
batas improvisasi pertama selesai dan kita jamming bikin komposisi
dasar. Tanggal-tanggal itu ada. Tapi belum ada tanggal untuk kapan
albumnya keluar.
YA: Itu susah. Karena kita juga akan curiga.
UP: Mungkin setelah proses panjang ini, akhirnya cuma satu lagu.
YA:
Aku juga bilang gitu. Sanggup kok dengan keadaan sekarang. Tapi ya,
nggak apa. Ini kan masih awal tahun. Ya kita awali dulu. Kita akan punya
ukuran setelah ini. Setelah bikin-bikin dan ketemuan ini. Ada ukuran
yang lebih pasti setelah ini.
UP: Misalnya tahapan workshop ini
akan berakhir bulan Februari ini. Setelah itu akan ada lebih banyak yang
lebih jelas untuk kami. Termasuk juga bahwa wawancara ini ternyata
omong kosong dan kita nggak kemana-mana.
YA: Jadi kita nggak menghasilkan album ternyata nanti. Loh, saya juga sudah siap dengan kemungkinan itu ketika mengajak kalian ngobrol. Jadi artefak sejarah kan?
UP: Berarti kamu mewawancarai kematian satu proyek lagi. Bagus itu.
YA: Mungkin nanti kamu melihat Yossy yang tiba-tiba nanti punya solo album. Haha. Tapi pada dasarnya ini maju dari proses sebelumnya?
UP:
Iya dan jadinya ada banyak opsi. Minimal di aku. Nggak tahu sama yang
lain. Aku yakin dengan proyeknya, sama opsi yang kita punya. Kemana kita
jalan sejauh ini. Untuk yang kali ini, aku merasa sekarang kayak ada
beberapa jalur; bukan berarti aku selalu benar ya, aku pernah salah.
Setidaknya ada satu yang bisa aku pegang. Sebelumnya nggak gini.
Sebelumnya kita taruh semuanya di satu keranjang. Ibaratnya telur, kalau
sudah bau semuanya, mau buat apa? Sekarang tidak begitu. Kalau yang
ini, kayaknya punya alasan dan dalam setahun belakangan ini ada
situasinya. Ada situasi eksternal yang memaksa kita mikir, itu membuat
ini semua kayaknya harus dituangkan dengan medium Melancholic Bitch.
Bukan medium yang lain. Eskalasinya sudah ada. Jalannya sudah terarah ke sana ya?
UP:
Iya, semacam kayaknya harus menggunakan medium yang ini lagi. Sekali
lagi, aku pernah salah sebelumnya. Jadi mungkin saja salah sekali lagi. (*) *) Foto tema Melancholic Bitch diambil oleh Adi Adriandi di Padepokan Bagong Kussudiarja, November 2011.
*) Foto Ugoran Prasad dan Yennu Ariendra diambil oleh Felix Dass di Teater Garasi, Januari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar