Kepada
VICE, Ugoran Prasad—vokalis band legendaris Yogya ini —menjelaskan
persoalan KB, tumbuh besar di bawah teror Orde Baru, dan penyebab album
ketiga mereka butuh waktu penggarapan delapan tahun.
Foto-foto dari arsip band. Diunggah seizin Melancholic Bitch.
Setelah
delapan tahun tak terdengar kabarnya, band asal Yogyakarta, Melancholic
Bitch, tanpa banyak aba-aba merilis album penuh ketiga NKKBS Bagian Pertama yang berisi 11 lagu pada 9 September lalu. Setelah Balada Joni dan Susi muncul
pada 2009, saya terpukau. Rilisan Melancholic Bitch terasa sangat
segar, sebab mereka adalah salah satu band Indonesia yang masih punya
nyali mengelaborasi gagasan besar untuk musiknya.
Saat
mendengar Melbi, julukan band ini yang diberikan oleh fans, merilis
album ketiga, saya tak sabar menantikannya. Bukan perkara musik saja,
tapi karena saya penasaran seperti apa cerita di balik pembuatan
albumnya kali ini. NKKBS Bagian Pertama rupanya membahas
keresahan Melbi terhadap kontrol pemerintah dalam urusan
terkecil—keluarga—hingga represi Orde Baru yang meneror batin para
personel Melancholic Bitch yang kini tak bisa dibilang berusia remaja
lagi. Sehari setelah pesta peluncuran albumnya tagar NKKBS Bagian Pertama sempat menjadi trending topic di Twitter selama empat jam.
Saya
berbincang-bincang dengan vokalis Melbi sekaligus sastrawan, Ugoran
Prasad, demi menyelami bermacam aspek dari konsep yang ingin mereka
usung di album baru. Pria kelahiran Tanjungkarang Lampung, 6 Oktober
1978 ini adalah simbol Melbi itu sendiri. Selain lirik, dia pula yang
menggodok konsep narasi utama dari album mereka. Ugo belakangan sering
berpindah-pindah negara, seringkali resah, dan terus berusaha menantang
diri sendiri untuk melampaui pencapaian artistik di masa lalu.
Kepada
VICE, Ugo menjelaskan kenapa mereka tertarik membahas konsep keluarga
kecil bahagia, bonus demografi, undang-undang anti-kontrasepsi, serta
alasan Melancholic Bitch tak pernah peduli dengan review bagus atau
jelek di website atau majalah musik. VICE Indonesia:
Album ini kalian sebut bagian pertama, apa nanti bakal dibikin semacam
trilogi atau tetralogi? Kenapa butuh waktu pengerjaan delapan tahun? Ugoran Prasad:
Kami sih belum tahu akan bikin berapa banyak. Bagian pertama ini adalah
semacam proses dengan banyak kolaborator. Di album selanjutnya nanti
kita udah kebayang sih, pengin ngajak teman-teman lain buat kerja
bareng, jalan-jalan, ngobrol-ngobrol. Sebenarnya di tengah-tengah waktu
kemaren ada beberapa proyek di Melancholic Bitch, tapi yang paling
menuntut untuk diselesaikan ya album NKKBS Bagian Pertama ini.
Proyek lain enggak terlaluurgent. Album ini udah jalan beberapa waktu
lalu, kami udah bikin demo, para kolaborator juga cepet banget langsung
menggubah banyak hal, bereksperimen bareng dan terus berlanjut. Dalam
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), seolah-olah Rezim
Suharto dulu bisa menjamin keluarga akan bahagia asal menuruti aturan
pemerintah. Apakah itu keresahan yang membuatmu mengangkat tema ini? Problem
yang kami rasakan itu bukan pada konsep NKKBS-nya. Benar atau salah itu
bukan persoalan. Tapi yang saya rasakan adalah presentasi konsep itu
dalam lanskap politik dulu dan sekarang. NKKBS itu sudah menjadi semacam
ingatan kolektif yang tertanam. Saya juga pengin bikin keluarga kecil.
Namun di belakang itu pemerintah masih saja melakukan kontrol moral,
politik dan sosial, belum lagi bias ideologi dan politik. Bahagia itu apakah bisa diukur? Seperti apa keluarga bahagia untuk seorang Ugo?
Gagasan kebahagiaan itulah letak soalnya. Semua berhak punya mimpi
untuk bahagia. Sekarang secara eksplisit pemerintah seolah-olah bisa
mengatur kebahagiaan keluarga, makanya ada norma-norma keluarga.
Keluarga hendak dijadikan agen perubahan. Ketika negara menstabilisasi
peran keluarga lengkap dengan segala infrastrukturnya sampai level
paling bawah seperti posyandu dan babinkamtibmas, di situ ada semacam
gagasan sosial soal apa yang tabu dan tidak. Dulu mungkin pemerintah
memakai cara-cara militer buat mengatur itu semua, tapi di era reformasi
sekarang kami justru cemas, bagaimana pemerintah secara implisit
beroperasi di sekolah dan keluarga? Lantas apakah jargon 'banyak anak banyak rezeki' enggak relevan lagi ya?
Saya pribadi mikirnya ini persoalan problematis, secara ekologi enggak
memungkinkan apalagi dari segi sumber daya alam. Perkembangbiakan
manusia bisa berbahaya kalau enggak dikontrol. Tapi itu pilihan sih.
Saya enggak melarang, mereka punya alasan sendiri.
Dari Twitter banyak netizen (sebenernya siapa sih netizen itu?) banyak
yang komplain kok cuma main di Yogyakarta aja, kenapa enggak ada tur
Ya karena kendala waktu juga. Tur itu gampang lah, kita sih pasrah aja.
Nanti kalau ada kebutuhan tur ya tinggal jalan aja. Saya kebetulan
[sedang mukim] di Sidney tapi bisa lah bolak-balik ke Indonesia.
Dua tahun lalu DPR dan pemerintah menggodok revisi KUHP. Ada pasal yang
bakal mengkriminalisasi siapa pun yang memamerkan kondom. Apa gagasan
ini justru anti terhadap ide keluarga berencana? Saya lebih
melihat logika kontrolnya. Jangan sampai kayak soal kriminalisasi hijab
di Perancis. Gampangnya apa orang harus pakai hijab karena tuntutan
norma sosial? Enggak kan. Melarang pamer kondom itu bentuk opresi,
seolah-olah negara itu adalah orang tua yang menganggap warga sebagai
anak yang bodoh.
Konser NKKBS di Yogyakarta pada 9 September. Foto dari arsip Melbi.
Menurutmu, bisa ga kita punya konsep keluarga bahagia?
Enggak bisa lah ada konsep gituan. Kalau ada konsep diri yang ideal,
gimana kita memaknainya? Kalau di Indonesia mungkin harus punya rumah,
mobil, anak. Konsep bisa dibangun. Ideal itu yang gimana sih? Itu kan
tergantung kondisi dan situasi. Ada lirik 'Perempuan liar jangan dibiar/ ibu-ibu liar jangan diberikan pisau lipat' di lagu 'Bioskop, Pisau Lipat' single utama NKKBS. Itu cuma akrobat kata-kata, atau memang ada makna tertentu? Awalnya saya khawatir soal impresi teks itu, tapi setelah ngobrol dengan Intan Paramadhita (novelis) saya lanjut aja. Ini soal demonizing gerakan perempuan di Indonesia. Kayak di film Pengkhianatan G30SPKI.
Gerakan perempuan digambarkan sebagai monster. Di film itu secara
harfiah ada adegan perempuan menari dengan liar. Itu impresi masa kecil
yang melekat sampai sekarang. Maka saya bikin perempuan jangan dibiarkan main pisau lipat. Padahal
di film itu harusnya perempuan memegang silet, tapi enggak tau yang
melekat itu pisau lipat. Saya jadi harus belajar soal sejarah gerakan
perempuan. Lantas kenapa kamu menulis lirik 'digelandang ke bioskop jam 9' di lagu yang sama?
Itu bagian dari memori masa kecil menonton film G30SPKI, dulu pas SD
kelas 3 atau 4 anak-anak wajib menonton film itu di bioskop. Saya ingat
temen-temen perempuan pada menjerit-jerit. Itu dari awal adegannya kan
sudah serem, ada rombongan menyerang masjid atau gereja gitu. Kita itu
dibikin trauma oleh negara, kita tidak tahu efeknya. Secara psikologis
negara harus bertanggung jawab. Ngomongin soal propaganda Orde Baru apa masih relevan di Abad 21?
Saya enggak tahu. Saya juga enggak mau terlalu romantis. Yang jelas
saya pengin ngomongin soal keluarga. Kalau soal relevansi, kita selalu
bertaruh. Sejarah yang kita lihat itu parsial, kita cuma melihat
fragmen-fragmennya. Bohong kalau ada orang bilang melihat sejarah secara
utuh. Salah satu yang bikin kami teguh untuk mengambil isu ini karena
kami melihat masih banyak orang membicarakannya. Saya tidak butuh
menjadi orisinal, saya cuma ingin mengambil bagian dalam percakapan atau
diskursus. Kamu lebih suka dianggap penulis atau musisi?
Enggak penting. Saya itu amatir. Salahkan Asrul Sani yang bikin arti
amatir jadi meleset. Amatir artinya kan mencintai, saya pengin mencintai
sesuatu. Saya beberapa kali nyinyir sama band dan nulis topik kontroversial soal musik. Menurutmu gimana sih kalau ada media yang nulis jelek-jelek soal Melancholic Bitch?
Mau nulis jelek atau bagus enggak masalah. Polaritas bagus dan jelek
itu enggak penting. Menyukai sesuatu itu bisa jadi malah merasa
bersalah. Ada aspek yang tidak bisa dijelaskan kenapa kita suka atau
tidak suka terhadap sesuatu. Saya lebih suka ketika sesuatu itu
mendorong obrolan, bukan kompetisi. Band-band sekarang lebih sibuk
kompetisi kayak ikut Indonesian Idol. Itu cuma politik seni. Enggak
bikin kaya pemaknaan, malah memiskinkan. Kalau suka silakan, kalau
enggak ya udah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar